Mataku membulat sempurna saat melihat sosok yang sudah sangat kukenali turun dari mobil sport berwarna hitam itu."Raja?" tanpa sadar kusebut namanya. Saking terkejutnya mulutku sampai sedikit terbuka. Raja berjalan menghampiri kami, sambil memasang senyum termanis bak seorang pangeran kerajaan. "Oh, iya, Tuan Sultan. Ini Raja, putra tinggal saya. Setahun yang lalu baru saja menyelesaikan pendidikannya di Los Angeles, USA."Tuan Heryawan memperkenalkan Raja kepada kakek. Raja menghampiri Kakek. "Selamat malam, Tuan. Perkenalkan, saya Raja. Semoga Kakek selalu diberi kesehatan," ucap Raja sesopan mungkin. Tubuhnya yang tinggi ia bungkukkan sedikit untuk menyamai tinggi Kakek yang duduk di atas kursi roda. Kakek sedikit mengerutkan alis. Ia sedang mengingat-ingat sosok pemuda di depannya. "Raja? Raja yang dulu pendek, kecil dan suka sekali pakai celana pendek merah ke mana-mana? Dan kalau celananya
"A, apa, Kek? Kakek akan menjodohkan Cinde dengan Raja?" "Hu um," jawab Kakek santai. "Biar kamu ada yang menjaga, Cinde. Kakek, kan, sudah tua. Kenapa, kamu keberatan dengan keputusan, Kakek?""Bukan, bukan begitu, Kek. Cinde cuma belum ingin memikirkan ke arah sana. Cinde masih ingin belajar banyak sama, Kakek. Lagipula, Cinde juga, kan, baru saja bertemu dengan kakek. Cinde masih ingin merawat kakek dengan tangan Cinde sendiri."Kakek Sultan tertawa. "Lihatlah, Raja. Cucuku ini begitu manis, kan?" Kakek semakin erat mengenggam tanganku. "Iya, Kek. Dia memang manis," ujar Raja seraya menatapku lekat. Heh? Raja apa-apaan, si? Bukannya bantuin, malah ikut-ikutan kakek menggodaku. Lagian memangnya dia mau kalau kami berdua benar-benar akan dijodohkan?Aku mengalihkan pandangan ke arah kiri, menghindari tatapan lekat dari Raja yang serasa menghujam jantung. Tapi bukannya selamat,
"Apa?" tanyaku pada pria di depanku ini. Mencoba mencari tau apa maksud dari kalimatnya barusan. Apa permintaannya berhubungan dengan perjodohanku dengan Raja?Tepat saat kuangkat wajah untuk menatapnya, manik hitamnya juga sedang menatapku lekat. Membuat pandanganku seketika beralih. "Apapun yang terjadi, aku mohon jangan pernah membenciku," lirih Prabu hampir tanpa suara. Meskipun begitu, suara beratnya masih dapat tertangkap oleh pendengaranku. Ada nada kesedihan yang ia sertakan saat ia bicara tadi. "Maksud kamu? Kenapa aku harus membencimu?" tanyaku sehati-hati mungkin. "Ya sudah, lupakan! Anggap aku tidak pernah bicara apapun!" Setelah mengucapkan kalimatnya barusan, Ia tiba-tiba berdiri, lalu berjalan menuju jendela yang ada di sisi kanannya. Berdiri di sana sambil memandang ke arah taman yang terletak tepat di luar jendela ruangan ini. "Untuk masalah sekolahmu. Nanti aku antar ke
***"Cinde, Kamu hati-hati ya, di sana. Kakek harap kamu bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik."Hari keberangkatanku ke luar negeri pun tiba. Aku harus meninggalkan negeri ini ke tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya, Amerika. Kemarin lusa, aku juga sudah mengajukan surat pengunduran diri pada Pak Bimo. "Iya, Kek," ucapku sambil memeluk erat kakek beberapa saat.Jujur, sebenarnya aku sedih harus kembali berpisah dari kakek. Keluarga yang belum terlalu lama kukenal. Ingin rasanya menolak dan memilih untuk kuliah di Indonesia saja, tapi kakek bilang kalau di Amerika aku bisa lebih banyak belajar tentang banyak hal. Sekaligus mengenalkanku juga dengan dunia luar yang nanti pasti akan sering aku temui. "Semoga Cinde tidak mengecewakan kakek, ya," ujarku lagi. "Kakek jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Soal kerjaan, serahkan saja pada Prabu," ujarku lagi.
Raja membawaku membelah jalanan Jakarta menuju ke tempat yang baru pertama kali aku datangi. Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Gaya menyetirnya kini benar-benar berbeda seperti awal tadi, saat kami baru saja berangkat dari rumah kakek. Rahangnya mengeras dan raut wajahnya juga terlihat tegang. Apa dia marah karena tadi aku ingin bertemu Prabu? Padahal aku hanya ingin pamitan, kan? Aku mendengkus kasar, kadang sikap Raja memang suka berubah seenaknya tanpa bisa kuprediksi apa alasannya. Lagipula kenapa mendadak dia bilang harus segera tiba di bandara, tadi aja, bawa mobilnya nyantai banget. Alunan lagu 'Anugrah Terindah yang Pernah Kumiliki' dari band Sheila on 7 seketika mengiringi perjalanan kami. Tanpa setahuku Raja menyalakan radio dan sedikit membesarkan volumenya. Mungkin dia merasa kalau suasananya terlalu sepi. Melihat tawamu mendengar senandungmuTerlihat jelas di mataku warna-warna indahmu.
Tanpa terasa air mataku mengalir, ada rasa nyeri di ulu hati dan sesak di dada. Kakek adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Kini ia pun sudah pergi. Teringat saat waktu aku mau berangkat ke New York waktu itu, kakek memelukku erat sambil berpesan sesuatu yang menurutku cukup aneh. Siapa yang menyangka kalau itu adalah pesan terakhir Kakek. Pemakaman kakek yang seharusnya dilaksanakan kemarin pun, akhirnya ditunda demi memenuhi permintaanku agar bisa melihatnya untuk yang terakhir kali. Nalarku berjalan. Kuusap air mataku. Aku tidak boleh terlihat serapuh ini di hadapan para tamu penting kakek. Aku adalah cucu kakek satu-satunya, ahli waris kakek. Aku harus menunjukkan wibawaku di depan semua orang. Sudah cukup kuhabiskan air mata selama perjalanan kembali ke Indonesia kemarin. Om Asykar yang berdiri tepat di sisiku, terus menjagaku agar tidak terjatuh, ia sangat tahu betapa hancurnya aku saat ia menelepon malam itu. Namun, sekuat apapun aku
Pov Prabu"Pokoknya, Mama mau kamu secepatnya harus dapat tanda tangan si tua bangka itu. Buat dia bersedia mengalihkan semua asetnya padamu. Enak saja tiba-tiba dia mau mewariskan bisnis hotel dan rumahnya kepada cucu yang baru ditemukannya itu. Mana masih anak kemarin sore. Selama ini, kan, kamu yang sudah membantu dia untuk menjalankan bisnis hotel, terus sekarang mau di buang begitu saja." Wanita di depanku ini terus saja berbicara tanpa henti, membuatku tidak bisa menikmati makanan yang seharusnya terasa nikmat di lidah. Terpaksa kuhentikan aktivitas makanku, kutahan rasa lapar dengan hanya meneguk segelas air. "Lagipula, mama sebenarnya juga berhak kok atas hotel itu. Keluarga kita saja yang aneh-aneh bikin peraturan. Bisnis keluarga hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua dan keturunannya," sambungnya di tengah aktivitas makan malam kami. Aku tidak tahu apa yang harus kujawab terhadap permintaan mama. Di kepalaku permintaannya itu
Pov Prabu (2) Setelah pemuda itu kupecat, kuperhatikan Cinde selalu murung dan tidak bersemangat. Seakan kepergian pemuda mantan karyawan dapur itu membuatnya kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Padahal siapa sih dia? Kenapa seakan-akan Cinde begitu membutuhkannya. Aku kira teman dekat prianya hanya si guru privat bahasa inggris bernama Pangeran yang culun itu, tapi ternyata dia cukup mudah juga dekat dengan lelaki lain. Kalau begini usahaku untuk menarik hatinya menjadi lebih sulit. Kesal sekali aku dibuatnya. “Lolly, jam sebelas nanti saya ada jadwal apa?” tanyaku pada wanita yang sedang sibuk bersolek itu. Terkadang kelakuakn sekretarisku yang satu itu membuatku geleng-geleng kepala. Aku sampai tidak habis pikir, mereka--makhluk yang bernama wanita--bisa-bisanya begitu rajin dan telaten menggambari sebuah garis di atas mata mereka higgga membetuk lengkungan yang menurut mereka sempurna. Padahal siapa yang akan memperhatikan hal semacam itu