Pramudya Notonegoro berdiri di dekat jendela kamar hotelnya, memandangi kelap-kelip lampu kota dari ketinggian lantai teratas
Jantungnya belum sepenuhnya tenang. Ada yang mengganjal. Seorang jurnalis bernama Bitha Aramintha. Gadis aneh itu mendekatinya dengan tawaran gila—one night stand demi sebuah riset. Pram terkekeh pelan, menggeleng kecil. Tapi bukan itu yang membuat pikirannya tak tenang. Yang benar-benar mengusiknya adalah tidak terjadi apa-apa saat ia menyentuh tangan gadis itu. Saat pertama kali mereka berjabat tangan—singkat, cepat, tapi jelas—tak ada rasa nyeri, tak ada mual, tak ada reaksi aneh seperti biasanya. Dan itu… membuat Pram waspada. Ia tak pernah nyaman menyentuh wanita. Selalu ada rasa aneh, dorongan tubuhnya menolak, trauma masa lalu yang menyisakan luka psikis dan reaksi fisik yang tak bisa dikendalikan. Tapi tadi…Tidak. Yang kedua kali, ia memastikan mengangkat dagu wanita itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… ia merasakan kosong. Dan anehnya, itu justru terasa lebih bahaya. Maka, demi mencari tahu, ia menyetujui permintaan absurd Bitha. Tepat ketika suara pintu kamarnya terbuka, Pram menoleh. Di sana, berdiri gadis itu—di ambang pintu—masih mengenakan gaun yang sama seperti di ballroom. Sederhana, tapi entah bagaimana, tetap menonjol. Ada sesuatu dalam caranya berdiri… polos, tapi penuh percaya diri. Aura tenangnya nyaris seperti benteng. Dan anehnya, Pram menyukai itu. Menyukai keangkuhan yang halus, ego yang tak ia sembunyikan. Bitha melangkah masuk. Perlahan, nyaris ragu. Langkahnya tak seluwes wanita penggoda, tidak dibuat-buat. Kikuk, tapi tidak memalukan. “Duduk,” ujarnya pelan, tenang seperti biasa. Dan saat Bitha menuruti, Pram tahu malam ini bukan tentang seks. Bukan tentang riset. Tapi tentang satu hal yang tak pernah ia alami sebelumnya. rasa penasaran yang mengganjal. Pram bukan tipe pria yang suka basa-basi. Tanpa banyak kata, ia melangkah mendekat dan duduk tepat di sebelah Bitha. Jarak mereka kini hanya sejengkal. Dekat sekali. Terlalu dekat—setidaknya bagi Pram. Ini bukan hal yang biasa ia lakukan. Berada dalam jarak sedekat ini dengan seorang wanita… bukan hanya tidak nyaman, tapi selama ini hampir selalu memicu reaksi tubuh yang sulit dijelaskan. Dan kali ini, Pram menunggu. Menunggu apa yang akan terjadi. Jantungnya waspada. Tubuhnya diam-diam siaga. Namun tidak terjadi apa-apa. Tidak ada rasa sesak. Tidak ada mual. Tidak ada dorongan untuk mundur. Hanya keheningan… dan kehadiran seorang Bitha yang terlalu tenang di matanya. “Jadi, kamu yakin dengan ini?” Sekali lagi, ia bertanya. Bukan karena ia ragu. Tapi ia ingin memastikan gadis itu tahu ke mana arah semua ini akan bergerak. “Ya. saya yakin.” Dan Bitha hanya mengangguk. Kecil. Pelan. Tapi pasti. Jawaban itu cukup. Gadis ini, pikir Pram, terlalu optimis untuk sekadar riset konyol. Tapi itu bukan masalah. Karena sebenarnya… dia pun punya kepentingan lain. Dia butuh pembuktian. Pada dirinya sendiri. Apakah traumanya… benar-benar sudah sembuh? Dan satu-satunya cara untuk tahu, adalah dengan melangkah lebih jauh. Melewati garis yang selama ini tak pernah ia sentuh. Ada rasa aneh dalam diri Pram untuk menyentuh gadis itu. Dorongan alami dari seorang pria yang berhadapan dengan gadis manis seperti Bitha. Maka Pram pun mengesampingkan logikanya sejenak untuk melabuhkan tangannya di pipi halus milik Bitha. Sehalus sutra, dan memabukkan seperti wine. Itulah yang Pram rasakan saat menyentuh kulit Bitha. Matanya bahkan masih tertancap pada gadis itu. Pada pipinya yang mendadak merona hanya karena sentuhan kecil. Sungguh dia bukan pria bajingan yang gemar menyentuh wanita sembarangan. Bahkan ini pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu ia menyentuh wanita. Rumor itu hanyalah cara untuk menutupi kelemahan dari seorang Pramudya. “Tidak akan ada perasaan saat kita melakukannya, kan?” Pram bicara lembut hampir berbisik. Tangannya masih menyentuh rona merah di pipi Bitha. “Benar, tidak akan ada perasaan apapun.” Tukas Bitha mencoba tenang, di tengah gemuruh degupan jantungnya yang menggila. Pram tersenyum miring. Ia menatapnya, puas—seolah baru saja menemukan sisi paling manis dari seorang wanita yang mengaku ingin “riset” soal ‘tidur’. “Kamu dengan berani meminta saya untuk tidur denganmu…” katanya pelan, suara rendahnya nyaris seperti gumaman di telinga. “Bersikaplah profesional saja, Pak…” Bitha mengangkat dagunya sedikit. Mencoba tetap tenang, meski suara hatinya sedang gaduh. Tangan besar Pram masih membingkai wajah Bitha. Dan bersamaan dengan itu, begitu banyak pertanyaan yang menggantung di kepala Pram belum juga mendapat jawaban. Namun, saat ini Pram ingin mengesampingkan semua itu. Pram pun mengaburkan logikanya di atas rasa. Imajinasi liar kian bertabrakan di kepala. Ini pertama kalinya, ia menyentuh wanita dengan leluasa. “Take off your clothes…” Deru nafas Pram memenuhi kulit leher Bitha. Menjadikan gadis itu berkali-kali terkesiap. Menelan saliva pun tubuhnya bergetar di bawah sentuhan-sentuhan tangan Pram yang kian menjelajah di tubuh mungilnya. Alis Bitha terangkat sempurna. Kedua matanya membulat, kaget. Lagi, Bitha menelan salivanya. “Maaf pak?” “Kamu tidak dengar nona Bitha? Lepas pakaianmu…” Itu sebuah perintah yang di ulang dari Pram. Sambil lalu tangannya mengelus lembut kulit lengan Bitha. “Atau mau saya yang lepas?”Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju apartemen, pikiran Bitha terus berkelana. Terlalu banyak pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Andai saja ia bisa bertanya secara gamblang. Namun sejak awal, ia sudah terikat pada kesalahan yang sama sekali tidak ia duga bahwa hubungan one night stand yang membuat segalanya berantakan. Sejak itu, Bitha tak pernah bisa benar-benar leluasa berhadapan dengan pria itu. Lidahnya kelu, pikirannya terkekang. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus menahan—menahan untuk tahu lebih banyak, meski begitu ingin. Menahan diri untuk tidak semakin jauh terlibat, meski rasa penasaran menuntut sebaliknya. Begitu tiba di apartemen, Bitha langsung merebahkan tubuhnya. Setidaknya, untuk saat ini ia bisa menarik napas sedikit lega. Ia tadi sudah meminta izin datang terlambat ke kantor, satu jam, hanya untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri. Menatap kosong ke arah langit-langit, pikirannya justru semakin kacau. Apa sebenarnya yang ia rasakan pada seora
Bitha mencoba memaksa kesadarannya kembali. Tapi kepalanya makin berat, pandangan berkunang, dan rasa kantuk menyerbu cepat.“Kurasa… wawancaranya cukup sampai di sini.” Ia bangkit berdiri, namun tubuhnya oleng. Hampir saja ia jatuh kembali ke sofa, kalau bukan karena Pram yang sigap meraih lengannya dan menahan tubuhnya. Pram menghela napas panjang. Tatapannya tertahan pada wajah Bitha yang kini memerah oleh alkohol, terlihat rapuh dan sekaligus memikat. “Ini akibatnya… kamu mencuri seperti tikus kecil,” gumamnya lirih, antara omelan dan kelembutan. Mau tak mau, ia meraih tubuh setengah mabuk itu ke dalam dekapannya. Dengan kerelaan yang tersamar dalam sikap dingin, Pram akhirnya menggendong Bitha—membawanya menuju kamar, seolah menyeret sekaligus menyelamatkannya dari permainan yang tadi ia sendiri ciptakan. Bitha tak melawan, justru membiarkan dirinya terhanyut. Ada rasa aman sekaligus berbahaya saat tubuhnya diangkat ke pelukan Pram. Dalam kabut mabuknya, Bitha sempat bertan
“Pemain apa yang kamu maksud?”Pram tersenyum samar, nyaris tak terbaca apakah itu ejekan atau kekaguman. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam, menatap Bitha dengan sorot mata yang berkilat misterius. “Rumor punya cara sendiri untuk membuat seorang pria terdengar lebih… menarik.” Ia meneguk anggurnya pelan, lalu menurunkan gelas itu di meja, sengaja membiarkan keheningan menyusup di antara mereka. Tatapannya tetap terkunci pada Bitha—seolah menimbang apakah gadis di hadapannya sekadar berani, atau benar-benar tahu apa yang ia ucapkan. “Ah…” gumam Bitha, ujung pulpennya tergigit samar di sela bibir. Ada ketidaksadaran dalam gerakannya, namun justru itulah yang memancing atensi. Bitha menelan ludah, lalu menunduk ke catatannya. Ujung pulpennya tergigit samar di bibir—gerakan refleks, tapi justru membuat atmosfer semakin panas.“Pertanyaan selanjutnya…” suaranya nyaris bergetar, “Banyak wanita menyebut Anda casanova. Apakah itu sekadar citra media, atau kenyataan?”Pram hanya terdi
Apa jawaban itu cukup… atau kamu ingin saya membuktikan dengan cara lain?” Pram sengaja membiarkan keheningan menggantung, hanya bunyi detak jam dinding yang terdengar. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Bitha yang kini terlihat bimbang, antara ingin tahu dan ingin menjauh. “Apa maksud anda… membuktikan dengan cara lain?” suara Bitha keluar lebih lirih dari yang ia harapkan. Pram menunduk sedikit lagi, matanya tajam menelisik gerak-gerik gadis itu. “Kamu seorang jurnalis, kan? Bukankah tugasmu mencari kebenaran, Bitha?“ Bitha menelan ludah. Ia merasa jebakan samar sedang dipasang di hadapannya. Kata-kata Pram bukan jawaban, tapi juga bukan penolakan—hanya undangan samar yang bisa menjerumuskannya. “Saya ingin tahu,” bisik Pram, nada suaranya begitu pelan hingga hanya Bitha yang bisa mendengar, “seberapa jauh keberanianmu untuk menuliskan sesuatu yang belum pernah orang lain dengar dari saya.” Bitha menggenggam sendok lebih erat, berusaha menutupi kegelisahan yang kini
Banu menepati janjinya. Tepat pukul lima sore, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan kantor Litera. Seorang sopir membukakan pintu, dan Banu berdiri di sampingnya dengan senyum sopan yang sudah terlatih. “Selamat sore, Mbak Bitha. Silakan,” ucap Banu, dengan nada profesional khas asisten pribadi. Tanpa banyak kata, Bitha melangkah masuk ke dalam mobil. Banu duduk di depan, bersebelahan dengan sopir. Sementara Bitha duduk sendirian di belakang. Kabin mobil sunyi, hanya suara mesin dan lalu lintas Jakarta di kejauhan yang terdengar samar. Tapi di dalam kepala Bitha, suasananya jauh dari tenang. Banyak pertanyaan beterbangan liar—tentang alasan kenapa Pram mengajaknya ke vila pribadi, alih-alih di tempat umum. Tentu saja dia bisa menolak. Tapi tidak, Bitha ingin tau lebih jauh tentang pria itu. Namun yang mengganjal adalah, Bitha bukan takut pada Pram. Ia tahu pria itu terlalu pintar untuk melakukan hal ceroboh yang bisa mencoreng reputasinya sendiri. Yang ia takutkan
Bitha menyugar rambut hitam legamnya, begitu refleks yang sering dilakukan jika pikirannya buntu. Bukan karena tak dapat menulis artikel yang relevan. Namun ada hal lain lagi dibenaknya yang lebih dari sekedar tulisan. Esoknya setelah pertemuan mereka—Pram dan dirinya di hotel Golden. Jari jemari Bitha seolah mendapat dorongan mistis, seperti nyala sihir yang menggerakkan tangannya leluasa untuk mengetik bait-bait tulisan seputar dunia romansa. Sentuhan Pram. Wangi tubuhnya. Cara pria itu menatap seolah menelanjangi pikirannya satu per satu.Bitha menuliskan semuanya dengan jujur, tanpa sensor, tanpa malu. Ia menjabarkan detail demi detail pertemuan mereka dalam artikel di bab awal yang akhirnya menuai pujian dari sang redaktur. Dan Bitha seharusnya merasa puas.Tapi tidak.Ada kehampaan yang mengendap pelan-pelan. Sebuah rasa kehilangan yang tidak seharusnya ada. Bukan kehilangan pujian, bukan kehilangan validasi. Tapi kehilangan arah pada dirinya sendiri.Ia sadar—tanpa sepenuhnya