“Jadi, kita masih punya Kakek dan Nenek, Teh?” tanya Cahaya, setelah selesai membaca surat dari Nurma yang ditujukan untuk mereka bertiga.
Tiara mengangguk.”Sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat mengucapkan kalimat seperti sebuah pesan untuk kita.” ucapnya, menatap kedua adiknya bergantian.“Apa itu, Teh?” tanya Cahaya dan Hasan, nyaris bersamaan.“Pergi ke Kota. Itu yang Teteh dengar dari Ibu.” Jawab Tiara.”Tidak begitu jelas. Tapi Teteh yakin, kalimat itu yang Ibu katakan.”“Itu berarti sama dengan isi pesan dalam surat ini, Teh?” tanya Cahaya.”“Ya. Kemungkinan besar seperti itu.” Tiara kembali menjawab. “Tapi pertanyaannya, kota mana yang Ibu maksud? Ibu tidak menyebutkan nama kota yang harus kita tuju.”“Berarti kita harus mencari fhoto yang disimpan bapak. Sesuai kalimat yang ibu katakan dalam surat ini, Teh.” ujar Cahaya. “Karena menurut petunjuk dalam surat Ibu, alamat itu ada di fhoto tersebut.”“Kamu bener, Ya. Tapi ke mana kita harus mencari fjoto itu? Sedang sebagian besar barang-barang Bapak sudah tidak ada, dan sudah dibereskan. Teteh juga sudah mencari di kamar Ibu, tapi tidak menemukannya di sana.”“Lalu. Di mana kira-kira Bapak menyimpannya, Teh?” tanya Cahaya.“Itulah yang sedang Teteh pikirkan.” jawab Tiara. “Saat membereskan barang-barang milik Bapak beberapa waktu lalu, Teteh tidak menemukan apa pun.”“Bagaimana kalau ternyata bapak sudah membuang fhoto itu, Teh?” kembali Cahaya mengajukan pertanyaan.“Rasanya tidak mungkin, Ya. Teteh yakin, Bapak masih menyimpannya.” ucap Tiara, menyingkirkan kekhawatirannya, jika ternyata apa yang baru saja ditanyakan Cahaya benar terjadi.“Tapi di mana, Teh? Rumah kita kecil, satu-satunya tempat penyimpanan bapak pasti di kamar.”“Nanti, setelah acara tahlilan Ibu selesai. Kita bereskan seluruh isi rumah, kita cari di mana bapak menyimpan fhoto yang Ibu maksud.” “Baik teh.” ucap Cahaya dan Hasan berbarengan.“Sekarang, lebih baik kalian berdua istirahat. Besok ‘kan masih harus sekolah.” titah Tiara pada kedua adiknya.“Teteh juga istirahat. Aya lihat, seharian ini sudah capek sekali.” ujar Cahaya, menatap kasian pada tetehnya.“Ya, nanti teteh menyusul.” ucap Tiara. “Malam ini teteh tidur di kamar ibu.” sambungnya, beranjak dari duduknya.Untuk pertama kalinya ketiga bersaudara itu, menutup malam mereka tanpa lagi ada ibunya di tengah-tengah mereka.***Hari kedua setelah kepergian ibunya. Tiara terlihat berbelanja keperluan acara tahlilan bersama Ayu.Mengingat antusias warga yang datang untuk mendo'akan almarhum ibunya di hari pertama tahlilan. Tiara berinisiatif menyiapkan kue-kue dan air mineral untuk jamuan.Tidak ada besek atau bingkisan yang biasa dibawa pulang setelah acara tahlilan selesai, sebagaimana dilakukan warga ketika ada salah satu keluarga yang meninggal.Ustadzah Imah yang tidak sempat datang di hari pertama meninggalnya Nurma, karena sedang berada di luar kota. Terlihat bertakziah di hari kedua. Berbarengan dengan kepulangan Tiara dan Ayu dari pasar."Turut berduka cita ya, Ra. Maaf, saya tidak bisa banyak membantu di sini." ucap Ustadzah Imah, seraya memeluk Tiara. "Sabar, Ikhlas." sambungnya."Terima kasih, Ustadzah." balas Tiara, mengusap sudut matanya yang basah."Andak jadwal privat anak-anak tidak bergantian, pagi dan sore hari. Terus siangnya tidak harus ke TPA. Mungkin saya bisa menyempatkan waktu untuk membantu seperti yang lainnya di sini." ujar ustadzah Imah, kemudian menyerahkan satu kantong besar kue ringan yang baru saja dibelinya dari pasar."Sekali lagi. Terima kasih, Ustadzah." ucap Tiara, meraih pemberian ustadzah Imah.Ustadzah Imah kembali memeluk Tiara."Kamu yang kuat, ya. Sekarang, kamulah tempat adik-adikmu berkeluh kesah. Sabar selalu!" pesan ustadzah Imah, kemudian gegas berpamitan."Baru pulang dari pasar, Ra?" tanya Tini, dari teras rumahnya."Iya nih, Teh." jawab Tiara, sambil menurunkan barang-barang bawaannya dari motor Ayu."Kemudian membawanya ke dalam rumah melalui pintu belakang dibantu Tini dan Ayu."Malam ini kita buat agar-agar sama kue pukis saja ya, Teh. Ditambah sedikit buah." ujar Tiara, lalu mengeluarkan barang belanjaannya dari kresek besar yang tadi dibawanya."Iya, Ra. Itu juga sudah cukup. Mak' di rumah juga lagi membuat kue pais pisang sebagai pelengkap." ujar Tini, dengan cekatan mulai menyiapkan adonan untuk kue pukis.Ia dan mak Iroh memilih tidak pergi ke sawah, agar bisa membantu Tiara membuat kue-kue untuk disajikan malam, saat Tahlilan almarhumah ibunya."Terima kasih ya, Teh. " ucap Tiara dengan mata berkaca-kaca.Iya selalu terharu, setiap mendapat kebaikan dari keluarga mak' Iroh. Janda satu anak, yang dengan segala keterbatasannya, selalu membantu keluarganya.Tiara berjanji. Jika satu hari kehidupannya berubah jauh lebih baik. Maka orang pertama yang akan merasakan kebaikan darinya adalah mak Iroh dan Tini.Saling membantu, mereka bertiga mulai membuat adonan kue. Lalu membuatnya satu persatu.Saat ketiganya sedang sibuk menata cetakan kue dan agar-agar. Ponsel Ayu berbunyi.Satu pesan masuk di aplikasi hijau miliknya.[Yu, duplikat sertifikat tanah yang kamu minta kemarin sudah selesai. Kapan mau diambil ke rumah?]"Pesan dari Hari, Ra. Katanya sertifikat tanah kamu sudah selesai" ujar Ayu, menoleh pada Tiara. "Aku diminta ambil ke rumahnya, katanya.""Kira-kira kapan kamu mau ambil, Yu? Dia tinggal di kecamatan, 'kan?" tanya Tiara."Sore saja gimana, Ra?" Ayu balik meminta pendapat Tiara.Tiara menghembuskan napas. "Sebenarnya tidak buru-buru juga sih, Yu. Sesempatnya kamu saja, tidak apa-apa." ujarnya."Ya, sudah. Kalau begitu, nanti aku ambil sorean saja. Kalau nggak, besok ya, Ra." putus Ayu.Kemudian membalas pesan dari Hari, untuk memberi tahunya, kapan ia bisa mengambil pesanan duplikat sertifikat tanah milik almarhumah ibunya Tiara.***Hari berganti. Tidak terasa acara tahlil hari ke tujuh sudah terlewati.Tiara bersyukur sekali, banyak orang-orang baik yang membantunya.Selama tujuh hari acara tahlilan. Warga juga banyak yang datang mendo'akan almarhumah ibunya. Walaupun tidak banyak yang dapat Tiara suguhkan untuk mereka."Alhamdulillaah. Acara tahlilan Ibu sudah selesai." ujar Cahaya, terlihat lega. "Setelah ini, apa yang akan Teteh lakukan?" tanyanya, sambil membereskan piring dan gelas yang sudah dicucinya.Tiara terdiam sejenak. Tampak Tengah memikirkan sesuatu."Hari Minggu. Kalian berdua bantu Teteh membersihkan rumah, ya." ujarnya, sambil menelisik ruang bilik berlantai kayu milik kedua orang tuanya"Setelah ini, kita mungkin akan pergi dari sini. Seperti yang Ibu inginkan dalam surat yang Teteh temukan." Sambung Tiara, menatap kedua adiknya bergantian."Itu artinya, kita harus mencari foto yang Ibu katakan dalam surat itu ya, Teh?" tanya Hasan.Tiara mengangguk."Ya. Hanya itu petunjuk yang kita punya untuk menemukan tempat tinggal kakek dan nenek." jawabnya."Kalau foto itu tidak ditemukan. Bagaimana, Teh?" Kembali, Hasan bertanya."Benar Teh. Kalau kita tidak menemukan foto yang Ibu maksud, bagaimana Teh?" Cahaya turut menimpali menimpali.Bersambung...“Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah
“Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda
Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma
"Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah
Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin
Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul
Ratih yang mendengar Esih mengancam suaminya, gegas ke luar dari persembunyiannya.”Apa sebenarnya yang bu Esih inginkan? Katakan saja, tidak perlu mengancam suami saya segala.” tanyanya, sinis.“Saya minta pak Lurah bantu saya carikan pengacara untuk membebaskan Anjani dari tahanan.” pinta Esih, lantang.“Apa bu Esih sadar dengan yang bu Esih katakan? Suami saya tidak mungkin membela warganya yang sudah jelas-jelas bersalah seperti Anjani.”“Sudah Bu, jangan didengar. Bapak yakin bu Esih dan Anjani tidak akan berani menyebarkan video itu. Karena video tersebut bukan hanya menyangkut nama baik kita, tapi mereka juga.” Saman tetap dengan keputusannya, tidak bersedia membantu Anjani.“Saya dan Anjani sudah tidak peduli dengan nama baik. Dengan adanya berita Anjani terlibat kejahatan saja, kami sudah dikucilkan warga. Beredarnya video itu, tidak akan berpengaruh apa pun untuk saya dan Anjani.” Esih tampak tidak gentar dengan ancama balik yang dilontarkan Saman.“Sudah lah, Pak. Ibu tidak
Di sudut ruangan berukuran 2x3, Anjani tampak terduduk lesu sambil memeluk lututnya.Kedua matanya yang memerah, tampak mantap kosong ke atas langit-langit.Tak lama berselang, Esih bersama Parman, tergopoh mendatanginya.Melihat kehadiran kedua orang tuanya, Anjani sontak berdiri lalu mendekat pada mereka.Seorang petugas yang mendampingi Parman dan Esih gegas membukakan pintu sel, memberi mereka waktu untuk berbicara di tempat yang sudah di sediakan.“Bapak kapan pulang?” tanyanya, menatap Parman dan Esih bergantian.“Dua hari lalu.” jawab Parman, singkat. “Kamu kenapa bisa seperti ini, Jani?” tanyanya, tertuju pada Anjani.“Sudah, Kang. Jangan tanya kemana-mana dulu, fokus dengan tujuan kita ke sini saja .” ujar Esih, tampak masih terlihat marah pada Parman.Anjani yang merasa ada sesuatu dengan sikap kedua orang tuanya, menatap lekat keduanya.”Bapak dan Ibu kenapa?”“Sudah, kamu jangan pikirkan Bapak dan Ibu. Kamu harus fokus dengan masalahmu.” Esih mengalihkan topik.“Bapak dan I
“Teteh sudah memastikan kontrakan yang mau kita sewa, belum?” tanya Cahaya, seraya menghempaskan bobotnya di samping Tiara.Sedang Hasan, mengambil posisi duduk di kursi sebelahnya.“Sudah.” Singkat, Tiara menjawab.“Apa dari lokasi tempat kita tinggal nanti, dekat dengan alamat yang akan kita tuju, Teh?” lagi, Cahaya bertanya.“Kalau dilihat dari map sih, dekat. Kurang lebih empat kilometer saja.”“Aku tuh takut, kalau ternyata Kakek dan Nenek sudah tidak lagi tinggal di alamat yang tertera di foto, Teh” ucap cahaya, seraya menyandarkan punggungnya pada badan kursi. “Kalau kita tidak bertemu dengan mereka, itu artinya kita harus kembali ke kampung ya, Teh?”“Teteh belum bisa jawab pertanyaan kamu, Ya. Tapi yang pasti, seperti pesan ibu kita tidak boleh lagi tinggal di rumah kita yang sekarang.”“Tapi teh, hidup di kota pasti tidak mudah. Bagaimana sekolahku dan Hasan, nanti? Apa lagi kita orang baru, pasti tidak mudah mendapatkan sekolah yang mau menerima kita.”Sejenak Tiara terdia