"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah.
"Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng.""Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
“Dik, nanti istirahat ketemu saya di ruang kesehatan.” Indira menatap bingung dengan apa yang dilakukan pria itu, pria yang tidak lain seniornya. Mengalihkan kembali pandangan ke depan dan mencoba fokus tapi tetap saja memikirkan perkataan senior tadi, menatap Mita yang berada disampingnya dengan tatapan bingung.“Tadi siapa?” bisik Indira.“Kayaknya senior deh, kamu nanti jangan lupa kesana.” Mita mengatakan tanpa menatap Indira.Materi yang disampaikan berjalan cukup lama, Indira mulai mencatat apa saja yang penting. Mendengarkan semuanya tanpa ada yang terlewatkan, menjelang istirahat tugas diberikan dengan membentuk kelompok berdasarkan absen.“Jangan lupa ke ruang kesehatan,” ucap Mita mengingatkan.“Hampir aja lupa,” ucap Indira sambil memukul keningnya pelan.“Kalian ke kantin?” tanya Lia, salah satu mahasiswi baru sama seperti Indira dan Mira.“Aku yang ke kantin,” jawab Mita.“Kamu?” Lia menatap Indira.“Dipanggil sama senior, kalian ke kantin aja. Aku nitip minum sama roti
Acara orientasi berlangsung sampai sore, Indira sendiri sudah lumayan lelah dan merindukan ranjangnya. Acara selesai langsung lanjut dengan mengerjakan tugas, Indira sudah benar-benar lelah dan membutuhkan istirahat, beberapa kali mamanya menghubungi tentang keberadaannya dan dijemput jam berapa..Fokus dengan tugas yang dikerjakan, perlahan Indira mulai mengenal beberapa anak itupun juga dari teman-teman satu kelompoknya saja. Indira baru mengetahui dan bertemu dengan anak dari saudara papanya dan itu artinya mereka masih mempunyai hubungan saudara meskipun jauh, hebatnya lagi Indira satu kelompok dan memiliki nomer absen yang tidak terlalu jauh.Tugas yang dikerjakan bersama akhirnya selesai sudah, membagi tugas tentang siapa yang mengeprint dan menjilidnya menjadi satu. Indira sudah menawarkan tapi nyatanya ada yang lebih cepat, akhirnya mereka satu per satu pulang tapi ada juga yang masih bertahan di gazebo untuk saling mengenal satu sama lain.“Dijemput?” tanya Dita, saudara I
“Game hari ini,” ucap Mita yang duduk disamping Indira “Kemarin kamu dijemput?”“Ya, haduh game aja ini? Moga aku kuat.” Mita menggenggam tangan Indira “Kalau capek istirahat aja, bilang sama senior-senior pasti dikasih.”Melangkah ke halaman belakang perpustakaan, tempat yang digunakan untuk permainan. Indira tidak tahu permainan apa yang akan mereka lakukan, berbicara dengan Mita dan teman-teman yang lain sambil menunggu para senior datang.“Kemarin aku lihat kamu sama Mas Fajar.” Lia membuka suaranya yang diangguki Indira “Kalian dekat?”“Nggak juga, cuman temani aku sampai dijemput.” Indira memberikan jawaban sebenarnya.“Dewasa dia, kriteria aku banget.” Lia mengatakan dengan ekspresi bahagia.Indira saling menatap dengan Mita yang hanya bisa mengangkat bahu, mereka baru mengenal Lia jadi tidak tahu seperti apa dia sebenarnya. Indira sendiri tidak terlalu mengenal Fajar dengan baik, mereka baru bertemu kemarin dan tidak berbeda jauh dengan senior yang lain.“Katanya dia MA,” uca
Berjalan bersama dengan Dito ke tempat yang dikatakan Wahyu, Indira jelas bingung alasan memanggil dirinya juga. Tidak memiliki kepentingan sama sekali dengan kegiatan di angkatannya, tidak mau banyak tanya memilih mengikuti kata senior.“Kalian sudah shalat?” tanya Fajar dengan suara datarnya tapi tatapannya mengarah pada Indira.“Belum, mas.” Dito menjawab langsung.“Kalian shalat dulu aja nanti baru kesini,” ucap Wahyu memberikan saran.Indira yang paham dengan tatapan Fajar memilih menganggukkan kepalanya “Dit, kita shalat dulu aja.”Dito hanya bisa menuruti Indira, berjalan kearah musholla. Indira masih bisa mendengar suara Wahyu yang mengejek Fajar, menggelengkan kepalanya agar tidak berpikir negatif.“Disuruh cepat datang begitu sudah datang malah dimarahin, nasib jadi maba begini amat.” Dito menggelengkan kepalanya.Indira menepuk punggung Dito pelan “Makanya besok kalau jadi senior jangan galak-galak sama junior.”Meninggalkan Dito yang ingin memaki dirinya, memilih melakukan
Balik ke tempat permainan tadi dengan lesu, pikirannya kemana-mana terutama tentang apa yang dikatakan Fajar. Senior yang dengan seenaknya mengajak pacaran tanpa meminta jawaban dan satu lagi tidak bertanya dirinya punya kekasih atau tidak, Indira yakin jika semua ini adalah permainan atau taruhan yang dilakukan seniornya jadi dirinya tidak akan menggunakan perasaan jika keluar sama dia.“In, ngelamun aja.” Sinta menepuk pelan lengan Indira.“Ada kejadian apa?” tanya Indira menatap Sinta yang berada disampingnya.“Mas Wahyu ngasih arahan game selanjutnya.” Sinta menjawab dengan memberi kode agar Indira menatap ke depan.Melakukan apa yang dilakukan Sinta, menatap ke depan dan tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Fajar yang sedang berbicara dengan senior-senior wanita. Interaksi mereka sangat baik, bisa dilihat kalau senior wanita yang berada dihadapannya menatap penuh kekaguman, bukan perasaan cinta atau suka.“Lihat apaan?” bisik pria yang ada disamping Indira membuatnya terkejut
Perjalanan diisi dengan keheningan diantara mereka berdua, tidak tahu harus memulai bicara apa. Hubungan mereka hanya senior dan junior, tidak lebih dan hukuman yang didapatnya membuat Indira tidak tahu harus melakukan apa.“Kita makan dulu ya, dik.” Fajar membuka suaranya.“Ya, kak. Memang aku bisa nolak?”“Nggak, pintar kalau kamu paham. Kita makan di warung langganan aku nggak masalah?” tanya Fajar hati-hati.“Makan dimana saja yang penting makan, tapi tempatnya bersih dan nggak ada kucing, kan?”“Bersih, memang kenapa kalau ada kucing?”“Trauma sama kucing.” “Kayaknya nggak ada, tapi nggak tahu lagi. Gimana? Masih mau?”“Boleh, tapi nanti jangan malu kalau aku angkat kaki ya?”Fajar menatap tidak percaya mendengar Indira berbicara dengan sangat santai, bagaimana bisa gadis dengan santainya bicara akan mengangkat kaki saat makan. Fajar menggelengkan kepalanya pelan, menatap sekilas pada Indira yang