Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
[Meski pada akhirnya pernikahan kita berakhir atau bahkan kita tidak akan pernah lagi bertemu. Aku cuma mau bilang, aku merasa ... aku sangat beruntung pernah ketemu kamu, menjadi istri kamu, bagian hidup kamu, menghabiskan seluruh waktuku bersamamu. Makasih udah hadir di hidupku, memberi warna hari-hariku, menjadi orang paling lucu, galak, cerewet. Aku enggak pernah nyesel pernah tulus sama kamu. Karena aku sadar, enggak selamanya ... tulus jadi pemenangnya. Makasih laki-laki baik. See you.Alya]Usai menulis pesan itu pada selembar kertas, Alya melipatnya. Menyusun kertas berwarna putih bersih itu bersama buku nikah dan cincin kawinnya di meja kamarnya."Aku pergi ...." Alya berkata lirih seolah-olah sedang berpamitan dengan Arfan. Dengan dada nyeri ia kemudian menyeret koper yang telah ia siapkan menuju taksi online yang telah ia pesan untuk mengantarnya ke terminal.Entah sudah kali ke berapa Alya menyeka air matanya. Buliran bening itu terus mengalir membuat pandangannya buram. N
Entah kali keberapa Arfan menghela napas. Dadanya begitu sesak. Sampai-sampai semalaman ia tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya kemana-mana. Sejak Meira menyampaikan kalau Alya meminta bertemu dengannya, pikiran Arfan tidak bisa sejenak pun terlepas dari mantan istrinya itu.Lima tahun sudah mereka berpisah, dan tidak sekalipun Alya menghubunginya. Bahkan saat Alya melahirkan. Karena dulu saat Alya meninggalkan rumah, kondisinya sedang hamil lima bulan. Dan sekarang, Alya meminta untuk bertemu dengannya. Arfan yakin, pasti ada hal besar sehingga wanita yang masih sangat ia cintai itu sampai meminta bertemu dengannya.Arfan beranjak dari ranjang setelah meraup kasar wajahnya."Mau kemana?" Arfan menoleh saat mendengar Meira bertanya."Kamu belum tidur?"Meira menggelengkan kepalanya. "Belum.""Aku ... mau cari udara segar."Tanpa menunggu respon Meira, Arfan meninggalkan tempat tidur mereka. Tempat tidur yang dulu begitu hangat saat Alya masih ada di sisinya. Dan kini
"Habis dari mana kamu, Fan?" Meira langsung mengejar Arfan yang baru saja membuka pintu rumah. Wanita itu sudah menunggu kepulangan suaminya itu cukup lama di sofa ruang tamu. Dan nyaris tengah malam Arfan baru saja tiba di rumah.Namun, bukannya menjawab apalagi menjelaskan, yang ditunggu malah tidak menghiraukannya sama sekali. Arfan terus melangkah menuju kamar dan meninggalkan Meira yang masih berdiri di ruang tamu. Seolah-olah keberadaan Meira seperti mahluk tak kasat mata di mata Arfan."Fan! Aku tanya sama kamu!" teriak Meira putus asa. Akhirnya dengan menghentak-hentakan kaki, Meira menyusul Arfan ke kamar."Ngapain kamu ke rumah sakit?" tanya Meira lagi setelah dua pertanyaan sebelumnya Arfan abaikan. Dan kali ini pun sama. Arfan masih bungkam seolah-olah tidak mendengar pertanyaan Meira, membuat wanita itu semakin kesal."Apa jangan-jangan keluarga Alya ada yang sakit?" tebak Meira. "Benar? Gitu, Fan?" lanjut Meira karena Arfan masih mengabaikan pertanyaannya. "Terus, ngap
Alya menghempas cekalan tangan Arfan saat mereka sudah berada di dalam lift. "Apaan sih, kamu, Fan!" pekik Alya dengan suara tertahan. Tak mungkin ia berteriak di tempat umum."Maaf." Arfan mengangkat kedua tangannya dan mundur satu langkah. Ia paham Alya tidak suka ia menyentuhnya seperti itu. Apalagi saat ini Alya telah berhijab sempurna dan mereka bukan lagi suami istri."Aku cuma enggak mau Meira mempermalukan kamu seperti itu di tempat umum," jelas Arfan. Ia tidak ingin dalam pertemuan yang singkat ini Alya sampai marah kepadanya."Aku bisa mengatasi dia," ucap Alya datar.Arfan mengangguk. Ia tahu itu benar. Alya bukan lawan bagi perempuan manja seperti Meira. Alya wanita kuat dan bisa mengatasi nyaris semua masalahnya. Meski ada satu hal yang pada akhirnya tidak bisa Alya atasi dan akhirnya ia memilih pergi. Karena dengan cara pergilah Alya mengatasi permasalahan itu. Meski sakit, Arfan menghargai keputusan Alya.Ting!Lift terbuka. Mereka berada di lantai lima karena tadi Arf
"Ta, itu di luar ada Papa," ucap Alya setengah berbisik pada Aleta yang sedang asyik bermain boneka di atas ranjangnya. Anak empat tahun itu menoleh dan menatap wajah mamanya. "Papa pulang?" tanyanya dengan mata berbinar.Alya mengangguk. Ia sebenarnya bingung sendiri dengan pilihan kata pulang yang diucapkan Aleta. Karena Arfan hanya datang untuk menemui Aleta. Bukan pulang seperti yang ada di pikiran Aleta.Alya jadi teringat malam sebelum paginya Aleta tiba-tiba tidak bisa berjalan, anak itu menangis tanpa suara. Saat Alya bertanya, "Aleta kenapa menangis?" Aleta menjawab, "Aleta kangen Papa. Aleta ingin ketemu Papa."Hati ibu mana yang tak hancur, saat mendengar anaknya merindukan papanya yang sudah bahagia dengan keluarga barunya? Apalagi keesokan harinya saat bangun tidur tiba-tiba Aleta menangis karena tidak bisa berjalan.Akhirnya dengan membuang semua ego yang ada pada dirinya, Alya kemudian memutuskan untuk bertemu Arfan. Alya takut, kalau sampai Aleta pergi, anak yang waj