Sungguh, kali ini Pram tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Bukan hanya karena gadis itu tak takut, tak menolak, atau bahkan mencoba kabur—tapi karena Bitha, dengan segala ketenangannya, menyerahkan diri begitu saja. Seolah-olah dia tahu betul siapa yang ada di hadapannya. Seolah tak peduli dengan segala framing Casanova yang melekat pada nama Pramudya Notonegoro. Apakah gadis itu gila? Atau… apakah dirinya yang mulai kehilangan nalar? Tapi bukan itu yang paling mengusiknya. Tidak hanya keberanian Bitha. Tapi juga reaksi tubuhnya sendiri. Aneh memang—Pram yang selama ini nyaris tak bisa menyentuh siapa pun tanpa reaksi penolakan dari dalam tubuhnya sendiri… kini mendapati dirinya tenang. Bahkan terlalu tenang. Tak ada gelombang panik. Tak ada mual. Tak ada gemetar. Tidak saat ia menyentuh tangan Bitha. Tidak saat ia mencium bibirnya. Semuanya terasa wajar. Nyaman. Seakan trauma bertahun-tahun itu lenyap begitu saja, ditelan hujan di tengah kemarau panjang. Dan di sanalah ia, memandangi Bitha dalam diam—sambil bertanya-tanya dalam hati… Apa yang sebenarnya gadis ini lakukan padanya? Ciuman itu makin dalam. Bukan karena intensitasnya, tapi karena apa yang dibawa bersamanya—perasaan, denyut, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Terlebih saat Bitha mencengkeram erat lengan kemejanya, seolah tak rela membiarkannya pergi. Tubuh Pram pun mulai bereaksi. Bukan seperti biasanya. Sentuhan itu menyalakan sesuatu dalam dadanya—gemuruh yang lembut, tapi tak bisa diabaikan. Seperti irama lagu klasik yang mengalir tenang, tapi mengguncang dari dalam. Tidak ada yang memaksa mereka. Tak ada paksaan, tak ada permainan. Segalanya mengalir… seperti sesuatu yang memang seharusnya terjadi. Tapi Pram terperangkap dalam dilema. Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu dirinya tak boleh terseret. Karena jika ia menyerah, jika ia jatuh—dia tak yakin Bitha bisa menopangnya. Pram terbiasa berdiri sendiri. Tangguh. Tertutup. Tak ada ruang untuk kelemahan. Dan pesona Bitha… terlalu halus, terlalu dalam, terlalu berisiko. Maka, dengan sisa logika yang ia punya, Pram menghentikan ciuman itu. Namun saat matanya bertemu dengan tatapan Bitha, gadis itu seolah menantang—tidak ingin berhenti. Dan sebelum ia sempat menarik napas atau berkata apa-apa, Bitha sudah mendekat lagi. Menciumnya. Memulai. Mengendalikan. Saat itu juga, runtuhlah seluruh pertahanannya. Pram menarik tubuh gadis itu lebih dekat, merapat erat hingga tak ada ruang di antara mereka. Hanya napas, detak jantung, dan keinginan yang tak lagi bisa dibendung. Sesaat, Bitha Araminta bukan hanya gadis yang menantangnya. Ia menjadi candu bagi Pram. Ciuman itu tak lagi sekadar saling menyentuh bibir. Kini, ada desakan. Ada rasa. Ada sesuatu yang menuntut lebih. Pram tak lagi berpikir. Segala suara di kepalanya—tentang logika, kendali, bahaya—semuanya menguap begitu saja saat ia merasakan tubuh Bitha melekat erat padanya. Napas gadis itu memburu, terselip di sela desahnya, dan itu membuat darah Pram mendidih dengan cara yang begitu asing namun adiktif. Tangannya berpindah, menyusuri pinggang Bitha, menahan gadis itu erat, membenamkannya dalam dekapannya seolah ingin menyatu. Ia menunduk, mencium leher Bitha dengan napas berat—tidak terburu-buru, tapi dalam dan penuh rasa. Bitha menggeliat ringan, dan Pram sudah kehilangan kendali. Aroma kulitnya. Suara napasnya. Reaksi tubuhnya yang tak menjauh, malah mendekat. Gadis ini… sungguh membawa malapetaka. Tapi Pram tak peduli. Tidak sekarang. Tidak saat keinginannya menuntut tuntas. Ia mencium lagi bibir Bitha, kali ini lebih dalam, lebih kuat—seolah ingin membuktikan bahwa ia juga bisa mengambil alih. Tangan Bitha tak tinggal diam, meremas bagian dadanya melalui kemeja yang sudah kusut, menimbulkan dentuman rasa di dada Pram yang membuatnya makin gila. Desah napas mereka menyatu, tak jelas siapa yang memimpin atau mengikuti. Yang pasti, keduanya telah hanyut terlalu jauh untuk kembali. Tubuh Bitha kini tertahan di antara lembut sofa dan tubuh Pram. Tak ada celah. Hanya panas yang memercik di udara, membakar perlahan namun pasti. Dan saat Pram menatap mata Bitha—dalam jarak yang nyaris tidak ada—ia tahu satu hal. Dia sudah terlalu dalam. Dan yang lebih gila… dia tak ingin naik ke permukaan. Bitha mulai rileks, tubuhnya lebih leluasa dalam dekapan Pram. Tak ada lagi ketegangan di antara mereka hanya napas yang memanas dan tatapan yang semakin dalam. Dengan tangan yang gemetar namun yakin, Bitha menyentuh kancing kemeja Pram satu per satu. Membukanya perlahan, penuh kehati-hatian… seolah menghormati setiap inci dari tubuh yang selama ini tak sembarangan disentuh siapa pun. Dan saat akhirnya kain itu terbuka, terlihatlah otot-otot tubuh Pram yang terukir indah. Tegas pun simetris yang tersembunyi di balik kekuatan tubuh itu. Bitha menghela napas pelan, tak percaya pria setenang ini bisa terlihat begitu indah. Jemarinya menyusuri sisi tubuh Pram, membiarkan kehangatan kulit Pram menyentuh pori-porinya. Tapi saat itu juga—Pram menegang. Satu tarikan napas panjang. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak. Bukan karena tidak menginginkan, tapi karena terlalu menginginkan. Tidak. Ini terlalu jauh. Jika ia lanjutkan, maka semua pertahanan akan runtuh. Dan Pram tak suka kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Itu prinsip. Itu benteng terakhirnya. “Bitha…” suaranya serak, nyaris bergetar. Ia menahan tangan gadis itu di dada, jantungnya berdentum cepat di balik kulitnya yang hangat. Gadis itu menatapnya. Tenang. Tidak takut. Bahkan tersenyum samar, seolah tahu Pram sedang berperang dengan dirinya sendiri. “Kita tidak bisa melanjutkan ini,” bisik Pram pelan, lebih seperti peringatan untuk dirinya sendiri. Tapi tubuhnya tak menjauh. Dan Bitha pun tidak melepaskannya. Pram telah berdiri di tepi jurang. Ia mendongak tinggi. “Maaf,” ucap Pram datar, hampir seperti tamparan yang disengaja. “Kamu bukan tipe saya.” Ia melepaskan tangan Bitha dari dadanya, menahan napas—sekuat tenaga menolak segala hasrat yang barusan nyaris meledak. Sejurus kalimat itu, seperti cambuk yang menghantam telinga Bitha. Alisnya langsung bertaut, wajahnya menegang. “Apa?” suara Bitha meninggi, tajam, terluka. “Hentikan ini sekarang juga…” Pram berkata pelan, lalu bangkit dari sofa, menjauh. Punggungnya tegang, rahangnya mengeras—tapi ia tak menoleh lagi. Bitha terpaku. Matanya berkaca, tapi tidak menangis. Hanya kesal. Jadi… kutukan itu nyata? Lagi-lagi, setelah ciuman, pria-pria itu berubah. Menjauh. Termasuk Pram. Dengan ego yang masih menyala, Bitha menegakkan tubuhnya. Ia merapikan tali gaunnya yang sudah jatuh ke lengan. Ia berdeham kecil sebelum memulai perang. “Dan Anda… tidak sehebat framing Anda selama ini.” Tatapannya sengaja dibuat setengah mengejek. Pram diam. Tak bergerak. Tapi rahangnya mengeras. Egonya jelas tertikam. Karena sialnya, perempuan itu benar. Tapi apakah ia akan mengakuinya? Tidak. Pramudya Notonegoro tidak akan diam diremehkan seperti itu. “Anggap uang ini sebagai ganti rugi waktu yang sudah Anda buang percuma…” katanya, suaranya lembut namun sinis, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Dirinya masih menahan Tidak sekarang. Tidak olehnya. Hanya ada satu cara membungkam perempuan ini—bukan dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan. Langkahnya berat dan mantap saat ia mendekat lagi ke arah Bitha. Matanya menatap tajam, menusuk balik. Tidak lagi defensif. Kini menantang. “Oh, ya?” suaranya rendah juga terdengar mematikan. “Kalau bukan karena saya yang menahan. Sudah saya pastikan kamu rusak sekarang.” “Kenapa tidak kita coba permainan yang lebih jauh saja, Nona Bitha?” Tanpa aba-aba, Pram langsung meraih tubuh gadis itu dan mengangkatnya ke dalam pelukannya. Seketika, Bitha membelalak. Napasnya tercekat. Tapi Pram tidak menghentikan langkah. Dengan satu gerakan mantap, ia membaringkan Bitha di atas ranjang—di atas sprei hangat dan lembut yang kini kontras dengan suhu tubuh mereka yang makin membara. Ia menatap Bitha dari atas. Nafasnya berat, matanya gelap dan penuh intensitas. Tak lagi canggung. Tak lagi terhalang trauma. “Jangan menyesal saat aku melakukannya dengan serius…Bitha.” Pram berbisik, nafasnya menyapu pelipis gadis itu. Bitha tak berkutik, tapi matanya tetap menantang, meski napasnya mulai tak beraturan. Tak ada lagi nada menggoda dari bibirnya. Kini, ia tahu—Pram sedang serius. Pram menunduk, mencium pelan garis rahang Bitha. Lalu turun ke lehernya. Ciumannya tidak lembut. Tapi tidak kasar juga. Ciuman itu seperti pelampiasan dari sebuah protes sebelumnya. “Jadi menurutmu… sentuhanku kaku?” gumam Pram, suaranya rendah pun tajam, tangan kirinya kini mulai membelai kulit mulus Bitha—di bagian leher hingga tulang selangka yang terbuka di balik potongan tali spageti itu. “Kita lihat seberapa jauh kekakuan itu bisa membuatmu bergetar.” Bitha menggigit bibir bawahnya. Ada bagian dalam dirinya yang ingin melawan. Tapi sebagian lainnya mulai luluh. Tangan Pram begitu terarah, tahu kapan harus menekan, kapan harus menggoda. Kini, ia tampak seperti pria yang tahu persis apa yang ia inginkan dan bagaimana cara membuat wanita di bawahnya menyerah. Dan saat kulit mereka bersentuhan kembali, tak ada reaksi penolakan dari tubuh Pram. Tidak seperti dulu. Tidak seperti biasanya. Mungkin dia telah sembuh. Pram menyatukan tubuh mereka semakin dekat. Suara mereka saling berburu di antara napas yang makin tak teratur. Tubuh Bitha gemetar pelan, ia mencengkeram bahu Pram kuat, tatapannya sayu, bibirnya setengah terbuka demi mengatur nafas. Pram tampaknya tak ingin berhenti. Ia terus menyusuri tubuh Bitha dengan lembut pun perlahan. Ciuman Pram kembali ia sematkan di bibir Bitha, leher jenjangnya, tulang selangka… terus turun hingga ke bagian paha Bitha. Gadis itu menahan nafasnya, matanya terpejam, menampakkan kecanggungan. Pram terus mencumbu Bitha di bagian itu, pelan dan mengguncang kewarasannya. Bitha menelan salivanya. Jantungnya berpacu makin kencang. Dan diantara kegugupan itu, keraguan menyusup nalarnya. Bitha tak bisa melakukannya. “Pak…saya tidak bisa…” sebaris kata itu akhirnya keluar dari bibir Bitha. Ia menatap memohon pada Pram untuk tak melanjutkan. Pram hanya terdiam, membeku. Tapi ia tak benar-benar bisa menolak. Ia tak suka memaksa. Maka di lepasnya cumbuannya dari gadis itu. Ia menjauh perlahan. Menyisakan ruang kosong yang sebelumnya sempat terisi oleh Bitha Araminta.Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju apartemen, pikiran Bitha terus berkelana. Terlalu banyak pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Andai saja ia bisa bertanya secara gamblang. Namun sejak awal, ia sudah terikat pada kesalahan yang sama sekali tidak ia duga bahwa hubungan one night stand yang membuat segalanya berantakan. Sejak itu, Bitha tak pernah bisa benar-benar leluasa berhadapan dengan pria itu. Lidahnya kelu, pikirannya terkekang. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus menahan—menahan untuk tahu lebih banyak, meski begitu ingin. Menahan diri untuk tidak semakin jauh terlibat, meski rasa penasaran menuntut sebaliknya. Begitu tiba di apartemen, Bitha langsung merebahkan tubuhnya. Setidaknya, untuk saat ini ia bisa menarik napas sedikit lega. Ia tadi sudah meminta izin datang terlambat ke kantor, satu jam, hanya untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri. Menatap kosong ke arah langit-langit, pikirannya justru semakin kacau. Apa sebenarnya yang ia rasakan pada seora
Bitha mencoba memaksa kesadarannya kembali. Tapi kepalanya makin berat, pandangan berkunang, dan rasa kantuk menyerbu cepat.“Kurasa… wawancaranya cukup sampai di sini.” Ia bangkit berdiri, namun tubuhnya oleng. Hampir saja ia jatuh kembali ke sofa, kalau bukan karena Pram yang sigap meraih lengannya dan menahan tubuhnya. Pram menghela napas panjang. Tatapannya tertahan pada wajah Bitha yang kini memerah oleh alkohol, terlihat rapuh dan sekaligus memikat. “Ini akibatnya… kamu mencuri seperti tikus kecil,” gumamnya lirih, antara omelan dan kelembutan. Mau tak mau, ia meraih tubuh setengah mabuk itu ke dalam dekapannya. Dengan kerelaan yang tersamar dalam sikap dingin, Pram akhirnya menggendong Bitha—membawanya menuju kamar, seolah menyeret sekaligus menyelamatkannya dari permainan yang tadi ia sendiri ciptakan. Bitha tak melawan, justru membiarkan dirinya terhanyut. Ada rasa aman sekaligus berbahaya saat tubuhnya diangkat ke pelukan Pram. Dalam kabut mabuknya, Bitha sempat bertan
“Pemain apa yang kamu maksud?”Pram tersenyum samar, nyaris tak terbaca apakah itu ejekan atau kekaguman. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam, menatap Bitha dengan sorot mata yang berkilat misterius. “Rumor punya cara sendiri untuk membuat seorang pria terdengar lebih… menarik.” Ia meneguk anggurnya pelan, lalu menurunkan gelas itu di meja, sengaja membiarkan keheningan menyusup di antara mereka. Tatapannya tetap terkunci pada Bitha—seolah menimbang apakah gadis di hadapannya sekadar berani, atau benar-benar tahu apa yang ia ucapkan. “Ah…” gumam Bitha, ujung pulpennya tergigit samar di sela bibir. Ada ketidaksadaran dalam gerakannya, namun justru itulah yang memancing atensi. Bitha menelan ludah, lalu menunduk ke catatannya. Ujung pulpennya tergigit samar di bibir—gerakan refleks, tapi justru membuat atmosfer semakin panas.“Pertanyaan selanjutnya…” suaranya nyaris bergetar, “Banyak wanita menyebut Anda casanova. Apakah itu sekadar citra media, atau kenyataan?”Pram hanya terdi
Apa jawaban itu cukup… atau kamu ingin saya membuktikan dengan cara lain?” Pram sengaja membiarkan keheningan menggantung, hanya bunyi detak jam dinding yang terdengar. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Bitha yang kini terlihat bimbang, antara ingin tahu dan ingin menjauh. “Apa maksud anda… membuktikan dengan cara lain?” suara Bitha keluar lebih lirih dari yang ia harapkan. Pram menunduk sedikit lagi, matanya tajam menelisik gerak-gerik gadis itu. “Kamu seorang jurnalis, kan? Bukankah tugasmu mencari kebenaran, Bitha?“ Bitha menelan ludah. Ia merasa jebakan samar sedang dipasang di hadapannya. Kata-kata Pram bukan jawaban, tapi juga bukan penolakan—hanya undangan samar yang bisa menjerumuskannya. “Saya ingin tahu,” bisik Pram, nada suaranya begitu pelan hingga hanya Bitha yang bisa mendengar, “seberapa jauh keberanianmu untuk menuliskan sesuatu yang belum pernah orang lain dengar dari saya.” Bitha menggenggam sendok lebih erat, berusaha menutupi kegelisahan yang kini
Banu menepati janjinya. Tepat pukul lima sore, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan kantor Litera. Seorang sopir membukakan pintu, dan Banu berdiri di sampingnya dengan senyum sopan yang sudah terlatih. “Selamat sore, Mbak Bitha. Silakan,” ucap Banu, dengan nada profesional khas asisten pribadi. Tanpa banyak kata, Bitha melangkah masuk ke dalam mobil. Banu duduk di depan, bersebelahan dengan sopir. Sementara Bitha duduk sendirian di belakang. Kabin mobil sunyi, hanya suara mesin dan lalu lintas Jakarta di kejauhan yang terdengar samar. Tapi di dalam kepala Bitha, suasananya jauh dari tenang. Banyak pertanyaan beterbangan liar—tentang alasan kenapa Pram mengajaknya ke vila pribadi, alih-alih di tempat umum. Tentu saja dia bisa menolak. Tapi tidak, Bitha ingin tau lebih jauh tentang pria itu. Namun yang mengganjal adalah, Bitha bukan takut pada Pram. Ia tahu pria itu terlalu pintar untuk melakukan hal ceroboh yang bisa mencoreng reputasinya sendiri. Yang ia takutkan
Bitha menyugar rambut hitam legamnya, begitu refleks yang sering dilakukan jika pikirannya buntu. Bukan karena tak dapat menulis artikel yang relevan. Namun ada hal lain lagi dibenaknya yang lebih dari sekedar tulisan. Esoknya setelah pertemuan mereka—Pram dan dirinya di hotel Golden. Jari jemari Bitha seolah mendapat dorongan mistis, seperti nyala sihir yang menggerakkan tangannya leluasa untuk mengetik bait-bait tulisan seputar dunia romansa. Sentuhan Pram. Wangi tubuhnya. Cara pria itu menatap seolah menelanjangi pikirannya satu per satu.Bitha menuliskan semuanya dengan jujur, tanpa sensor, tanpa malu. Ia menjabarkan detail demi detail pertemuan mereka dalam artikel di bab awal yang akhirnya menuai pujian dari sang redaktur. Dan Bitha seharusnya merasa puas.Tapi tidak.Ada kehampaan yang mengendap pelan-pelan. Sebuah rasa kehilangan yang tidak seharusnya ada. Bukan kehilangan pujian, bukan kehilangan validasi. Tapi kehilangan arah pada dirinya sendiri.Ia sadar—tanpa sepenuhnya