Balik ke tempat permainan tadi dengan lesu, pikirannya kemana-mana terutama tentang apa yang dikatakan Fajar. Senior yang dengan seenaknya mengajak pacaran tanpa meminta jawaban dan satu lagi tidak bertanya dirinya punya kekasih atau tidak, Indira yakin jika semua ini adalah permainan atau taruhan yang dilakukan seniornya jadi dirinya tidak akan menggunakan perasaan jika keluar sama dia.
“In, ngelamun aja.” Sinta menepuk pelan lengan Indira.“Ada kejadian apa?” tanya Indira menatap Sinta yang berada disampingnya.“Mas Wahyu ngasih arahan game selanjutnya.” Sinta menjawab dengan memberi kode agar Indira menatap ke depan.Melakukan apa yang dilakukan Sinta, menatap ke depan dan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Fajar yang sedang berbicara dengan senior-senior wanita. Interaksi mereka sangat baik, bisa dilihat kalau senior wanita yang berada dihadapannya menatap penuh kekaguman, bukan perasaan cinta atau suka.“Lihat apaan?” bisik pria yang ada disamping Indira membuatnya terkejut dengan memberikan tatapan tajam “Kita udah saling kenal atau kamu lupa?” Indira mencoba mengingat lalu menggelengkan kepalanya “Ryan.”“Indira.”“Kalian dengarin di depan daripada dipanggil terus dikasih hukuman,” bisik seseorang yang ada di belakang mereka berdua.Indira mencoba mendengarkan apa yang dikatakan Wahyu, tidak peduli dengan Ryan yang ada disampingnya atau Fajar. Penjelasan dan instruksi dari Wahyu sudah selesai, melakukan permainan terakhir sebelum kembali ke ruangan. Indira dan Sinta berjalan kembali ke kelompoknya untuk menyelesaikan permainan terakhir, begitu juga dengan teman-teman yang lain.“Akhirnya masuk ruangan juga,” seru Lia sambil menghirup udara ruangan.Diluar dan didalam pastinya berbeda, diluar panas sedangkan dalam mereka disambut dengan udara sejuk dari ac. Mengambil tempat duduk yang berdekatan dengan Lia, Sinta dan Mita. Mereka sudah seperti geng kecil, persis seperti di sekolah dulu. Lia mulai menceritakan informasi apa yang didapat, mereka bertiga hanya diam mendengarkan karena memang tidak tahu tentang apa yang Lia ceritakan.“Cowok yang panggil kamu itu, Dir. Dia mahasiswa yang belum lulus-lulus, dia pasti macarin cewek yang ada di tiap angkatan dan hanya bertahan paling lama setahun, paling cepat setengah tahun.” Lia menceritakan tentang Fajar “Kalau kita diajak pacaran sama dia mending tolak.”“Cowok keren kaya Mas Fajar pastinya cari cewek cantik, disini banyak yang cantik mungkin dia udah ngincar salah satu dari mereka.” Sinta mengatakan dengan menatap sekitar.Indira memilih diam, tidak ingin menceritakan apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Pernyataan cinta Fajar secara tiba-tiba, informasi yang diberikan Lia akan membuatnya untuk semakin tidak menggunakan perasaan jika bersama dengan Fajar. Indira tidak mau mengalami sakit hati untuk kedua kalinya, jatuh cinta artinya siap untuk sakit hati memang benar tapi tidak untuk saat ini karena masih ada ketakutan dalam dirinya tentang suatu hubungan.“Kamu itu kebiasaan melamun,” tegur Sinta.“Ada apa?” tanya Indira bingung.“Mas Wahyu sudah didepan sama Mbak Suci, jangan sampai kamu dipanggil lagi.” Mita menambahkan dengan sedikit berbisik.Indira mengikuti saran Mira dengan mendengarkan apa yang Wahyu dan Suci katakan didepan sana, tanpa disadari Indira sejak tadi Fajar memperhatikannya dengan sesekali menyunggingkan bibirnya tipis melihat sikap Indira.“Kamu bisa-bisa naksir beneran sama dia,” ucap seseorang disamping Fajar.“Lihat aja nanti, siapa tahu dia bisa jadi obatku. Bukannya Bu Retno sama Pak Hadi suruh aku membuka hati dan selama ini nggak berhasil sama sekali,” ucap Fajar tanpa melepaskan tatapan pada Indira.“Semoga, karena bosan juga dengar gosip tentang kamu.”“Nggak usah khawatir, Wang. Aku nggak peduli sama gosip-gosip itu.” Fajar menenangkan satu-satunya sahabat yang tiba-tiba datang ke kampus.Kedua senior sudah selesai berbicara, sedikit bersyukur karena mereka tidak diberikan tugas lagi. Indira bernafas lega dengan menghembuskan nafas panjang, menatap ke samping dimana ketiga temannya sibuk mengeluarkan buku.“Kenapa pada ngeluarin buku?” tanya Indira bingung.“Kita kan harus kumpulin tanda tangan senior, lupa?” Sinta menatap Indira penuh selidik.“O...aku inget kok.” Indira menjawab sambil menganggukkan kepalanya.“Buku kamu ada dimana? Kita cari bareng aja.” Lia memberikan usul yang diangguki kedua lainnya tapi tidak dengan Indira.“Indira, kan?” tanya pria yang tadi berbisik di belakanganya “Ryan, kamu dipanggil buat ke ruang kesehatan.”“Ada apa?” tanya Indira penasaran.Ryan mengangkat bahu “Mas Fajar bilang terkait sama hukuman kamu.”Indira membeku mendengar jawaban Ryan, hukuman yang diberikan Fajar membuatnya benar-benar tidak bisa melakukan apapun. Ketiga teman yang baru bersamanya, kecuali Mita. Mereka memberikan tatapan penuh selidik pada Indira setelah Ryan pergi meninggalkan mereka.“Kamu nggak ada hubungan apapun sama Mas Fajar?” tanya Lia terlebih dahulu.“Hukumannya apaan?” lanjut Sinta.“Mas Fajar belum tahu kasih tahu hukuman kamu?” Mita yang terakhir menjawab.“Aku ke dia aja dulu, daripada hukumannya malah lebih sulit.”Indira memutuskan menghentikan pembicaraan tentang Fajar, membawa tasnya dan langsung keluar dari ruangan menuju tempat dimana mereka biasanya bertemu. Indira tidak tahu ruangan apa, tapi menurut anak-anak ini ruangan kesehatan. Mengetuk pintunya dan suara didalam membuat Indira langsung masuk kedalam, mendapati Fajar dengan seorang pria yang Indira tidak tahu siapa.“Masuk, tutup pintunya.” Fajar membuka suara saat melihat Indira.Indira menutup pintu dan berjalan kearah mereka, tatapan temannya seakan memberikan tatapan menilai padanya yang membuat tidak nyaman sama sekali. Indira berdiri dihadapan Fajar, gerakan tangan Fajar yang memintanya duduk disampingnya membuat Indira hanya bisa mengikutinya.“Bukankah kita pulang bersama? Jadi aku menunggu sampai keadaan kampus sepi dari teman angkatanmu.” Fajar memberikan informasi alasannya meminta Indira datang.“Awang, temannya Fajar.”Indira menatap uluran tangan pria yang bersama Fajar dan menerima uluran tangannya “Indira, mas.”Fajar meletakkan buku dihadapan Indira membuatnya menatap penuh tanda tanya “Tanda tangan senior.”Indira langsung membuka bukunya dan menatap tidak percaya, mengalihkan pandangan kearah Fajar “Makasih loh, kak. Aku padahal nggak minta buat kakak lakuin ini.”Fajar terdiam, membeku melihat senyum tulus Indira pada dirinya. Selama ini tidak ada wanita yang tersenyum tulus seperti ini, jantungnya berdetak kencang lagi-lagi tidak seperti sebelumnya.“Mas, sudah sepi jadi pulang?” suara Ryan membuyarkan lamunan Fajar.“Kamu sama Indira dulu ke bawah bawa ke mobilku.” Fajar menjawab dengan menatap Ryan. “Kamu sama Ryan turun dulu biar nggak ada yang berpikir negatif sama kamu nanti.”Indira hanya menganggukkan kepalanya mengikuti apa yang dikatakan Fajar dengan turun bersama Ryan, tidak tahu akan dibawa kemana tapi tampaknya berada di tempat parkir mobil. Ryan menunjukkan mobil kecil yang ada dihadapannya.“Masuk aja, Dik. Kita pulang sekarang.” Fajar mengatakan dengan membuka kaca mobil.“Kamu nggak masuk?” Indira menatap Ryan yang hanya menggelengkan kepalanya.“Ayo kita pulang sekarang.”"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat