Bitha seorang Jurnalis yang katanya ‘dikutuk’ tak bisa menjalin hubungan lebih lama setelah disentuh—memberanikan diri untuk mengajak tidur atasannya. CEO pendiri K-media Tv. Gila! Bitha memang hampir gila dan frustasi oleh kutukan itu. Tapi apakah Pramudya Notonegoro si Casanova, sama gilanya dengan Bitha, ketika ia langsung mengiyakan ajakan gadis itu?
View MoreBitha duduk di sudut ruangan dengan napas berat. Baru saja ia tiba di acara peluncuran aplikasi World Book—sebuah platform digital baru yang diklaim akan menjadi rumah bagi para penulis dan pembaca dari seluruh dunia. Lampu-lampu sorot berwarna biru pucat menari di langit-langit hotel, membanjiri ruangan dengan cahaya semu yang terlalu riang untuk seorang tamu yang hatinya sedang berantakan.
Email dari redakturnya masih terpampang jelas di layar ponsel. Ia dipindahkan ke desk romansa. Setelah berjuta hari lamanya hanya tahu soal affair aktor A dengan penyanyi B, perceraian C dengan pejabat D, atau selebriti E yang tiba-tiba nyaleg, kini ia diminta menulis kisah cinta? Ironis. Redakturnya selalu bilang, “Jurnalis sejati bisa menulis apa saja.” Tapi bagi Bitha, itu sama saja seperti meminta orang buta menilai warna. Dan seolah hidup belum cukup menyebalkan. Seakan kutukan itu belum cukup, pagi tadi mantannya memutuskan hubungan mereka. Gilang—pria yang kemarin malam masih memeluknya tanpa jarak—tiba-tiba menguap begitu saja dari hidupnya. Sebuah ciuman terakhir menjadi garis mati. Bitha bahkan tak yakin harus tertawa karena konyol atau menangis karena sakit hati. Betapa menakjubkan, betapa cepat cinta bisa menguap… setelah sebuah ciuman. Bolehkah Bitha bertepuk tangan riuh jika berhadapan dengan pria itu? “Kutukan itu mungkin benar, Bitha. Perhatikan saja. Begitu ada pria yang mencoba menyentuhmu, maka keesokan harinya mereka akan menjauh.” Kata-kata yang ‘katanya’ orang pintar terngiang di kepalanya, menempel seperti noda di kaca yang tak bisa dibersihkan. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi empuk berbentuk melingkar, tempat duduk yang memuat lima orang di sekeliling meja kecil berlapis kaca. Sesekali, ia menyesap air putih dari gelas tinggi yang diletakkan tanpa minat di depannya. Apakah dirinya benar-benar mengerikan? Hingga selalu dijauhi para lelaki? Pertanyaan itu berulang-ulang menyesaki kepalanya. Ia ribuan kali sudah menatap bayangan sendiri di cermin, mencari celah—cacat, kekurangan, sesuatu yang membuat orang lari. Namun tak pernah menemukannya. “Pak Pramudya lewat…” bisik perempuan lain, matanya melirik ke arah pintu masuk lounge. Bitha menoleh sekilas. Wajar jika pria itu jadi pusat perhatian. CEO dari salah satu media penyiaran terbesar di Indonesia, K-Media, yang anak perusahaannya menggurita, menjangkau hampir semua sisi industri hiburan negeri ini. Nama besar yang tidak asing, nyaris mitos di kalangan mereka. “Sukses, ganteng, cerdas… nyaris sempurna.” sahut yang lain. Perempuan bergaun pink mengerucutkan bibir, skeptis.“Ganteng sih ganteng…” timpal yang lain, nada suaranya penuh gosip. “Tapi playboy, ih. Sebulan bisa ganti pacar entah berapa kali. Serem juga sih.” Yang lain langsung menatapnya, lalu mengangguk-angguk kompak. Karena memang benar. Siapa yang bisa menolak Pramudya Notonegoro meskipun pacarnya entah keberapa? Kali ini dengan ide yang—jujur saja—terdengar cukup gila terbesit di benak Bitha. Ia menatap lurus ke arah pria yang tengah berbincang santai dengan beberapa kolega bisnisnya di dekat podium. Sorot matanya tajam, penuh tekad yang tak biasa. Jas abu gelap membalut tubuh tinggi pria itu dengan sempurna. Sikapnya tenang, pun penuh kendali. “Kamu dikutuk, Bitha. Lelaki tidak akan pernah betah di dekatmu.” suara itu selalu mengaung di kepalanya yang kacau. Mata Bitha menyipit saat menargetkan Pramudya. Dirinya menimbang apakah bisa membuktikan dua variabel dalam asumsinya. Ya, anggap saja dia memang gila. Tapi menurut ramalan sial yang ia tak pernah bisa ia percayai– kutukan itu selalu terjadi kerap setelah ia mencoba tahap lebih serius. Kenapa tidak langsung intinya saja? Berhubungan misalnya? Dan Pramudya Notonegoro Notonegoro—CEO yang katanya menyukai banyak wanita itu—terlihat seperti kandidat sempurna untuk eksperimennya. Bitha bangkit dari kursinya bahkan sebelum sempat mendengar komentar dari perempuan sebelahnya. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak ingin diremehkan lagi—terutama soal cinta yang kandas begitu saja. Jika benar Pramudya adalah pria pemikat yang gemar mempermainkan wanita, bukankah itu justru menguntungkan? Artinya, dia tak perlu khawatir soal perasaan. Tidak akan ada luka, tidak akan ada ikatan. Ini murni eksperimen. Murni… demi eksperimen kutukan dan tulisan artikelnya. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, bukan? Langkah Bitha mantap saat ia berjalan melintasi lounge. Tumit sepatunya berdetak ringan di lantai marmer, mengikuti ritme jantung yang berdegup tak beraturan di balik dadanya. Setiap tamu yang ia lewati menoleh sekilas—bukan hanya karena gaun hitamnya yang elegan membingkai tubuh rampingnya dengan pas, tapi juga karena aura percaya diri yang menguar. Ia menghentikan langkah saat tiba di meja ujung ruangan, tempat Pramudya kini duduk bersama seorang pria dan wanita—kemungkinan asisten dan sekretaris pribadinya. Suasana sekitar terasa meredup sesaat saat Bitha berdiri di sampingnya. Ia berdeham pelan, lalu bersuara. “Pak Pramudya Notonegoro?” Suara Bitha terdengar tenang—bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja nekat menyapa pria paling berpengaruh di K-Media TV. Pramudya menoleh. Perlahan. Tatapannya tajam namun tidak terburu-buru, seolah sedang menilai siapa perempuan yang cukup berani memanggil namanya seperti itu. Jangan sebut Bitha wanita gila kalau ia sendiri tak cukup berani memulai. Masalah penampilan? Itu jelas bukan kendala. Semua orang tahu, Bitha tampak memesona malam ini—gaunnya pas, rambutnya disanggul elegan, dan matanya… menyala dengan tekad yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Pramudya menatapnya dalam diam. Senyumnya tidak muncul—yang ada hanya ekspresi tenang, nyaris datar. Tapi alisnya sedikit terangkat. Mungkin bingung. Mungkin tertarik. “Dengan?” Nada suara bariton itu datar nan pendek. Kalimat singkat meluncur dari bibir Pramudya Notonegoro Notonegoro tanpa ekspresi berarti. Tapi cukup untuk menguji mental Bitha. Wajar saja—pria ini bukan sembarang lelaki. Nama, reputasi, dan sorot matanya sudah menjadi dinding tinggi yang tidak bisa sembarang orang terobos. Bitha membalas dengan senyum. Tak lebar, tak terlalu mencolok—hanya seulas tipis yang tersusun rapi di atas bibir merahnya. Senyum menggoda yang ia kenakan seperti senjata. “Saya, Bitha Araminta. Salah satu jurnalis yang diundang secara khusus untuk acara ini,” ucapnya ringan, nyaris manja. Tangannya terulur, anggun, menawarkan jabat tangan. Tapi Pramudya hanya menatapnya lalu diam. Tangannya tetap tenang di atas meja, tidak bergerak sedikit pun. Semenit kemudian ia membalas uluran tangan perempuan di hadapannya. Anehnya, dirinya tersentak kecil saat Bitha mengayunkan tangannya. Ia menghempaskan tangan Bitha. Kemudian menatap wajahnya sekedar menilai tanpa berkata apa-apa. Dagu Pramudya terangkat sedikit. Keangkuhan yang terasa melekat sempurna pada jas mahal itu membungkus tubuhnya. Sikap seorang pria yang terbiasa melihat dunia membungkuk padanya—bukan sebaliknya. “Bisakah kita bicara… secara pribadi. Hanya beberapa menit.” Mata Pramudya menyempit sedikit. Nada suara Bitha memang sopan tapi intonasinya tidak biasa. “Saya butuh bapak untuk membantu saya…” “Bapak mau tidur dengan saya, gak?.”Banu menepati janjinya. Tepat pukul lima sore, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan kantor Litera. Seorang sopir membukakan pintu, dan Banu berdiri di sampingnya dengan senyum sopan yang sudah terlatih. “Selamat sore, Mbak Bitha. Silakan,” ucap Banu, dengan nada profesional khas asisten pribadi. Tanpa banyak kata, Bitha melangkah masuk ke dalam mobil. Banu duduk di depan, bersebelahan dengan sopir. Sementara Bitha duduk sendirian di belakang. Kabin mobil sunyi, hanya suara mesin dan lalu lintas Jakarta di kejauhan yang terdengar samar. Tapi di dalam kepala Bitha, suasananya jauh dari tenang. Banyak pertanyaan beterbangan liar—tentang alasan kenapa Pram mengajaknya ke vila pribadi, alih-alih di tempat umum. Tentu saja dia bisa menolak. Tapi tidak, Bitha ingin tau lebih jauh tentang pria itu. Namun yang mengganjal adalah, Bitha bukan takut pada Pram. Ia tahu pria itu terlalu pintar untuk melakukan hal ceroboh yang bisa mencoreng reputasinya sendiri. Yang ia takutkan adala
Pak, siang ini akan ada rapat internal… saya sudah menyiapkan materinya, bapak bisa cek di email.” Banu sang asisten menerangkan. Seperti pagi-pagi biasanya. Banu akan menjelaskan jadwal sang atasan, dari pagi hingga pekerjaan itu tuntas. Kadang, saat tengah malam pun, Pram akan terus bekerja demi memenuhi undangan dari para koleganya. Undangan makan malam, pesta—jelas itu masuk dalam daftar pekerjaan. Yaitu menjalin relasi bisnis. Menjadi seorang CEO bukan serta merta membuat tugas Pram menjadi lebih mudah. Hanya tinggal tanda tangan sana sini semua beres. Tentu saja tidak. Dalam seminggu dia bahkan bisa terbang 3 atau 4 kali pada sisi belahan bumi lain hanya dengan label urusan bisnis. Pagi di Jakarta dan sorenya sudah di Singapore. Pun begitu seterusnya hari-hari Pram biasanya berlanjut. Amat sangat membosankan. Tapi tidak setelah kejadian malam yang hampir menyesatkannya itu bersama seorang Jurnalis absurd. Bernama Bitha Araminta. Sebentar meminta Pram untuk menyentuhnya, nam
“Pak…saya tidak bisa melakukan ini.” Sebaris kata itu akhirnya meluncur dari bibir Bitha. Nalarnya mulai mengikis pesona dari seorang Pramudya Notonegoro. Si Casanova yang terkenal lihai mempermainkan hati wanita. Jika ini berlanjut, Bitha tak yakin bisa menyelamatkan dirinya nanti. Terus terang pesona seorang Pramudya memang tak bisa di bantah. Lebih dari sekedar tampan dan kaya raya, tapi sentuhannya juga lembut nan penuh pemujaan. Posisi itu jelas membakar dada Pram lebih dari sebelumnya. Sejak awal ia berusaha lembut, menahan sisi liarnya, menjaga kendali. Tapi kali ini, sesuatu yang lain di dalam dirinya menyeruak, liar, tak terbendung—terutama saat gadis itu menatapnya berani dan bertanya dengan nada setengah sinis. “Apa kamu memiliki pengaman?” Kata-kata itu menyalakan bara yang sudah sejak tadi ia tekan. Lihatlah, dengan lihainya Bitha mencoba menantangnya, memancingnya agar kehilangan kendali. Rahang Pram mengeras. Urat di lehernya menegang, sorot matanya makin gelap
Sungguh, kali ini Pram tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Bukan hanya karena gadis itu tak takut, tak menolak, atau bahkan mencoba kabur—tapi karena Bitha, dengan segala ketenangannya, menyerahkan diri begitu saja. Seolah-olah dia tahu betul siapa yang ada di hadapannya. Seolah tak peduli dengan segala framing Casanova yang melekat pada nama Pramudya Notonegoro. Apakah gadis itu gila? Atau… apakah dirinya yang mulai kehilangan nalar? Tapi bukan itu yang paling mengusiknya. Tidak hanya keberanian Bitha. Tapi juga reaksi tubuhnya sendiri. Aneh memang—Pram yang selama ini nyaris tak bisa menyentuh siapa pun tanpa reaksi penolakan dari dalam tubuhnya sendiri… kini mendapati dirinya tenang. Bahkan terlalu tenang. Tak ada gelombang panik. Tak ada mual. Tak ada gemetar. Tidak saat ia menyentuh tangan Bitha. Tidak saat ia mencium bibirnya. Semuanya terasa wajar. Nyaman. Seakan trauma bertahun-tahun itu lenyap begitu saja, ditelan hujan di tengah kemarau panjang. Dan di sanalah ia, m
Bitha tau siapa pria ini, Pramudya Notonegoro. Nama yang sering bergaung di media sosial dan surat kabar dengan reputasi yang bahkan lebih berisik dari pesonanya. Hari Senin bersama wanita A, Sabtu sudah menggandeng wanita B. Sorotan kamera menyukai wajahnya, tapi yang lebih dicintai media adalah skandalnya. Dan kini, pria itu berdiri tak jauh darinya. Tangannya masih bertengger ringan di pipi Bitha—lembut, nyaris seperti belaian tapi jelas bukan itu maksudnya. Sentuhan itu terasa seperti ujian. Apakah Bitha akan mundur hanya karena hal sekecil ini? Tentu saja tidak. Bukan Bitha namanya jika menyerah hanya karena sentuhan seorang Pramudya Notonegoro. Bitha sudah sering berhadapan dengan banyak pria—yang baru menyentuhnya sekali lalu kabur. Dan kini, pria itu menyentuh pipinya dengan tenang. Di tengah tatapan seorang Pramudya yang mampu menenggelamkan nalarnya, Bitha memberanikan diri membalas tatapan itu. Bitha kini yakin mitos dongeng tentang kutukan yang diterimanya sejak d
Pramudya Notonegoro berdiri di dekat jendela kamar hotelnya, memandangi kelap-kelip lampu kota dari ketinggian lantai teratas Jantungnya belum sepenuhnya tenang. Ada yang mengganjal. Seorang jurnalis bernama Bitha Aramintha. Gadis aneh itu mendekatinya dengan tawaran gila—one night stand demi sebuah riset. Pram terkekeh pelan, menggeleng kecil. Tapi bukan itu yang membuat pikirannya tak tenang. Yang benar-benar mengusiknya adalah tidak terjadi apa-apa saat ia menyentuh tangan gadis itu. Saat pertama kali mereka berjabat tangan—singkat, cepat, tapi jelas—tak ada rasa nyeri, tak ada mual, tak ada reaksi aneh seperti biasanya. Dan itu… membuat Pram waspada. Ia tak pernah nyaman menyentuh wanita. Selalu ada rasa aneh, dorongan tubuhnya menolak, trauma masa lalu yang menyisakan luka psikis dan reaksi fisik yang tak bisa dikendalikan. Tapi tadi…Tidak. Yang kedua kali, ia memastikan mengangkat dagu wanita itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… ia merasakan kosong. Dan anehny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments