Home / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 6. Kedatangan ibu Mertua

Share

Bab 6. Kedatangan ibu Mertua

Author: Ananda Aisha
last update Last Updated: 2023-12-05 12:20:02

Anjani Meradang. Gegas bangkit, lalu kembali mendekat pada Tiara”Kurang A*ar! Berani ya kamu.” ujarnya, seraya mengangkat satu tangan kanannya.

Kemudian, dengan gerakan cepat diarahkannya pada wajah Tiara. Tapi sayang, gerakannya kalah cepat dengan gerakan Tiara yang segera memiringkan badan ke sebelah kiri.

“Berani melawan kamu, ya!” sentak Jani, kian meradang.

“Kamu sudah tidak waras, Jani! Memangnya apa yang aku lakukan sampai kamu semarah ini padaku?” tanya Tiara mengambil langkah mundur, menjauh dari Anjani.

Cahaya dan Hasan yang sudah bersiap untuk shalat berjamaah maghrib, terlihat muncul di ambang pintu.

Keduanya tampak saling berpandangan lalu melihat ke arah Tiara dan Anjani yang seperti Tengah memasang kuda-kuda.

Tini yang kebetulan sedang tidak shalat, tergopoh mendekat pada Tiara.”Ada apa ini, Ra? Kenapa maghrib begini ribut di luar?” tanyanya menoleh pada Tiara.

“Ada orang yang kesurupan, Teh.” jawab Tiara asal.

Terang saja. Jawaban Tiara yang jelas ditujukan kepadanya, membuat Rinjani berang.

“Aku peringatkan kamu, ya. Sekali lagi aku melihat kamu berboncengan dengan Fahmi. Lihat saja, apa yang akan aku lakukan padamu!” ancam Anjani, meletup-letup.

Kemudian ia berbalik. Kembali menuju jalan setapak, lalu mengambil motornya yang sengaja ia sembunyikan di semak-semak.

Sedang Tiara. Setelah ngobrol sebentar dengan Tini, gegas memasuki rumahnya.

***

Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, Nurma kedatangan bu Ratna, ibu mertuanya.

Bu Ratna yang sejak awal tidak pernah menyetujui pernikahannya dengan almarhum putra sulungnya, terlihat enggan memasuki rumah panggung yang didiami menantu dan cucunya itu.

“Silakan diminum, Nek.” ucap Tiara, meletakkan segelas teh hangat ke hadapan bu Ratna.

Kemudian, ia pun gegas kembali ke belakang.

“40 hari meninggalnya Muhammad sudah lewat. Ibu rasa, sudah saatnya kamu transparan mengenai apa saja yang ditinggalkan almarhum suamimu .” Bu Ratna memulai percakapan.

“Maksudnya, Bu?” tanya Nurma belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan ibu mertuanya itu.

“Ibu dengar, almarhum suamimu meninggalkan banyak utang pada Esih. Betul itu, Nur?” tanya bu Ratna, tidak menghiraukan pertanyaan Nurma.

“Esih bilangnya seperti itu, Bu. Tapi, kang Muh tidak pernah cerita pada Nurma soal utang itu.” jawab Nurma, mulai tidak enak hati.

Ia yakin, kedatangan bu Ratna memiliki tujuan tertentu. Jika tidak, bagiamana mungkin ia bersedia bela-belain mengunjunginya.

“Saat Muhammad menikahimu, kamu tidak membawa apa-apa. Rumah yang kamu dan anak-anak tempati saat ini, di dapat dari kerja kerasnya” Bu Ratna kembali berbicara. “Selama ini Muhammad sudah berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan kalian, bahkan sampai berutang pada Esih. Jadi kalau pun ada harta yang ditinggalkannya, itu tidak lantas menjadi milik kalian. Karena ada kewajiban utang yang harus almarhum suamimu selesaikan terlebih dahulu.”

“Jadi, kedatangan Ibu ke mari, untuk meminta Nurma melunasi utang almarhum kang Muh?” tanya Nurma, mulai paham apa yang dimaksud ibu mertuanya.

“Ya. Ibu rasa kamu tidak bodoh, untuk memahami apa yang sudah Ibu katakan padamu.” jawab bu Ratna. “Segera lunasi utang almarhum suamimu, agar tidak memberatkannya di akhirat nanti!” titahnya.

“Tapi Bu. Dari mana Nurma mendapatkan uangnya?” tanya Nurma. “Ibu sendiri tahu. Nurma tidak memiliki penghasilan tetap. Untuk memenuhi kebutuhan anak-anak saja kesulitan. Lalu bagaimana caranya bisa menyisihkan untuk membayar utang almarhum kang Muh?”

“Itu urusanmu, bukan urusan Ibu.” Ketus bu Ratna. “Pokoknya bagaimana pun caranya kamu harus segera mencari jalan untuk melunasinya. Ibu tidak ingin ruh Muhammad menggantung di antara langit dan bumi karena ada urusan utang yang belum terselesaikan.”

Hening.

Untuk beberapa saat. Nurma terdiam. Ia tampaknya kehabisan kata-kata untuk mendebat mertuanya.

“Kalian masih punya tanah di dekat jalan Desa, ‘kan?” tanya bu Ratna kemudian. “Kenapa kamu tidak menjualnya saja? Uangnya bisa kamu gunakan untuk membayar sebagian utang almarhum.”

“Maaf Bu. Nurma tidak akan menjualnya!” tolak Nurma. “Tanah itu satu-satunya yang Nurma miliki, yang dibeli dari hasil keringat sendiri. Tidak ada uang almarhum kang Muh sedikit pun di sana.”

“Omong kosong!” bantah bu Ratna. “Ibu tahu, Muhammad lah yang selama ini bekerja keras untuk kalian. Dan semua penghasilan yang didapatnya semua diserahkan kepadamu.”

“Ibu benar. Semua penghasilan almarhum kang Muh, diberikan pada Nurma. Tapi, itu semua hanya cukup untuk biaya hidup kami sehari-hari. Bahkan itu saja sering kurang.” ujar Nurma, membela diri.

“Alasan!” Bu Ratna mencebik.”Kamu bicara seperti itu, karena enggan membayar utang alamrhum, ‘kan?”

Nurma menggeleng.”Itu tidak benar, Bu!” sanggahnya.

Mendengar perdebatan alot antara Ibu dan neneknya. Tiara pun memutuskan untuk turut Ikut bicara.

“Maaf Nek, Tiara tidak bermaksud lancang. Tap masalah utang yang ditinggalkan almarhum Bapak. Bi Esih sudah setuju, Tiara akan mencicilnya sesuai nominal yang sudah disepakati bersama.” ujar Tiara, memberi penjelasan. “Tapi kenapa tiba-tiba Nenek menagihnya?”

“Kamu tidak tahu apa-apa. Sebaiknya tidak perlu ikut campur urusan orang tua!” sergah bu Ratna, kesal.

“Sekali lagi maaf, Nek. Tiara tidak bermaksud ikut campur urusan Nenek dan Ibu.” Lanjut Tiara, tidak menggubris himbauan neneknya. “Tapi mengenai tanah yang Nenek sebutkan tadi. Tiara tahu persis bagaimana Ibu mendapatkannya.” ujarnya, berusaha memberi pemahaman pada bu Ratna.

“Alah... Anak kemarin sore, tahu apa kamu dengan masalah orang tua?” tanya Bu Ratna, mendelik.

“Tiara sudah besar, Nek. Sudah bisa memilah mana yang benar dan mana yang salah.” jawab Tiara melakukan pembelaan. “Dan jika kedatangan Nenek ke rumah kami hanya untuk merampas satu-satunya yang Ibu miliki. Tiara tidak akan tinggal diam!” tegas Tiara, tak gentar.

“Anakmu ini memang pintar sekali berbicara. Pantas saja, Esih kalah berdebat dengannya.” ucap bu Ratna, menatap sinis pada Tiara.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status