"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Ibu yang baru saja keluar kamar, tiba-tiba menghampiriku yang baru saja selesai mengepel."Nih, rasakan! Makanya jangan kegenitan jadi orang. Lain kali, jangan harap bisa keluar rumah lagi!" Setelah menyiramku dengan air bekas cucian kain pel, ia berlalu meninggalkanku begitu sajaRasa dingin seketika menyelimuti seluruh tubuhku yang basah kuyup. Diikuti dengan munculnya bau tak sedap yang merasuk ke penciuman.Lambat laun mataku mulai memerah. Entah perih terkena air atau pedih menahan tangis. Keduanya sama-sama membuatku kesal. Namun, rasa kesal karena disiram air kotor jauh lebih ringan daripada kesal karena sosok menakutkan seperti ibu angkatku adalah sosok wanita satu-satunya yang saat ini aku sayangi. Yah, semenjak tiga tahun lalu, saat ia mengadopsiku dari panti asuhan.Awalnya ibu sangat baik dan menyayangiku seperti kedua anaknya yang lain, Kak Drewnella dan Barbetta, tapi sejak sebulan lalu, suaminya tiba-tiba meninggalkan ibu karena sudah menikah lagi dengan wanita lain. La
Ibu langsung menuju kamarku, membuka lemariku dan mengacak susunan baju yang sebelumnya masih tersusun rapi."Ini apa, hah?"Mataku membulat sempurna melihat ibu yang sudah memegang amplop cokelat di tangannya.Ibu langsung membuka amplop dan menghitung isinya, sepertinya jumlahnya masih sesuai.Aku kira marahnya sudah reda, tapi ... "Dasar anak nggak tahu diuntung! Sudah dipungut baik-baik, malah jadi pencuri! Begini ini memang, kalau anak nggak jelas keturunannya!"Ibu memukul betisku berkali-kali dengan sapu lidi yang ada di kamarku."Cinde berani bersumpah, bukan Cinde pelakunya, Bu! Baru sekarang ini Cinde melihat amplop itu!" bantahku sambil menahan nyeri. Perlahan air mata sudah turun membasahi pipi karena sakit yang kurasakan."Halah, diam kamu! Kamu pikir itu uang bisa jalan sendiri ke kamar kamu, hah!"Ibu memukulku lagi. Jika Ibu lagi marah seperti ini, lebih baik aku diam, sampai nanti marahnya reda, nggak ada gunanya aku membantah."Sekarang kamu kemasi semua bajumu, per
"Tuan, Nona muda sudah berhasil kami temukan," ucap seorang pria tegap yang menghampiriku di halte pada seseorang di ujung telepon. Siapa pria ini? Siapa yang dia maksud dengan nona muda tadi? "Selamat malam, Nona Cinde." Pria itu menundukkan sedikit badannya. Kok, dia tau namaku? "Perkenalkan, saya Asykar. Saya datang untuk menjemput Anda.""Jemput? Jemput ke mana, Om? Saya kan nggak kenal Om."Jangan-jangan, dia penculik."Saya sudah lama mencari-cari nona. Silakan, Nona. Kakek Anda sudah menunggu," sahut pria itu lagi sambil membukakanku pintu belakang mobil. "Saya nggak punya Kakek, Om," ucapku sambil bersiap-siap untuk segera kabur dari sini. "Cinde, akhirnya gue nemuin lo di sini. Gue udah denger dari Barbetta, kalo lo diusir. Yuk, ikut. Gue bantuin cari kos-kosan di sekitar sini."Mas Pange tiba-tiba muncul di depanku. Apa, aku ikut sama Mas Pange aja, ya? Nggak, ah, yang ada nanti aku makin dianiaya sama Kak Drew. Aku diusir dari rumah kan, juga gara-gara dia. "Ayo Om,
Delapan belas tahun lalu.Putra satu-satunya keluarga Andromeda, Arjuna Andromeda yang sudah seminggu menghilang, tiba-tiba pulang kembali ke rumah. Ia membawa seorang yang sudah dinikahinya.Ibundanya, Ibu Suri, hanya bisa terdiam saat Juna memperkenalkan gadis sederhana itu sebagai istrinya. Bahkan ia tidak sempat melepas rasa rindunya akan kehadiran putra kesayangannya itu. "Kamu ... tinggalkan wanita itu atau ibu akan mencoret namamu sebagai ahli waris hotel kita!" ancam Ibu Suri. "Tapi Juna sangat mencintai Ratu, Bu. Kami juga sudah resmi menikah. Ibu tidak bisa menyuruh Juna meninggalkannya begitu saja," jawab Juna sambil menggenggam erat tangan Ratu. Ratu hanya bisa menunduk melihat kemarahan Ibu mertuanya itu. "Sekarang terserah kamu. Ibu sudah kasih kamu pilihan. Kamu tinggalkan wanita itu atau pergi dari rumah ini dan lupakan kalau kamu adalah seorang Andromeda."Ibu Suri langsung membalik badannya. Ia lalu meninggalkan Arjuna bersama istrinya di luar rumah. Sejak keda
"Benarkah itu Juna? Makasi ya, Nak." Ibu Suri terbangun, lalu langsung memeluk erat putranya."Ibu akan segera mempersiapkan pernikahan kalian. Kau hanya harus tetap bekerja seperti biasa, memimpin hotel kita.""Tapi Bu, Juna akan kembali ke Malang untuk menemui Ratu dulu. Biar bagaimanapun, dia istri Juna. Dia tetap harus tau tentang hal ini."Ibu Suri yang merasa takut kalau kepergian anaknya ke Malang akan membuat Juna tidak kembali lagi ke sisinya langsung histeris."Tidaaak! Ibu tidak mengizinkanmu pergi ke Malang lagi. Kamu tidak boleh ke mana-mana!""Bu, Juna hanya ingin memberitahu Ratu, tidak lebih. Ibu nggak usah khawatir berlebihan, ya. Nggak bagus buat kesehatan Ibu." Juna berusaha menenangkan Ibu Suri. Ia memeluk erat ibundanya dengan penuh kasih sayang."Kalau begitu, biar Ibu sendiri yang akan menjemput Ratu. Ibu akan mengajak Ratu tinggal di sini."Mata Arjuna berbinar. "Sungguh, Bu?"Ibu Suri mengangguk pelan."Tentu saja."Keesokan harinya, Ibu Suri ditemani beberapa
"Jadi, nanti kamu akan tinggal di sini bersama kakek, Cinde," ucap Sultan Andromeda.Aku masih menggeleng-gelengkan kepala atas semua yang baru saja terjadi. Sulit sekali rasanya untuk mempercayai ini semua. Siapa yang menyangka, bahwa kehidupanku yang beberapa menit lalu masih tidak jelas akan tinggal di mana, beberapa saat selanjutnya malah akan tinggal di rumah mewah bak istana ini."Tapi saya masih belum percaya, Tuan. Eh, maksud saya, kakek. Bagaimana bisa kakek yakin kalau saya adalah cucu kakek?"Sultan tersenyum. "Besok pagi akan kakek ceritakan semuanya. Sekarang sudah larut malam. Kamu pasti lelah. Istirahatlah," sahutnya bijak."Asykar, tolong panggil pelayan untuk mengantar Cinde ke kamarnya.""Baik, Tuan."Om Asykar menghubungi salah satu pelayan melalui intercom yang terpasang di dinding belakang, tempat ia berdiri.Tak lama kemudian muncul seorang wanita bereseragam hitam-putih yang sebelumnya sudah aku lihat di pintu masuk tadi."Bi Jariyah, tolong kamu antar nona mu
Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak ya, Kak. Makasi udah mampir. Semoga suka. Kuusap pelan gambar seorang pria bersama dengan seorang wanita, di dalam album foto berwarna keemasan ini. Seorang pria tampan dengan senyum hangat yang menenangkan siapapun yang melihatnya. Garis wajahnya tegas, tulang rahangnya besar dan ada sebuah lesung pipit di kedua pipinya saat ia tersenyum. Rambutnya hitam bergelombang. Iris mata coklatnya mengingatkanku pada seseorang yang juga mempunyai warna lensa mata yang sama. Diriku. Jika bercermin, aku akan memiliki garis wajah yang serupa dengan pria di foto ini."Jadi pria ini adalah ayahku?" tanyaku masih sambil memandangi gambar tak bergerak itu."Iya, Cinde. Dia Arjuna, anak Kakek satu-satunya yang juga ayahmu.""Lalu, wanita di sebelahnya ini ... apa dia ibuku?"Kakek Sultan menggeleng pelan. "Dia Selena. Istri kedua ayahmu," jawabnya pelan seraya mengalihkan pandangan ke arah luar jendela yang terletak persis di sebelah kanannya. "Ibumu ber