Mobil berhenti di lobby Hospital City Center, sesaat kemudian Steven langsung melompat, setelah pintu dibuka. Ia langsung berlari ke ruang IGD, tanpa memperdulikan Nathan.
Semua isi pikiran hanya memuat Maria dan little champ panggilan untuk calon anak mereka. Steven terus berlari hingga ke pintu IGD rumah sakit. Ia melihat dua wanita yang tentu sangat dikenalnya.
“Mana nyonya?”
“Tuan? Nyonya ada di dalam tuan, ada sama dokter!” mereka menjawab dengan getir.
Mimik wajah Steven memuat aura kemarahan, membuat wajahnya merah padam. Hidung mancungnya kembang kempis, menahan amarah yang ingin dikeluarkan. Layaknya gunung Merapi yang ingin memuntahkan lahar panasnya.
“Urusan kita belum kelar, ingat itu
Dokter Gilsha memberi izin pada Steven untuk ikut mendampingi Maria di ruang operasi.“Saya izinkan, tapi dengan syarat bapak harus bisa mengontrol diri, emosional bapak ya. Jangan sampai mengganggu jalannya operasi nanti.”“Apa pak Steven bersedia?” tanya dokter Gilsha sebelum memasuki ruang operasi.“Saya bisa dokter,” tutur Steven lugas.Kata sepakat sudah didapat, Steven dituntun oleh seorang perawat guna membersihkan tangannya, juga dibantu untuk mengenakan jubah kesehatan. Dokter Gilsha masuk ke dalam ruang operasi. Pisau bedah sudah ditangan, Steven menguatkan hati demi anak dan istri.Di luar ruangan, Nathan terus memperhatikan pada lampu yang menyala. Nathan juga berdoa demi kelanc
“Dokter, tekanan darah pasien naik. Jauh sekali dokter. Bagaimana ini dok?” pungkas seorang suster ketika melihat pada monitor sistem. Dokter Gilsha mendengarnya. Ia tak mampu untuk melihat juga, karena tangannya sedang sibuk untuk melakukan beberapa jahitan pada kulit perut Maria yang menganga. Sebagai dokter ia harus mampu menyatukan kembali kulit tersebut sampai benar. Ini adalah bagian yang riskan, karena kalau ada bagian kulit yang membuka walau sedikit maka bisa dipastikan si ibu akan terinfeksi. Lama kelamaan hal kecil tersebut membesar dan terburuknya adalah, nyawa si ibu akan terancam. Steven panik! Tangannya tremor. Ia berusaha untuk membangunkan Maria. Meneriakan nama sang istri kencang. Suasana operasi menjadi gaduh. Konsentrasi dokter Gilsha terganggu. I
Franky sudah diizinkan untuk meninggalkan ruang rawat inap. Kondisinya sudah stabil. Namun pria paruh baya ini enggan beranjak dari sana. Ia berdalih ingin menemani sang putri yang masih jatuh koma. Steven membujuk sang papa mertua.“Pa, aku tahu papa terpukul dan tak mau menjarak dari Maria. Aku pun sama pa. Tapi kita bisa apa? Kita juga harus taat aturan pa.”Franky tersenyum getir, “Papa masih ingin disini Steve,” pintanya melirih.Steven menggenggam tangan Franky, “Kita pulang dulu ya pa. Ini udah sore, bentar lagi malam. Dokter tidak mengizinkan untuk berjaga di dalam. Sebaiknya papa juga istirahat dirumah. Papa baru sembuh.”Franky menggeleng, “Tapi Steve?” papa Maria terus menolak ajakan Steven.
Steven berlari tanpa melihat kiri kanan, air matanya terus berderai membasahi pipi. Ia cemas sekaligus khawatir.‘Sayang, tolong bertahanlah. Ku mohon. Bertahanlah untukku dan juga Kenzie.’Langkah Steven semakin berat. Kakinya kebas sesaat setelah memasuki lorong menuju IGD di rumah sakit Hospital City Center. Bibirnya kelu, hanya bergetar, tak mampu berucap.Steven pergi ke rumah sakit, setelah mendapatkan panggilan telepon dari seorang suster. Ia pergi bersama Franky, mengendarai mobil sportnya sendiri, tanpa supir. Pihak rumah sakit memberi kabar, bahwa kondisi Maria semakin menurun.Dua laki—laki beda generasi itu berbagi pandangan was—was. Mereka berdiri didepan kamar rawat Maria. Ruang intensif rumah sakit ini tidak ramai, karena harga yang
Steven duduk di mobil ambulance bersama Franky juga peti jenazah Maria. Mata mereka masih mengalirkan air mata kesedihan. Kacamata hitam itu tidak mampu memanipulasi kesedihan mereka menjadi perasaan biasa.Dihadapan mereka sekarang tengah tertidur wanita cantik, anak yang cantik, kebanggaan mereka. Maria mengenakan gaun putih panjang, lengkap dengan riasan yang mempesona.Ia hanya seperti tertidur biasa. Bibirnya masih mengulas senyum tipis. Membuat Steven sulit mempercayai mimpi yang nyata ini, atau kenyataan yang diharapkannya sebagai mimpi belaka.Kepedihan sangat terasa, saat upacara pelepasan terakhir Maria. Semua anggota keluarga diberi kesempatan untuk melihat wajah Maria sebelum petinya ditutup, lalu disegel.Dimulai dari Franky, Matilda, Kenzie, mereka membubuh
Nathan menerima seorang tamu. Mereka bertemu di apartemen pribadi Nathan. Pemilik kondominium ini sudah memakai pakaian rumah, t—shirt putih kedodoran dengan celana gombrong. Seribu persen bertolak belakang dengan pakaian formal yang membalut tubuhnya selama ini.“Masuk,” suruh Nathan tegas.Seorang laki—laki berbadan besar, tiga kali ukuran tubuh Nathan. Memakai baju hitam formal lengkap dengan jas, sepatu pantofel yang berdentum bergiliran.“Duduklah,” lagi Nathan memerintah dengan mengarahkan dagunya.“Terimakasih asisten Nathan,” jawabnya sopan sambil menghempaskan bokongnya.Nathan tetap memberi pelayanan tamu pada dia, yang status posisinya berada dibawah Nathan. Ia menyer
Pagi ini Nathan dipanggil Matilda untuk menghadap. Setelah sarapan Nathan segera mendatangi mansion Wijaya. Seperti biasa, kedatangan Nathan akan disambut hormat oleh para pekerja. Mereka akan membungkukkan badan hingga empat puluh lima derajat ke bawah. “Dimana nyonya Matilda?” tanya Nathan pada maids. “Nyonya sudah menunggu anda di ruangannya asisten Nathan.” Ujar maid sopan. Nathan diantarkan maids menuju ruangan Matilda, “Sebentar,” sanggah Nathan menghentikan langkah. “Ya, asisten Nathan?” sahut maid heran. “Bagaimana keadaan tuan Steven juga tuan Franky?” tanya Nathan risau. “Masih terpukul asisten Nathan. Nyonya Matilda juga, namun nyonya memaksakan diri agar tuan mud
“Ini tidak cukup asisten Nathan,” bantah Hunter sembari memegangi sketsa wajah wanita asing. Orang terakhir yang berkomunikasi dengan mendiang Maria.“Saya tahu.” Tikam Nathan menatap lurus. Entah apa yang dibayangi sekarang.Hunter menghela nafasnya. Ia ambil bir kaleng yang disediakan Nathan diatas meja pada ruang tamu. Mereka sekarang berada didalam kondominium milik Nathan. Setelah mendatangi lokasi kejadian, mereka kelelahan. Seluruh energi mereka tersedot, terutama Nathan. Ia kewalahan dalam mengontrol emosionalnya.“Apa kau yakin, kalau mereka bisa menemukan topik pembicaraan antara Maria dengan wajah ini?” celetuk Nathan.“Tidak. Saya rasa kemungkinannya kecil. Kita tidak tahu mereka bekerja sama dengan siapa. Kita saja b