Saat keduanya masih berbicara membahas ibu kandung Putri, ada suara telepon rumah yang terdengar lama, sudah pasti dari seseorang yang sangat penting ingin mengabari sesuatu.
"Biarkan aku yang angkat teleponnya," ucap Hafidz berjalan meninggalkan Hafizah yang tadinya mau dirinya yang angkat telepon masuk itu."Ya, sudahlah. Aku mau taman depan dulu, rasanya menenangkan diri di luar jauh lebih baik," ucap Hafizah berjalan ke arah pintu depan.Sedangkan Hafidz sudah mengangkat telepon masuk, ternyata dari seseorang yang memberikan kabar buruk.Hafidz:"Siapa ini?"Lestari:"Ini aku, cepat datang ke rumah sakit yang dekat dari rumah, aku kecelakaan dan membutuhkan biaya rumah sakit, bilang sama Hafizah untuk keluarkan uang tabungan yang dia miliki, itu juga uang anakku."Suara ketus itu tentu dikenali oleh Hafidz yang malas menanggapinya, tetapi Lestari sedang membutuhkan pertolongan sekarang ini, walaupun terdengar men"Apa yang kamu lakukan?" tanya Hafidz setelah menerima pesanan makanan yang dia beli tadi. Hafizah masih sibuk dengan pot yang rusak beberapa sudah dikumpulkan menjadi satu, sedangkan masih ada dua pot lagi di tangannya akan dia rapihkan. "Kamu bisa melihatnya sendiri, jadi kamu beli makanan untuk orang rumah lagi? Dari mana uang yang kamu dapatkan sedangkan kata Ibu kamu itu pengangguran? Maaf aku bertanya soal ini, tapi aku penasaran dari mana kamu mendapatkannya?"Sebenarnya tidak enak bertanya seperti itu, tetapi Hafizah penasaran sekali dengan kebenaran yang selama ini ibu katakan setiap marah pada Hafidz. "Aku meminjamnya dari temanku, kami selalu bisa berbagi ataupun meminjam, bisa dikatakan kita berdua sahabat," jawab Hafidz membohongi Hafizah. Terlihat dari wajah Hafidz yang berpaling ke arah lain membuat Hafizah meragukan jawaban pria itu. Tentu karena Hafidz memakai uang bukan uangnya, sedangkan Hafidz menggunakan setiap ha
Ketika memasuki panti asuhan yang cukup kecil dengan banyaknya penghuni di dalamnya semakin membuat Hafizah tidak berhenti menitikkan air mata. "Jadi panti asuhan seperti ini? Bagaimana anakku bisa tinggal di tempat semacam ini tanpa aku? Tega Dera dan Ibu membuang anakku di tempat begini. Aku akan pastikan anakku kembali padaku."Hafizah duduk bersama Hafidz dan ada ibu panti yang ingin mengetahui maksud keduanya datang ke panti. Sedangkan di dalam rumah terlihat sepasang mata sedang memastikan sesuatu di dalam sana. "Hafizah! Di mana kamu? Aku memanggilmu beberapa kali tapi kamu berani tidak menjawab aku!"Sudah beberapa kali jalan menggunakan tongkatnya ke depan rumah dan kamar Hafizah, tidak menemukan Hafizah sama sekali, bahkan dapur terlihat sepi dari jendela kaca yang terlihat dari luar. "Kurang ajar! Awas kamu Hafizah, rupanya kamu melanggar apa yang aku larang. Kamu pasti pergi dari rumah lagi tanpa berpamitan sama a
"Diam kamu Hafidz! Beraninya kamu ikut campur masalah aku sama Hafizah. Oh, pasti kamu mau menjadi pahlawan buat dia ya? Percuma Hafidz. Dia ini tidak akan menyukai kamu, ingat kamu masih suami dari anak perempuanku."Lestari mengingatkan dua menantunya yang sudah ketahuan pergi berdua tanpa sepengetahuannya. Dan dibalik sorot mata Lestari memiliki kekhawatiran akan keduanya bisa saling jatuh cinta. "Sudah cukup, Bu! Aku bilang cukup. Ibu bahkan tidak memiliki rasa kasih sayang pada cucumu, apa yang Ibu lakukan sama Putri?"Jelas Hafidz marah anaknya disiksa oleh ibu mertuanya yang tidak menyukainya sejak pertama bertemu. Namun, Hafidz tidak menyangka Lestari berani menyakiti Putri sampai mengikat seperti tadi. "Hanya memberikan dia tinggal di tempat seharusnya, dan aku tidak mau ada orang berisik mencari Ayahnya yang keluar dengan menantuku yang lain. Kalian dari mana? Jangan mengira aku tidak tau kalau kalian pergi bersama berdua dan Hafidz ma
"Tenanglah, aku akan menolong kamu," ucap Hafidz mendekati Hafizah yang hampir tidak sadarkan diri. Hafizah tersenyum setelah tangan dan kakinya dilepaskan oleh penolongnya, tidak pernah dibayangkannya kalau Hafidz berani melepaskan dirinya dari hukuman mertuanya . "Hafidz, bagaimana Ibu?""Sudahlah jangan bicara tentang Ibu, aku harus bersembunyi dulu," jawab Hafidz sudah melepaskan semua ikatan Hafizah. "Kenapa bersembunyi?""Karena aku telah memukul Ibu Lestari dengan kayu yang ada di kamarmu, jadi sekarang kita harus bersembunyi sebelum Ibu memaki kita berdua."Hafizah menahan tawanya, ternyata Hafidz lebih berani daripada yang dipikirkannya, tentu laki-laki semacam ini adalah idaman wanita-wanita di luar sana. "Jadi menurutmu ini lucu, Hafizah?""Tidak, aku tidak bilang ini lucu, maaf kalau aku menertawakan perbuatanmu ke Ibu, aku seharusnya berterima kasih sama kamu, karena telah menolong aku."Hafidz membantu Hafizah berdiri untuk berjalan, tetapi Hafizah kesulitan karena l
"Putri, kamu mau sekolah lagi besok 'kan? Ayah ada acara penting, jadi nanti Ayah kemungkinan tidak bisa menjemput kamu, tapi kamu tenang saja, Ayah akan mengirim seseorang untuk datang menjemput kamu," ucap Hafidz duduk di samping anaknya yang sedang bermain boneka. "Tidak apa-apa Ayah, Putri tau kalau Ayah pasti mau mencari uang untuk kebutuhan Putri. Kalau Tante cantik yang menjemput Putri, bagaimana Ayah?" tanyanya menatap mata ayahnya yang sendu akibat kesedihan yang dipendam sendiri. Hafidz meraih tangan anaknya yang mungil, dia mengecupnya lembut penuh kasih sayang, ditatapnya mata anaknya yang ingin dipenuhi keinginannya. "Maafkan Ayah, untuk kali ini Ayah tidak mungkin memaksa Tante Hafizah untuk menjemput kamu. Tante Hafizah sibuk di rumah membersihkan semuanya, nanti Tante Hafizah bisa dimarahi Nenek kalau pergi sembarangan. Jadi kamu harus memahami itu semua, kamu tau bagaimana Nenek 'kan?""Baiklah Ayah, Putri mengerti. Nenek memil
"Hanya kebetulan, di dunia ini nama orang bisa sama, kedua orang tua bebas memberikan nama pada anaknya, bahkan wajah seseorang terkadang sama walaupun kita tidak sedarah."Hafizah mulai berpikir dan melihat Hafidz dari atas sampai bawah, tidak mungkin kalau Hafidz yang dia kenal ini orang kaya. "Dari jawaban kamu aku percaya, aku rasa tidak mungkin kamu seorang pengusaha kaya raya, aku saja yang berlebihan, mungkin memang kalian memiliki wajah dan nama yang sama, hanya kehidupan yang berbeda, atau jangan-jangan pengusaha ini adalah saudara kembar kamu?""Tidak perlu sembarangan bicara lagi, aku tidak mungkin memiliki saudara kembar, karena aku anak tunggal dari keluargaku," balas Hafidz. Hafidz masih berusaha menyembunyikan semua identitasnya di depan Hafizah ataupun semua orang yang ada di rumah, bukan tanpa alasan, tetapi Hafidz tidak mau kalau dirinya akan dimanfaatkan. "Maaf, aku rasa karena tekanan hidupku jadi aku seperti ini, t
"Tidak mau!"Lestari tidak sedikitpun melangkah pergi dari rumah yang menurutnya adalah peninggalan anaknya. "Aku tidak perduli Ibu mau atau tidak, yang aku mau Ibu pergi dari rumahku sekarang."Ditariknya tangan Lestari oleh Hafizah yang tidak bisa sabar terhadap sikap mertuanya selama ini. "Jangan kurang ajar kamu, Hafizah! Aku berhak tinggal di rumah anakku."Masih terus berontak menolak untuk keluar dari rumah, walaupun sebenarnya Lestari sendiri memiliki kecurigaan pada Hamid anaknya yang selalu bisa memberikannya uang, karena Hamid tidak terlihat bekerja sama sekali. "Lepaskan aku!""Pergi sekarang!"Hafizah tetap mau mertuanya pergi dari rumahnya yang seharusnya bisa nyaman dan tenang di dalamnya, rumah yang sudah beberapa tahun ditinggalkannya selama dirinya di dalam penjara. "Jangan coba-coba kamu mengusir aku! Kamu lupa aku bisa melakukan apa saja yang aku mau terhadap kamu? Hukuman akan a
"Ayah, kita ada di mana?" Saat kakinya melangkah pada pintu rumah yang dibuka beberapa pelayan, seketika mereka menundukkan kepalanya, "Selamat datang Pak Hafidz," ucap salah satu kepala pelayan pada Hafidz yang berdiri di samping anaknya. "Terima kasih, tolong kalian siapkan kamar untuk anakku, dia akan tinggal di rumah ini." perintah Hafidz pada kepala pelayan. "Laksanakan Pak Hafidz."Putri melihat ke arah ayahnya, tidak lupa menarik tangan ayahnya agar mau menjawab pertanyaannya. "Ayah, rumah siapa?"Hafidz mendengar pertanyaan anaknya, dia juga kebingungan harus menceritakan dari mana dirinya memulai. "Ini rumah Ayah, rumah kamu juga, sekarang kita berdua tinggal di sini, kamu tidak apa-apa 'kan?"Putri melirik rumah yang dia masuki bersama ayahnya, terlihat berbeda dari rumah yang dia tempati sebelumnya. "Tidak apa-apa, Ayah. Rumah ini besar sekali. Putri suka rumahnya, tidak ada yang berter
"Ya! Dengarkan aku baik-baik, Lestari! Aku tidak akan pernah memberi kamu kesempatan lagi. Kenapa kamu bisa bebas?" Suara Hafidz terdengar sangat marah kepada Lestari, yang saat itu duduk di sofa sambil menikmati jus. "Tenang, Hafidz. Jangan terlalu emosional terhadapku. Lagipula, kamu sudah tahu aku bebas. Bagaimana kalau kita mengadakan acara kumpul keluarga saja?" "Tutup mulutmu! Aku bukan keluargamu lagi! Jangan harap aku akan mengakui kamu sebagai keluarga!" Sementara Lestari masih berbicara dengan Hafidz di telepon, Hafizah tiba dengan membawa makanan di atas sebuah piring untuk mantan mertuanya. "Bu, ini aku bawakan makanan." Lestari melihat apa yang dibawa Hafizah dan menyadari bahwa itu bukan makanan yang sesuai seleranya, jauh dari yang diharapkannya."Kamu tidak melihat apa yang ada di depanmu? Kamu bisa melihat aku membeli banyak makanan lezat, tetapi kamu tidak bisa memahami itu. Aku sama sekali tidak ingin menc
Setelah selesai makan, Hafizah segera pergi untuk mencari kebutuhan bulanan yang akan disimpan di lemari es, setidaknya untuk persediaan selama seminggu."Baiklah, ini adalah pengalaman pertamaku melakukan ini. Aku sudah menyiapkan daftar belanja seperti ibu-ibu pada umumnya, dan sekarang saatnya untuk membeli semua yang aku butuhkan," ujarnya.Hafizah mulai menjelajahi toko, mencari barang-barang yang diperlukan, didampingi oleh para bodyguard yang setia mengawalnya tanpa lelah. Mereka sudah tidak merasa lapar, terutama karena Hafizah telah menyediakan minuman untuk mereka selama bertugas."Aku tidak mengerti, semua bahan makanan harganya sudah naik, dan aku harus menyesuaikan anggaran meskipun uangku tidak akan habis," keluhnya, sama seperti wanita pada umumnya.Hafizah mengambil sayuran yang ada di depannya ketika tiba-tiba dia mendengar suara seseorang menepuk bahunya."Ibu Hafizah, ada telepon dari Pak Hafidz."Wanita itu en
Hafidz telah memberi tahu dokter yang merawat Putri bahwa anak tersebut memerlukan pengobatan terbaik. Namun, keterbatasan fasilitas di rumah sakit itu tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan penyakit langka seperti yang diderita Putri.Segera, Hafidz meminta rumah sakit untuk merujuk Putri ke luar negeri, memilih rumah sakit yang direkomendasikan oleh seorang teman lamanya yang tinggal di luar negeri.Hari itu juga, Hafidz terbang ke Thailand, di mana banyak orang menjalani operasi plastik dan berbagai prosedur medis lainnya. Thailand juga dikenal memiliki pengobatan yang canggih, termasuk untuk penyakit langka seperti yang dialami Putri."Ayah akan melakukan segalanya untukmu, sayang. Jadi, semangat lah untuk sembuh. Di sini, Ayah akan menemanimu sampai kamu membuka mata lagi," kata Hafidz saat berada di dalam mobil ambulans yang menuju bandara.Hafidz memilih untuk menggunakan pesawat pribadinya agar tidak perlu lama-lama membawa anaknya.
Hafizah menangis sepanjang perjalanan, menyadari bahwa malam ini ia akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih menyakitkan daripada pengkhianatan, yaitu terpaksa memenuhi harapan yang tidak diinginkannya. "Aku tidak menyangkal perasaanku, tetapi mengapa Hafidz tidak bisa melihat dengan jelas konsekuensi dari memaksakan pernikahan seperti ini? Aku tidak mau, dan dia juga tidak mau memahami semua ini."Hari yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi Hafizah, Hafidz, dan Putri justru berubah menjadi kesedihan, bahkan bagi Hafidz yang masih menunggu anaknya di luar ruang ICU. "Aku bodoh! Aku salah karena membiarkan Hafizah pergi dariku, tetapi aku hanya ingin melihat Putri sembuh dari sakitnya. Permintaan Putri sangat berarti bagiku. Apa salahnya? Dia mencintaiku, dan aku juga mencintainya."Hafidz merenungkan dengan dalam tindakan yang telah dilakukannya terhadap Hafizah. Sementara itu, Hafizah yang telah tiba di rumah merasakan kehilangan yang mendal
Hafidz berusaha menghubungi Hafizah, namun tidak ada jawaban dari wanita itu. Kini, ia merasa bahwa Hafizah mungkin marah padanya dan merasa terluka karena telah disalahkan sebelumnya."Apakah aku sudah berlebihan terhadap Hafizah? Aku harus segera meminta maaf padanya sebelum semuanya terlambat."Hafidz masih menunggu kabar dari dokter yang berada di dalam ruangan, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan permintaan Putri. "Kamu tetap di sini, jangan lupa kabari aku jika ada informasi dari dokter. Aku akan segera kembali.""Jangan, Pak Hafidz. Saya khawatir akan ada tindakan serius. Sebaiknya Pak Hafidz tetap di sini, takutnya mereka meminta persetujuan untuk operasi seperti sebelumnya, dan saya tidak bisa melakukannya."Hafidz terdiam. Ia tidak akan pergi setelah mengingat apa yang terjadi pada anaknya, dan ia tidak mungkin meminta bodyguard untuk mengambil alih tanggung jawabnya di sini."Kamu benar. Sekarang, hubungi bodyguard yang ada di rumah untuk membawa Hafizah ke sini. Jangan
Hafidz berlari setelah selesai mandi, tanpa sempat mengenakan pakaian. Dia sangat khawatir tentang anaknya, hanya handuk yang melilit setengah tubuhnya terlihat oleh Hafizah dan para bodyguard."Putri!" Pria itu segera masuk ke dalam kamar dan mendapati Hafizah yang masih panik dan menangis, dipenuhi rasa penyesalan."Bagaimana bisa terjadi, Hafizah? Kamu tahu betapa pentingnya menjaga anak ini, tapi sekarang lihatlah apa yang terjadi!"Hafidz tampak kecewa pada Hafizah yang tidak mampu menjaga anak mereka dengan baik."Aku sudah berusaha menjaga dia semalaman, tapi tiba-tiba dia seperti ini. Aku tidak ingin dia dalam keadaan seperti ini. Ayo, cepat bawa dia ke rumah sakit!"Hafidz menggendong anaknya dengan kedua tangan, tanpa memikirkan pakaiannya yang belum dikenakan. Sementara itu, Hafizah yang menyaksikan semua itu segera berbisik kepada bodyguard yang ada di sampingnya."Segera ambil pakaian bos kalian, aku tidak
"Tentang ibu kandungmu, sepertinya Tante pernah bertanya kepada Ayahmu, tetapi Ayahmu masih enggan membicarakannya. Kamu tahu bagaimana sikap Ayahmu selama ini. Tante tidak bisa memaksanya untuk berbagi, karena Ayahmu pasti merasakan sakit saat mengingat masa lalunya. Ada sesuatu yang dia sembunyikan untuk menutupi lukanya. Kamu juga tahu bahwa Ayahmu selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga kamu, bahkan tanpa memikirkan dirinya sendiri."Putri mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan Hafizah. Seperti yang telah disebutkan, Hafidz memang sangat tertutup mengenai hal ini."Iya, Tante. Tapi Putri tetap ingin tahu siapa ibu kandung Putri," jawabnya.Hafizah menggenggam tangan Putri dengan lembut agar dia merasa lebih tenang. Putri menatap mata Hafizah, menyadari bahwa tidak ada yang bisa dilakukan lagi mengenai ibu kandungnya."Kamu tahu, pasti ibu kandungmu cantik seperti dirimu dan sangat menyayangimu. Hanya saja, ibumu memiliki banyak pekerjaan. Kamu harus ingat bahwa suatu
"Aku tidak terpaksa, aku hanya ingin membahagiakan Putri. Dia ingin kamu menjadi ibunya," bisik Hafidz kepada Hafizah.Hafizah merasa keberatan jika Hafidz menikahinya hanya karena permintaan anak itu. Baginya, itu berarti Hafidz tidak benar-benar menginginkannya sebagai istri."Cukup! Aku yang tidak mau menikah denganmu! Lagipula, kamu tidak perlu bersikap seperti itu padaku, dan Putri juga tidak memaksamu jika kita bisa berbicara baik-baik dengannya."Hafizah mendekati Putri dan berkata, "Maafkan Tante cantik, sayang. Tolong pahami Tante, ya. Tante tidak bisa menikah sebelum kamu sembuh. Tante tidak ingin merayakan hari bahagia dalam keadaan sakit, sementara kamu juga sakit."Hafidz menggenggam tangan Hafizah untuk menghentikannya berbicara, tetapi Putri mulai berbicara lagi."Tante memang sangat cantik. Putri juga ingin mengenakan baju yang indah dan mahkota di kepalanya. Putri tidak mau memakai baju pasien seperti ini. Ayah, tidak apa-apa, biarkan aku sembuh dulu. Aku berjanji aka
Setelah Hafidz memesan makanan untuk kami berdua, kami langsung menyantapnya tanpa ragu. Namun, Putri masih belum sadar, sementara Hafizah menunggu agar bisa makan bersama kami. Suster yang menjaga juga memastikan asupan makanan yang diperbolehkan untuk Hafizah, mengingat dia baru saja keluar dari rumah sakit."Hafizah, kamu pasti menunggu Putri datang ke sini. Tenang saja, aku tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Putri lagi. Biarkan dia beristirahat, aku yakin dia akan sadar dengan sendirinya.""Aku mengerti, Hafidz. Aku hanya berharap dia ada di sini. Tidak ada yang salah, kan?""Tidak ada, kamu benar. Aku juga mengizinkanmu tidur bersama Putri jika kamu mau, meskipun aku sedikit khawatir luka kamu belum sepenuhnya aman jika terpegang oleh anakku saat dia bangun nanti."Hafidz merenung sejenak dan kemudian mendapatkan ide yang bisa membuat Hafizah tidur satu kamar dengan anaknya."Aku akan meminta orang-orang kepercayaan ku untuk men