Share

6

Author: Lia.F
last update Last Updated: 2025-08-21 11:48:18

Pramudya Notonegoro berdiri di dekat jendela kamar hotelnya, memandangi kelap-kelip lampu kota dari ketinggian lantai teratas

Jantungnya belum sepenuhnya tenang. Ada yang mengganjal. Seorang jurnalis bernama Bitha Aramintha. Gadis aneh itu mendekatinya dengan tawaran gila—one night stand demi sebuah riset.

Pram terkekeh pelan, menggeleng kecil. Tapi bukan itu yang membuat pikirannya tak tenang. Yang benar-benar mengusiknya adalah tidak terjadi apa-apa saat ia menyentuh tangan gadis itu.

Saat pertama kali mereka berjabat tangan—singkat, cepat, tapi jelas—tak ada rasa nyeri, tak ada mual, tak ada reaksi aneh seperti biasanya.

Dan itu… membuat Pram waspada.

Ia tak pernah nyaman menyentuh wanita. Selalu ada rasa aneh, dorongan tubuhnya menolak, trauma masa lalu yang menyisakan luka psikis dan reaksi fisik yang tak bisa dikendalikan.

Tapi tadi…Tidak. Yang kedua kali, ia memastikan mengangkat dagu wanita itu.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… ia merasakan kosong. Dan anehnya, itu justru terasa lebih bahaya. Maka, demi mencari tahu, ia menyetujui permintaan absurd Bitha.

Tepat ketika suara pintu kamarnya terbuka, Pram menoleh.

Di sana, berdiri gadis itu—di ambang pintu—masih mengenakan gaun yang sama seperti di ballroom. Sederhana, tapi entah bagaimana, tetap menonjol. Ada sesuatu dalam caranya berdiri… polos, tapi penuh percaya diri. Aura tenangnya nyaris seperti benteng.

Dan anehnya, Pram menyukai itu. Menyukai keangkuhan yang halus, ego yang tak ia sembunyikan. Bitha melangkah masuk. Perlahan, nyaris ragu. Langkahnya tak seluwes wanita penggoda, tidak dibuat-buat. Kikuk, tapi tidak memalukan.

“Duduk,” ujarnya pelan, tenang seperti biasa.

Dan saat Bitha menuruti, Pram tahu malam ini bukan tentang seks. Bukan tentang riset. Tapi tentang satu hal yang tak pernah ia alami sebelumnya. rasa penasaran yang mengganjal.

Pram bukan tipe pria yang suka basa-basi. Tanpa banyak kata, ia melangkah mendekat dan duduk tepat di sebelah Bitha. Jarak mereka kini hanya sejengkal. Dekat sekali. Terlalu dekat—setidaknya bagi Pram.

Ini bukan hal yang biasa ia lakukan. Berada dalam jarak sedekat ini dengan seorang wanita… bukan hanya tidak nyaman, tapi selama ini hampir selalu memicu reaksi tubuh yang sulit dijelaskan.

Dan kali ini, Pram menunggu. Menunggu apa yang akan terjadi. Jantungnya waspada. Tubuhnya diam-diam siaga. Namun tidak terjadi apa-apa. Tidak ada rasa sesak. Tidak ada mual. Tidak ada dorongan untuk mundur. Hanya keheningan… dan kehadiran seorang Bitha yang terlalu tenang di matanya.

“Jadi, kamu yakin dengan ini?”

Sekali lagi, ia bertanya. Bukan karena ia ragu. Tapi ia ingin memastikan gadis itu tahu ke mana arah semua ini akan bergerak.

“Ya. saya yakin.”

Dan Bitha hanya mengangguk. Kecil. Pelan. Tapi pasti. Jawaban itu cukup. Gadis ini, pikir Pram, terlalu optimis untuk sekadar riset konyol. Tapi itu bukan masalah. Karena sebenarnya… dia pun punya kepentingan lain. Dia butuh pembuktian. Pada dirinya sendiri. Apakah traumanya… benar-benar sudah sembuh?

Dan satu-satunya cara untuk tahu, adalah dengan melangkah lebih jauh. Melewati garis yang selama ini tak pernah ia sentuh.

Ada rasa aneh dalam diri Pram untuk menyentuh gadis itu. Dorongan alami dari seorang pria yang berhadapan dengan gadis manis seperti Bitha. Maka Pram pun mengesampingkan logikanya sejenak untuk melabuhkan tangannya di pipi halus milik Bitha.

Sehalus sutra, dan memabukkan seperti wine. Itulah yang Pram rasakan saat menyentuh kulit Bitha. Matanya bahkan masih tertancap pada gadis itu. Pada pipinya yang mendadak merona hanya karena sentuhan kecil.

Sungguh dia bukan pria bajingan yang gemar menyentuh wanita sembarangan. Bahkan ini pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu ia menyentuh wanita. Rumor itu hanyalah cara untuk menutupi kelemahan dari seorang Pramudya.

“Tidak akan ada perasaan saat kita melakukannya, kan?” Pram bicara lembut hampir berbisik. Tangannya masih menyentuh rona merah di pipi Bitha.

“Benar, tidak akan ada perasaan apapun.” Tukas Bitha mencoba tenang, di tengah gemuruh degupan jantungnya yang menggila.

Pram tersenyum miring. Ia menatapnya, puas—seolah baru saja menemukan sisi paling manis dari seorang wanita yang mengaku ingin “riset” soal ‘tidur’.

“Kamu dengan berani meminta saya untuk tidur denganmu…” katanya pelan, suara rendahnya nyaris seperti gumaman di telinga.

“Bersikaplah profesional saja, Pak…”

Bitha mengangkat dagunya sedikit. Mencoba tetap tenang, meski suara hatinya sedang gaduh.

Tangan besar Pram masih membingkai wajah Bitha. Dan bersamaan dengan itu, begitu banyak pertanyaan yang menggantung di kepala Pram belum juga mendapat jawaban. Namun, saat ini Pram ingin mengesampingkan semua itu. Pram pun mengaburkan logikanya di atas rasa.

Imajinasi liar kian bertabrakan di kepala. Ini pertama kalinya, ia menyentuh wanita dengan leluasa.

“Take off your clothes…” Deru nafas Pram memenuhi kulit leher Bitha. Menjadikan gadis itu berkali-kali terkesiap. Menelan saliva pun tubuhnya bergetar di bawah sentuhan-sentuhan tangan Pram yang kian menjelajah di tubuh mungilnya.

Alis Bitha terangkat sempurna. Kedua matanya membulat, kaget. Lagi, Bitha menelan salivanya.

“Maaf pak?”

“Kamu tidak dengar nona Bitha? Lepas pakaianmu…” Itu sebuah perintah yang di ulang dari Pram. Sambil lalu tangannya mengelus lembut kulit lengan Bitha.

“Atau mau saya yang lepas?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 39

    Setelah momen canggung dengan Radja pagi tadi, Bitha sempat mengira semuanya akan berakhir di sana. Namun ternyata tidak. Siang hari, usai jam istirahat, sekretaris Radja menyampaikan pesan agar Bitha segera menemui lelaki itu di ruang kerjanya. “Siang, Pak…” Bitha menyapa pelan setelah lebih dulu mengetuk pintu ruangan Direktur. “Ah, Bitha… silakan duduk.” Radja menunjuk kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerjanya. Bitha menuruti, melangkah perlahan lalu duduk hati-hati. Ada gurat canggung di tiap geraknya, sementara kepalanya dipenuhi tanya. Untuk urusan apa seorang Direktur sebesar Radja ingin berbicara langsung dengannya? Biasanya, hal-hal seperti ini cukup disampaikan lewat manajer atau kepala redaksi. “Begini, Bitha… bukankah kamu sudah dipindahkan ke desk romansa?” Radja membuka pembicaraan dengan nada tenang. “Ya, Pak. Itu benar. Hampir dua bulan ini saya berpindah ke desk romansa,” jawab Bitha hati-hati. “Baik…” Radja merapikan posisi duduknya, tampak in

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 38

    “Mas, bisa nggak kita kembali ke apartemen aku aja.” Bitha bersuara ketika mereka berada dalam mobil menuju rumah. Rumah itu masih terasa asing bagi Bitha. Juga terlampau luas. “Kenapa?” Pram menatap Bitha. Wanita itu sedang menyandarkan kepalanya ke dada bidang Pram. “mm, barang-barangku masih disana, juga aku masih belum nyaman tinggal dirumah baru itu.” “Nanti juga terbiasa, kamu tidak sendirian disana, ada saya.” Pram meyakinkan, jari jemarinya mengelus kepala Bitha, menenangkan. Bitha menjauhkan diri dan menatap Pram. “Aku masih belum percaya, kalau kamu suami aku sekarang… trus aku nggak yakin bisa jalani ini secara sembunyi-sembunyi.” Pram menghela nafas. Di tatapnya mata Bitha dan segala kerapuhan yang terlihat jelas disana. “Bitha, bersabarlah sedikit, saya perlu menyiapkan semua ini sebelum mengumumkan pernikahan kita pada publik.” Bitha menggigit bibirnya. Ada keraguan disana. Bitha hanya tak yakin, menjalani hari-harinya lalu menjadi istri Pram. Sudah terg

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 37

    Suara mesin USG berdengung pelan, layar menampilkan gambar hitam putih yang berdenyut samar. Bitha menatapnya dengan cemas, sementara Pram berdiri di samping ranjang, matanya fokus pada layar itu. Jam delapan malam, mereka baru bisa mengunjungi Dokter kandungan. Selain alasana keamanan, akan lebih beresiko jika menampakkan diri terang-terangan menemui dokter kandungan di siang hari. Pun Dokter Hanum, adalah dokter profesional yang sudah menerima kesepakatan, untuk tidak memboroskan latar belakang pasiennya. Meski ia tau jelas siap pria yang datang kali ini. Bukan pria sembarangan. Dokter Hanum, wanita paruh baya dengan senyum menenangkan, menekan probe lembut di perut Bitha. “Nah, ini dia janinnya… usia sekitar 8 minggu,” ucapnya. Ia menunjuk titik kecil yang berdenyut di layar. “Bisa Ibu lihat, bentuknya memang masih sangat kecil. Tapi detak jantungnya sudah terlihat jelas—sekitar 150 kali per menit. Itu normal untuk usia kandungan segini.” Bitha menelan saliva, suaranya hampi

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 36

    Pram terbangun pagi itu, namun sisi ranjang di sebelahnya kosong. Alisnya berkerut, matanya menyipit mencari. Yang terdengar hanya gemericik air dari kamar mandi. Mungkinkah itu Bitha? Ia melirik ke arah jendela, tirai sudah sedikit tersibak, cahaya pagi menembus masuk. Sambil menguap, Pram meraih ponsel di nakas. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang, tapi suara air itu terus saja mengusik pikirannya. Bayangan Bitha, berdiri tenang di bawah pancuran, membuat dadanya bergejolak. Ada sesuatu yang bergerak begitu liar dalam dirinya. “Sial…” desisnya. Tak tahan lagi, Pram bangkit dari tempat tidur. Ia langkahkan kaki tegas menuju kamar mandi. Demi Tuhan, ia tak bisa membiarkan jarak sekecil ini memisahkan mereka. Ia harus menyusul Bitha—sekarang juga. Pram membuka pintu kamar mandi, membuat Bitha terlonjak kaget. Lelaki itu tanpa ragu menanggalkan pakaian satu per satu, seolah-olah, mereka adalah pasangan suami istri normal dan itu ad

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 35

    Pram menekan dahinya lebih dalam ke dahi Bitha, napasnya memburu namun tetap teratur, seakan ingin memastikan setiap kata yang ia ucapkan benar-benar meresap ke hati gadis itu. “Tidak ada yang lain, Bitha… hanya saya. Hanya saya yang akan ada di hati dan pikiran kamu.” Suara Pram melembut meski terdengar posesif. Bitha memejamkan mata, menahan sesak yang mendaki di dadanya. Tangannya masih mencengkeram bahu Pram, karena tubuhnya gemetar. “Saya tidak pernah ingin menyakitimu,” Pram melanjutkan, suaranya nyaris berbisik. “Tapi kamu harus tahu… saya tidak akan sanggup membagi kamu dengan siapa pun.” Bitha membuka matanya, menatap wajah pria itu dari jarak sedekat-dekatnya. Ada ketakutan, tapi juga ada sesuatu yang lain—perasaan yang tak bisa ia definisikan, antara marah, resah, sekaligus… terlindungi. “Mas…” lirihnya lagi, kali ini lebih dalam, penuh perasaan yang tak terucap. Pram mengusap pipinya dengan lembut, bertolak belakang dengan sikap kerasnya barusan. “Kamu milik sa

  • Usai Ciuman Panas di Ranjang CEO   Bab 34

    “Pak, kita singgah ke restoran dulu.” Perintah Pram, pada Pak Adi. Sang sopir hanya mengangguk di kursi pengemudi. Namun Bitha tampaknya tak setuju. Dia berpaling ke arah Pram dengan kerutan tajam di dahi. “Aku mau langsung pulang!” Pungkasnya tak suka. “Ini bukan permintaan Bitha.” Bitha mencebik kesal dan melotot pada Pram. “Ngerti nggak sih, aku bilang mau pulang, perut aku nggak enak… aku nggak suka nyium bau makanan, nanti aku muntah disana.” Pram menatap Bitha balik. Dia menghela nafas. Baiklah kali ini dia mengalah. Pram tau jelas seperti apa wanitanya. “Baik, kita makan dirumah.” Namun Bitha tak bersuara lagi, ia hanya membuang muka menatap ke arah jendela. Menatap pada jalanan sore kota Jakarta yang mulai padat. Hanya keheningan yang menemani keduanya saat didalam mobil. Bitha jelas-jelas masih melancarkan bendera perang pada Pram. Pertengkaran mereka yang sudah-sudah belum menyusut dari hati Bitha. Dia masih kesal. Bitha kembali di buat heran ketika mob

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status