Perjalanan diisi dengan keheningan diantara mereka berdua, tidak tahu harus memulai bicara apa. Hubungan mereka hanya senior dan junior, tidak lebih dan hukuman yang didapatnya membuat Indira tidak tahu harus melakukan apa.
“Kita makan dulu ya, dik.” Fajar membuka suaranya.“Ya, kak. Memang aku bisa nolak?”“Nggak, pintar kalau kamu paham. Kita makan di warung langganan aku nggak masalah?” tanya Fajar hati-hati.“Makan dimana saja yang penting makan, tapi tempatnya bersih dan nggak ada kucing, kan?”“Bersih, memang kenapa kalau ada kucing?”“Trauma sama kucing.”“Kayaknya nggak ada, tapi nggak tahu lagi. Gimana? Masih mau?”“Boleh, tapi nanti jangan malu kalau aku angkat kaki ya?”Fajar menatap tidak percaya mendengar Indira berbicara dengan sangat santai, bagaimana bisa gadis dengan santainya bicara akan mengangkat kaki saat makan. Fajar menggelengkan kepalanya pelan, menatap sekilas pada Indira yang hanya diam dengan menatap lurus jalanan.“Apa kamu orangnya santai begini?” tanya Fajar penasaran.“Nggak juga, kak. Bukan santai cuman malas aja heboh sama sesuatu, lebih baik apa yang terjadi itu dijalani dan mau sampai mana itu tergantung nantinya.”“Pantas dikasih hukuman jadi pacar juga nggak bantah, apa kamu benar-benar suka sama aku?”Indira mengalihkan pandangan dengan menatap Fajar tidak percaya “Memang bisa nolak? Kalau bisa mending ini berakhir.”“Enak aja, hukuman masih akan terus berjalan.” Fajar langsung tidak suka mendengar kata-kata Indira.“Warungnya masih jauh?” Indira mengalihkan pembicaraan.“Lapar?” langsung diangguki Indira tanpa ragu membuat Fajar menatap tidak percaya “Bentar lagi sampai.”Mobil berhenti tidak lama kemudian, Fajar keluar terlebih dahulu yang diikuti Indira dari belakang dengan membawa dompet dan ponselnya. Mereka berdua langsung pesan dan mencari tempat duduk yang nyaman untuk berbicara lebih, beberapa kali Fajar melirik kearah Indira yang tampak biasa saja dan sedikit bersyukur tidak ada kucing.“Ramai, biasanya kalau gini makanannya enak.” Indira membuka suaranya.“Langganan dari jaman kuliah dulu sama Awang dan yang lain.”“Mas Awang kenapa nggak ikut? Kemana memang tadi?” tanya Indira penasaran.“Kamu tanya cowok lain depan pacar kamu?” Fajar menatap tidak percaya.“Cowok lain itu sahabatmu, kak. Aku juga baru kenal dan ketemu gimana bisa suka. Kakak aja yang kasih hukuman pacaran aku belum ada rasa sama sekali, lagian aku juga yakin kalau kakak juga nggak ada perasaan sama aku.” Indira mengatakan tanpa beban.Fajar yang mendengar terkejut dan tidak bisa berbicara apa-apa, semua yang dikatakan Indira memang benar adanya. Mengajak pacaran karena hukuman dan penasaran, wajahnya yang imut dengan pipi chubbynya ditambah matanya yang sedikit sipit. Fajar memang penasaran ketika melihatnya melamun, mengajak pacaran benar-benar tidak ada didalam rencananya. Beberapa kali mencoba membuka hati tapi tidak ada yang bisa membuatnya berdetak, semua akan baik di awal tapi setelah tahu bagaimana dirinya akan mundur.“Kak, boleh tanya?” suara Indira membuyarkan lamunannya.“Silakan.”“Gosip yang beredar pacar kakak banyak, memang kenapa?”Fajar membuka mulutnya tidak percaya dengan pertanyaan yang Indira berikan “Kamu tanya gitu di kencan pertama memang nggak takut si cowok ilfil?”Indira langsung menggelengkan kepalanya “Kita belum tentu bisa lama, lagian kakak pasti akan cari cewek baru lagi kalau sudah bosan.”Fajar mengangkat alisnya mendengar jawaban Indira “Yakin? Bagaimana kalau hubungan ini tahan lama?”Pembicaraan mereka terhenti dengan datangnya pelayan, Indira langsung menikmati makanan yang ada dihadapannya. Fajar menatap dengan menyinggungkan bibirnya melihat cara Indira makan, sama sekali tidak menjaga image didepan orang lain dan menjadi dirinya sendiri.“Lapar?” tanya Fajar yang hanya diangguki pelan oleh Indira. “Makannya pelan-pelan, nggak ada yang ambil juga.”Fajar menggelengkan kepalanya melihat cara Indira makan, tapi seketika ingat jika gadis dihadapannya memang belum makan dari tadi. Fajar memanggil dia masalah tanda tangan, istirahat hanya sebentar dan makanan yang masuk hanya roti serta air mineral. Fajar juga melihat wajahnya yang pucat saat game pertama menjelang istirahat, tapi hebatnya tidak mengeluh dan tetap melanjutkan permainan seakan tidak terjadi apa-apa.“Kamu belum makan dari tadi?” tanya Fajar penasaran.“Makan, roti aja. Lagian nggak ada waktu buat makan, kakak mangggil aku terus istirahat kedua cuman aku pakai buat di musholla.” Indira menjawab jujur sesuai dengan apa yang ada didalam ingatannya.“Mau nambah?” Indira langsung menggelengkan kepalanya “Benar nggak mau nambah?”“Nggak, nanti pasti mikirnya aku rakus dan nggak tahu malu.” Indira menjawab jujur yang membuat Fajar langsung tertawa “Aku sadar diri lagi, kak. Kita bukan apa-apa tapi aku makannya udah banyak, kalau kakak sekarang lagi pedekate pastinya langsung ilfil sama aku.”“Kalau nambah juga nggak buat aku ilfil, tenang saja.” Fajar masih tertawa mendengar kata-kata Indira.Ponsel Indira berbunyi yang langsung diangkatnya, Fajar memilih mendengarkan dalam diam. Pembicaraan yang Fajar yakini dengan orang tuanya, cara bicara Indira dengan orang tuanya seperti teman bukan orang tua.“Sudah dicari?” tanya Fajar ketika panggilan selesai.Indira menganggukkan kepalanya “Biasa mama suka gitu, apalagi ini udah melebihi jam pulang. Takut akunya kemana-mana, padahal mau kemana juga.”“Kamunya suka keluar nggak jelas.” Fajar menebak langsung.Indira memutar bola matanya malas “Keluar nggak jelas gimana? Aku nggak pernah ke cafe atau diskotek, papa nggak akan kasih ijin begituan. Maghrib kita semua harus sudah di rumah kecuali kalau kerja atau kuliah gini.”“Kalau gitu kita pulang aja, udah selesai?” Indira menganggukkan kepalanya “Aku bayar dulu.” Fajar menghentikan langkahnya ketika Indira memegang tangannya.“Bayar sendiri-sendiri, kak.”Fajar membulatkan matanya “Aku yang ajak jadi aku yang bayar....tidak ada penolakan.”Indira menutup mulutnya mendengar nada suara tegas Fajar, mengerucutkan bibirnya dengan mengikuti Fajar dari belakang. Menunggu Fajar selesai membayar mereka kembali ke mobil, Indira masih merasa tidak enak pada Fajar yang sudah membayar makanannya.“Aku nanti mampir bisa?” tanya Fajar yang membuat Indira membelalakkan matanya “Aku mau minta ijin masalah psycho camp.”“Jangan, kak. Aku aja yang bicara sama papa dan mama.” Indira langsung menolak.“Aku nggak percaya sama alasanmu jadi kayaknya lebih enak langsung bicara sama orang tuamu.” Fajar menolak langsung.“Aku yakin kakak tetap tidak mendapatkan ijin dari mereka.”“Memang separah apa penyakit kamu? Apa ini berkaitan sama wajah pucatmu tadi?”“Kakak tahu darimana? Bukannya tadi nggak ada disana?” Indira menatap terkejut pada Fajar.“Aku akan tetap bicara dengan orang tuamu masalah ijin untuk acara itu, kalau mereka tetap tidak mengijinkan aku akan minta dispensasi sama Wahyu khusus buat kamu.”“Jangan, kak. Aku yang akan bicara langsung sama Mas Wahyu.” Indira menolak langsung.“Tugas pertama seorang pacar yaitu melakukan apapun untuk pacarnya.”Tidak tahu apa yang dibicarakan Fajar dengan kedua orangtuanya, Indira hanya memberikan surat keterangan dokter jika tidak bisa ikut acara. Wahyu yang menerimanya hanya bisa diam dan tidak mengeluarkan suara apapun, bahkan bertanya pads Indira lebih.“Kamu benar nggak ikut acara itu?” tanya Mita yang diangguki Indira “Aku juga nggak dapat ijin, gimana ya bilangnya?”“Aku nggak tahu.” Indira sama sekali tidak bisa membantu Mita.Indira yang tidak berangkat membuat beberapa teman lainnya melakukan hal yang sama, beberapa kali Indira melihat ekspresi Wahyu takut dengan pemikirannya yang macam-macam tentang dirinya. Setelah mengantarkan ke rumah belum melihat keberadaan Fajar sama sekali, perasaan lega dan penasaran tentang keberadaan Fajar menjadi satu.“Mas Fajar lagi sibuk ngurus masalah RSJ,” ucap Ryan yang tiba-tiba duduk disamping Indira.“Aku nggak cari dia. Kamu kenapa disini?” tanya Indira penasaran.“Besok kita berangkat me
“Bukannya teman-teman kamu berangkat? Terus ngapain ke kampus? Habis dari kampus kemana?” tanya mama, Nuri.“Mau lihat mereka berangkat, ma. Habis dari kampus mau ke toko buku.”“Sama siapa? Pak Diman dipakai sama Bagas, terus kamu pulangnya gimana?”“Angkot masih banyak, ma. Aku berangkat kalau gitu.”“Seniormu kemarin siapa namanya? Ganteng orangnya, dia suka sama kamu?”“Kak Fajar? Nggak lah, mana mungkin dia naksir aku. Aku berangkat kalau gitu, ma.”Indira mengambil tangan Nuri mencium punggung tangannya, keluar diantar supir keluar menuju kampus, tidak peduli dengan masalah pulang karena sudah janjian dengan Gina, sahabatnya. Perjalanan rumah ke kampus tidak terlalu jauh, hanya saja Indira belum mendapatkan ijin untuk menggunakan kendaraan sendiri. Keadaan fakultasnya sudah mulai ramai, Indira memilih sedikit menjauh karena tidak enak dengan teman-teman yang lain. Bus yang akan mengantarkan mereka semua sudah bera
Tidak banyak yang tahu tentang hubungan Fajar dan Indira, walaupun banyak yang bertanya-tanya tapi Indira tidak pernah menjawab dengan pasti. Indira hanya menceritakan pada Mita, teman sekolahnya dulu. Ryan, pria itu tetangga Fajar jadi tahu banyak tentang hubungan mereka berdua dan tidak masuk kedalam hitungan.Indira tidak pernah tahu kalau Fajar selalu berhubungan dengan papanya, Ahmad. Baru tahu ketika mereka jalan pada saat yang lain psycho camp, jalan yang menurut Fajar adalah kencan tapi tidak dengan Indira.“Sebenarnya kamu sendiri sama Mas Fajar gimana?” tanya Mita saat mereka menunggu dosen masuk.“Nggak tahu, gosip-gosip itu membuat aku jaga semuanya.”“Itu kan gosip belum tentu benar.” Mita mengingatkan yang diangguki Indira “Kamu sudah ketemu sama Mas Romi?”“Ah...untung kamu bilang, soalnya Aulia cerewet banget buat aku ketemu sama Mas Romi.”“Jadwal kuliahnya beda jadinya sulit ketemu.” Indira membenarkan perkataa
“Baca apaan sih?” tanya Fajar penasaran.Satu hal yang tidak diketahui anak fakultas adalah Fajar yang sering datang ke rumah Indira setiap selesai jadwal di RSJ atau weekend atau setiap ada waktu luang, kalau ditanya tentang status mereka pastinya akan memberikan jawaban berbeda. Indira masih tidak yakin dengan keseriusan Fajar, tapi berbeda dengan Fajar yang akan menjawab mereka memiliki status asmara.“Mala sama Mas Romi bisa gitu bilang suka barengan,” ucap Indira sambil menggelengkan kepalanya tanpa menatap Fajar.“Maksudnya?” tanya Fajar bingung.Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar “Mala sama Mas Romi bilang kalau mereka saling suka satu sama lain, terus tanya kira-kira gimana bisa tahu kalau dia suka. Aku kaget aja kenapa gitu bisa bareng.”“Gimana mereka saling kenal?”“Dua hari lalu Mas Wahyu dan Mas Romi ngajak makan bareng, aku ajak teman-teman yang lain cuman Mala, Lia sama Sinta yang mau ikut....”“Mit
Kabar Romi dengan Mala menjadi pasangan membuat heboh satu fakultas, membandingkan hubungannya dengan Fajar sampai saat ini tidak ada yang tahu. Tidak ingin orang tahu tentang hubungannya dengan Fajar, dimana pastinya akan menjadi bahan pembicaraan dan mereka sangat yakin jika hubungan ini hanya sesaat.“Lihat mereka jadi iri,” ucap Lia yang tidak ditanggapi Indira “In, kamu kan dekat sama Mas Wahyu dan Mas Fajar buat aku jadian sama salah satu dari mereka. Eh...tapi jangan Mas Fajar pastinya nggak akan tahan lama mending Mas Wahyu, tapi kalau sama Mas Fajar juga nggak papa setidaknya bisa merasakan dekat sama orang pintar dan tampan.”“Kamu pendekatan sendiri aja, Mala aja pendekatan sendiri dan aku tidak tahu apa-apa.” Indira langsung menolaknya.“Mala bilang karena...”“Lia, Indira lagi apa ini? Nggak nyangka Romi jadian sama Mala, aku kira bakal sama kamu.” Wahyu memotong Lia yang ingin bicara.“Nggak lah, mas. Mas Romi hanya mas saja
Mobil berhenti di restoran yang menyajikan steak, tempat makan yang terkenal di banyak orang. Indira pernah makan disini dan biasanya bersama keluarga, tidak dengan teman-temannya karena memang harganya mahal.“Kak, kita makan disini?” tanya Indira memegang lengan Fajar.“Ya, kenapa?” Indira menatap Fajar penuh ketakutan “Aku baru dapat gaji dari RSJ.”Indira menggelengkan kepalanya “Nggak dibuat makan gini juga kali, kak. Mending kita makan di tempat biasa saja, uang kakak bisa dibuat yang lain.”“Lain? Kaya apa? Biaya menikah? Aku sudah siapin kalau itu.” Fajar mengatakan dengan santai membuat Indira membelalakkan matanya. “Udah, kita keluar. Aku udah lapar.”Menatap Fajar yang keluar dari mobil membuat Indira hanya bisa pasrah mengikutinya, Fajar sendiri menunggu Indira keluar dari mobil dengan harap-harap cemas, tersenyum tipis saat melihat Indira keluar dan melangkah kearahnya. Mengambil tangan Indira dengan menggenggam tangannya, ti
Indira tidak tahu bagaimana berita hubungannya dengan Fajar hadir setelah heboh Mala dan Wahyu. Tatapan beberapa anak membuat Indira tidak nyaman sama sekali, menggenggam tangan Mita yang berada disampingnya.“Kamu benar sama Mas Fajar?” tanya Mala yang hanya dijawab anggukan Indira “Wah...gimana bisa? Katanya dia suka nggak tahan lama kalau pacaran, memang nggak takut?” Indira hanya tersenyum tidak tahu harus menjawab apa “Mas Romi kirim kamu pesan? Dia sampai khawatir kalau berita itu benar, tapi Mas Romi bilang kalau nggak akan terjadi yang dulu-dulu.”Indira lagi-lagi hanya diam tidak tahu harus menanggapi apa, tidak selamanya Mita berada disampingnya, terkadang Mita bersama dengan Wati karena bagaimanapun Indira sendiri tidak terlalu dekat dengan Mita.“Kamu serius sama Mas Fajar?” tanya Lia yang sudah duduk disamping Indira.“Beritanya begitu jadi anggap saja begitu.” Indira menjawab sambil lalu.“Kamu bilang mau bantu aku buat deka
“Kakak kenapa disini?” Indira menatap bingung pada Fajar yang duduk di ruang tamu.“Ryan bilang adik ada masalah? Masalah Lia? Memang belum selesai?” Indira memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Fajar “Ryan ini mata-mata kakak? Tahunya lengkap sekali.” “Aku khawatir sama adik setelah beberapa minggu lalu cerita masalah Lia.” Fajar memberikan alibi.“Bukan jadikan Ryan mata-mata juga.” Indira tidak tahu bagaimana hubungan mereka bisa bertahan hampir satu semester, ternyata Fajar memang laki-laki yang tanggung jawab, selama ini kedekatannya bukan hanya dengan Indira tapi juga seluruh keluarganya. Selama ini belum pernah Fajar mengenalkan pada kedua orang tuanya atau keluarga, Indira juga tidak mencari tahu dari Ryan mengenai keluarga Fajar.“Masalah adik?” tanya Fajar lagi dengan penasaran.“Putus pertemanan.” Indira menjawab santai.“Gara-gara aku?” Indira menggelengkan kepalanya “Romi dan Mala?”