“Pengantin wanita akan segera memasuki ruangan!”
Asisten pribadi dari Hexel Steven Wijaya, dipercaya sebagai pembawa acara pada hari bahagia sang atasan. Dia adalah Nathanael Budiman. Orang terdekat dari CEO Hexel Steven Wijaya, pemimpin Wijaya Abadi Corporation. Grup perusahaan yang bergerak dibidang teknologi, hotel resort dan property.
Pengantin wanita telah dinanti dengan wajah bahagia oleh CEO tampan, Tuan Steven Wijaya. Pangeran sehari itu mengenakan tuxedo model burung merak berbahan beludru hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupu dan celana bahan yang tidak membuat sesak kaki jenjangnya. Kilatan silau dari alas kaki pantofel tersebut berhasil menyihir mata Maria Alexandra Santoso.
Wanita pilihan Steven itu berjalan dengan anggun bersama ayahanda, Franky Santoso. Gaun putih berbahan satin sutra dipadukan dengan minimalis brokat, nampak pas membalut tubuh Maria. Senyum manis favorit tuan Steven mengembang lebar tak mau luntur diwajah walau sebentar.
“Steven, tolong gantikan posisiku untuk membahagiakan Maria. Dia putriku satu-satunya. Jangan pernah biarkan setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya.”
Steven Wijaya menerima uluran tangan Maria yang diberikan oleh tuan Franky. “Saya tidak bisa menggantikan posisi papa. Saya hanya bisa melanjutkan apa yang harus papa lakukan untuk membuat Maria bahagia.”
Dua lelaki beda generasi tersebut saling berbagi senyum kebahagiaan. Maria menjadi saksi, pengucapan janji oleh Steven pada papanya, Franky Santoso. Air mata bahagia turun dari pelupuk mata Maria, “Nak, ini hari bahagiamu. Jangan bersedih.” Ujar tuan Franky.
“Terima Kasih pa. You’re still my first love, dad!” balas Maria.
Pendeta mulai memberkati kedua pengantin. Untuk yang pertama, Hexel Steven Wijaya.
“Saudara Hexel Steven Wijaya, tolong ucapkan janji pernikahan dengan tenang dan lugas. Dimohon pada kalian berdua untuk saling berpegangan tangan dan saling berhadapan.”
Baik Steven dan Maria mengikuti apa yang dikatakan oleh bapak pendeta yang akan menjadi saksi suci penyatuan cinta mereka berdua.
“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Hexel Steven Wijaya, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Maria Alexandra Santoso menjadi istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katolik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.”
Steven mengucapkan janjinya dihadapan Tuhan dengan tenang dan lugas. Setiap kata yang terucap lisannya, mata Steven tak beranjak dari memandang wajah cantik wanita yang sebentar lagi akan menjadi nyonya Steven.
“Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Maria Alexandra Santoso, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Hexel Steven Wijaya menjadi suami saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka secara Katholik. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya.”
Maria juga mengucapkan janji pernikahan dengan tenang walau sedikit tersendat karena rasa haru yang menyelimuti. Hatinya terlalu bahagia karena sebentar lagi akan bersatu dengan pria pilihan hatinya.
“Puji Tuhan. Dengan izin Tuhan kalian berdua telah berjanji dengan sadar tanpa paksaan dari pihak manapun. Tuhan mendengar apa yang kalian ucapkan. Dengan ini saya nyatakan kalian berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri.”
Pendeta pernikahan mempersilahkan Steven untuk membuka tudung penutup muka yang Maria kenakan. Dengan hati-hati Steven membuka kain tile putih tersebut. Riasan flawless pada wajah Maria semakin memancarkan inner beauty yang dimiliki. Pendeta pun meminta Steven untuk memberikan kecupan pertama sebagai tanda perubahan status mereka.
Blushing
Steven mengecup lembut bibir merekah Maria. Item termanis yang sama halnya seperti memakan buah persik. Wajah Maria seketika merona kemerah jambuan. She's a really shy girl.
Fotografer tak tinggal diam. Dengan lensa kamera pada tangannya, mereka mulai mengabadikan setiap pergerakan pasangan yang lagi dimabuk asmara.
Steven dan Maria berjalan bersama menuju halaman gereja yang mereka gunakan untuk pengucapan janji pernikahan. Bridesmaid dan groom maid memberikan sepasang burung merpati. Steven memegang burung jantan dan Maria memegang burung betina.
“Oke, kalian bersiap ya. Saat hitungan ketiga, kalian berbarengan harus melepas merpati ke udara.”
“Satu”
“Dua”
“Tiga….”
Mereka melepaskan sepasang burung merpati ke udara. Steven langsung memeluk Maria erat-erat. Tak lupa meninggalkan sebuah kecupan singkat pada pelipis gadis yang baru beberapa menit sah menjadi istrinya.
Acara pernikahan telah usai. Steven memboyong sang istri ke villa pribadinya. Mobil pengantin itu dikendarai langsung oleh orang kepercayaan Steven, siapa lagi kalau bukan Nathanael Budiman.
Mobil bergaya limosin berwarna putih dengan atap hitam metalik mengangkut dua sejoli yang telah disatukan Tuhan. Steven tak mau sedikit pun berjarak dengan Maria. Tangannya mengapit tubuh Maria agar semakin dekat dengannya. Bagai meminum morfin, Steven tak hentinya mengecup bibir Maria. Nafas Maria terengah-engah melayani kegilaan Steven. “Sayang, break time please. Nanti aja dilanjutkan, setelah kita sampai hotel kita ulangi lagi ya.”
Mata Steven membelalak ketika Maria memintanya untuk beristirahat sejenak. “Kamu tidak suka?”
Segera Maria mengklarifikasi permintaanya sendiri, “I really like it.” Dengan gaya manja Maria, ia menghembuskan sedikit udara pada telinga suaminya, guna merayu sang tuan yang sebentar lagi mungkin merajuk padanya. “Aku malu pada asisten pribadimu. Dan ku rasa desahanku terdengar olehnya.”
Steven tergelak ketika Maria membisikan kalimat tersebut dengan desahan panasnya. Mood Steven kembali membaik, padahal Steven hanya berpura-pura saja untuk memancing istrinya yang pemalu ini.
Segera Steven membalas, “Mobil ku pandai menyimpan desahanmu sayang. Dia hanya akan berbagi denganku, tidak untuk yang lain.”
Tangan Steven mengelus surai wajah Maria dengan sayang. Matanya ikut sendu dengan gerakan tangannya yang melambat. “Terima kasih karena telah memilihku Maria. I love you so much.”
“I love you too my prince!” Steven membubuhkan kembali kecupan pada dahi Maria.
Sebenarnya mereka bisa dengan bebasnya untuk melakukan apapun, karena Nathan tidak akan melihatnya. Limosin milik Steven ini dilengkapi kaca pembatas dan tombol suara senyap, dengan interior klasik Eropa.
Steven mengulurkan tangannya menekan tombol pembuka kaca pembatas, “Nathan, tolong selama saya libur semua pekerjaan kau handle sendiri. Walau kau mengalami kesusahan nantinya, jangan pernah berpikir untuk menghubungi saya. Paham?”
Nathan melirik dari balik kaca spion dalam, “Baik tuan Steve, saya mengerti.” Maria juga melirik pada sang suami.
“Pak Nathan, anda boleh menelpon saya. Dengan senang hati saya akan membantu anda. Jangan kesusahan sendirian. Ini kan untuk kepentingan bersama. Ribuan orang berharap rejeki dari keberhasilan perusahaan.” Protes Maria atas perintah Steven.
“Loh,.. Sayang?” Steven tak terima pemberian bantuan yang ditawarkan oleh Maria pada asisten pribadinya.
“Aku ini sekretarismu. Sudah menjadi tugasku untuk membantu Pak Nathan. Kamu udah janji kan untuk profesional sebelum kita nikah?!”
“Detik ini kamu itu istriku bukan sekretarisku. Kita tidak berada dalam kantor saat ini. Dan kamu, mulai biasakan untuk memanggil Nathan dengan namanya langsung.” Maria hanya mampu menatap mata hazel Steven. Satu hal yang tak bisa dilunturkan dari pria keturunan Italia ini, yaitu sifat keras kepalanya.
“Dan kau Nathan, panggil Maria dengan sebutan nyonya. Kalau sampai saya dengar kau memanggil dengan namanya langsung seperti biasa, gajimu akan saya potong 25%.” Ucap Steven dengan lugas, saat ultimatum ia lontarkan.
“Baik tuan Steven dan nyonya Steven. Saya akan mandiri selama kalian berbulan madu. Nyonya terima kasih atas kebaikan hati anda.” Ujar Nathan, melerai pertikaian kecil yang mereka buat sendiri.
Maria mengelus dengan lembut rahang kokoh Steven, “I’m sorry. Tapi kamu jangan terlalu galak begitu. Be nice, everything will be okay. Kalau Nathan menghubungimu itu artinya situasi sangat genting. Jadi jangan ditolak ya.”
Netra tajam bagai mata elang milik Steven melirik Maria dengan penuh damba. ‘Apa aku telah memancingnya untuk memulai lagi?’ tanya Maria pada angin yang membelai tubuhnya.
“Jangan memancingku Maria.” Bisik Steven pada telinga Maria. Bapak suami ini menggigit sedikit daun telinga Maria. Hal tersebut membuat suhu tubuh Maria meremang.
“Ingat sayang, persiapkan dirimu dengan sebaik mungkin sesampainya di villa nanti. Aku gak mau menunda, jadi jangan tolak aku. Paham?”
Steve dan Maria bergandengan tangan seraya memasuki villa. Sesuai janji Nathan, ia hanya akan menghantar saja, tidak akan mengganggu acara honeymoon sang atasan.Mereka bersitatap terus sambil mengulas senyum manis. Maria masih malu-malu pada suaminya, Steve. Terlihat pada rona wajahnya seperti warna buah persik.“Apa kamu baru sadar, kalau aku itu sangat tampan?” goda Steve bertanya pada Maria.“Iya, aku baru menyadarinya.” Tantang Maria dengan terkekeh malu setelah itu, hingga menutupi wajahnya dengan telapak tangannya sendiri.Sesaat kemudian Steve meraih tangan istrinya, “Jangan ditutupi begitu, aku suka senyum kamu sayang.” Maria tak sanggup dihujami rayuan pulau dari Steve. Suami itu langsung saja melahap candu merekah dengan int
Maria berpegangan kuat pada dinding speed boat, tubuhnya melayang seakan dibawa oleh ombak. Dia selalu meneriaki nama Steve. “Steve, Oh my God. Aku takut Steve…” Yang punya nama malah terkikik, “Gak usah takut sayang, aku disini untuk kamu. Please hold my hand!” Maria mengeratkan tangannya pada Steve. “Bolehkah ku buka penutup mata ini? Aku penasaran sayang, kita lagi dimana ini? Kok tubuh aku melayang—layang rasanya?” Steve berbisik, “Belum saatnya, keep calm baby girl!” diakhiri dengan hembusan nafas hangat dari mulut Steve. Maria memegang tengkuknya, “Sayang, jangan aneh—aneh please.” Steve mengecup pucuk kepala Maria. Ia mengeratkan pelukannya di pinggang Maria. Tubuh Ma
Mereka terlelap seperti bayi kembar, saling berbagi pelukan hangat. Maria memunggungi Steve, tangan Steve mengapit perut Maria. Steve juga menekuk sedikit lutut Maria, hingga lutut mereka beradu. Sinar matahari menyusup melewati celah—celah kecil jendela kamar yang mereka huni. Sinar itu mengecup mata Maria. Mata Maria memicing sedikit, karena silauan cahaya itu tak nyaman bagi matanya. Maria bergerak dengan sedikit kesulitan. Ia baru menyadari kalau dirinya dipeluk oleh Steve dengan erat. Maria berupaya untuk membalikkan dirinya, ia sudah kangen melihat wajah tampan sang suami. Maria mengangkat lengan kokoh Steve dari perutnya. Ia pegangi sementara tubuhnya yang polos bergerak untuk menyejajarkan posisi dengan Steve. “Huh, akhirnya!”
Setelah acara dadakan di kamar mandi, keesokan harinya Maria bangun duluan. Ia pun bergegas membersihkan diri. Ia pun masuk ke dapur, memeriksa bahan masakan yang akan diolah untuk sarapan mereka.Ketika sedang sibuk berkutat dengan pisau, bawang—bawangan hingga talenan, ada saja yang mengusik kerjaan Maria.“Kamu ngapain disini?” Steve sudah memeluknya dari belakang, menciumi sebelah bahu Maria yang terbuka.Salah Maria juga, kenapa ia mengenakan midi dress selutut tanpa lengan. Maria juga mencepol seluruh rambut yang sudah ia hair dryer ke atas, otomatis leher jenjangnya akan terlihat lebih menggoda.“I wanna cook. Get away please…” usir Maria lembut, pada serigala lapar.Steve semakin m
Steven mengendarai mobil sport dengan tenang. Ia sengaja mempercepat kepulangannya dari kantor. Ia tak mau melewatkan jadwal cek up pertama Maria dengan dokter Gilsha.“Untung saja Nathan bisa menemukan dokter pengganti. Perempuan, yang penting dia junior dari dokter Gilbert. Artinya dokter Gilsha juga kompeten.”Maserati ghibli berwarna biru metalik telah menempati salah satu lahan parkir mobil pada garasi rumah Steven. Tuan rumah nan tampan tak ada bandingnya, turun seraya menebar pesonanya. Steve berjalan menuju ruang utama istananya dengan Maria.Sebuah rumah dengan interior klasik Italia. Rumah mewah berlantai tiga. Semua fasilitas ada di dalam istana mereka. Sebut saja, pasti ada. Bahkan rumah itu terlihat seperti hotel bintang tujuh. Padahal pemiliknya cuma dua orang, yang lainnya juga ikut tingga
Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.“Rileks aja ya Bu Maria,”“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi
Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Mar
“owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.