Selesai beberapa jam berada dalam rapat kecil itu, Verdi berniat untuk pergi ke rumah seorang gadis yang meninggalkan bukunya sembarangan.
Bukan apa, ia hanya takut bahwa buku yang ia bawa sekarang ingin segera dibaca olehnya. Apalagi itu bukan miliknya dan harga yang cukup mahal. Ia melajukan mobil dengan sangat cepat.
"Assalamu'alaikum, permisi." salam Verdi setelah tiba di depan rumah bercat biru itu, lalu menekan bel yang ada di samping pintu. Beberapa kali ia mengetuk namun tak ada sahutan.
"Wa'alaikumsalam. Iya nyari siapa?" Jawab wanita paruh baya setelah berhasil membuka pintu cokelat dengan sebuah ukiran di atasnya. Tak lupa Verdi bersalaman dengan wanita itu. Sopan.
"Dinda ada, Tan?" ucapnya sambil tersenyum tipis.
Belum sempat wanita itu menjawab, tiba-tiba gadis cantik di rumah ini datang dari balik pintu dengan tatapan teduh. Berbeda dari waktu pertama ia bertemu dengan Verdi. Kini ia menyapa Verdi, hingga akhirnya membuat senyum Verdi memudar.
"Elo... Ngapain?" Dinda memotong pembicaraan mereka, ia kaget setelah ada keberadaan Verdi di rumahnya.
"Bunda tinggal dulu ya, ajak masuk Din." ucap wanita itu lalu meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.
"Iya, Bun."
Tersisa dua makhluk ciptaan Tuhan di sini dalam keadaan mulut sama-sama terkunci. Canggung merasuk dalam hati mereka.
"Nih buku lo!" ujar Verdi dingin sambil menyodorkan plastik putih berisi sebuah buku.
Dinda menerimanya dengan lapang, lalu mengintip isi di dalamnya, "Aduh Ver... Makasih lho sudah repot bawa kesini, makasih banget."
"Padahal gue baru aja doain lo, kalau lo nggal balikin bukunya, lo bakal kena karma jomblo seumur hidup." cengir Dinda bahagia karena bukunya sudah kembali lagi. Sayang juga duit dua ratus ribu.
Tanpa disadari, kini tangan Dinda memegang tangan Verdi, ia bertatapan lumayan lama. Hingga akhirnya, Dinda mengalihkan pandangan terlebih dahulu.
"Ehsorry. Gue buatin minum ya, tunggu disini dan jangan pulang!" kata Dinda mendelik, lalu mengajak Verdi ke ruang tamu lalu dirinya menuju dapur dengan larian kecil berniat membuatkan minum untuk cowok yang berada di depan itu.
Tak lama Dinda datang dengan membawa dua gelas jus jeruk serta camilan ringan.
"Silakan, oiya gue sengaja nggak kasih lo es batu banyak, soalnya lo sudah terlalu dingin masa ditambah dingin ntar jadinya beku lagi. Iya, kan?" celetuk Dinda garing dan tak ada respon.
Krik... Krik!
"Bawel." Verdi menorehkan senyum yang tidak terlalu lebar tapi masih bisa dilihat oleh Dinda. Ia kagum.
"Nah kan cakep, banyakin senyum lo jangan judes lagi!" titah Dinda sambil tertawa pelan.
'Kenapa lo beda dari yang lain' batin Verdi sambil meminum jus.
"Lo itu bawel banget ya."
"Karena gue dilahirin buat bisa bahagiain orang lain di samping kebahagiaan diri gue. Kalau lo mau lo bisa temenan sama gue."
"Apa untungnya gue berteman sama lo?"
"Lo bisa berubah dari beku jadi cair receh kayak gue." tawa Dinda semakin membuat Verdi tertawa.
"Mungkin kebanyakan orang beranggapan bahwa orang pendiem kayak lo itu ibarat emas. Lo bisa raih cita-cita lo tanpa ada hambatan karena acuh sama penilaian orang lain. Bukan begitu?"
"Iya, gue pikir ucapan lo bener."
Dinda semakin mengencangkan tawanya. "Tapi lo salah, Ver, dengan sikap lo yang seperti itu lo bisa kehilangan dunia asli lo, lo nggak bisa rasain gimana enaknya hidup receh kayak gue, selalu tertawa, ngelakuin hal-hal yang aneh biar bisa lihat orang lain ikutan tertawa."
"Lo nggak mau jadi orang kayak gue?" tawar Dinda tak terdengar serius. Verdi pun malah berpikir keras. Hal lain membuatnya mengurungkan niat.
"Gue juga receh." sahut Verdi.
Mereka asyik mengobrol untuk acara pendekatan diri walaupun percakapan antara mereka hanyalah diselimuti suasana canggung dan entah berbicara jelas atau tidak, yang penting dapat mengisi waktu mereka sekarang.
"Gue pulang, bilangin bunda lo." pamit Verdi memecah keheningan setelah obrolan mereka selesai.
Ia berdiri dari duduknya setelah beberapa menit berada disini. Sebenarnya, ia masih ada waktu untuk ngobrol. Tetapi, Verdi tak enak dengan gadis itu, karena mereka juga baru saja bertemu karena toko buku.
"Oke, hati-hati, sekali lagi gue ucapin terima kasih karena lo udah bawa pulang novel gue." kata Dinda pelan.
Verdi segera melajukan mobil itu dengan kecepatan rata-rata, setelah berpamitan dengan pemilik rumah yang ia tinggalkan sekarang.
"Sebenarnya asyik, cuma dia butuh proses aja buat bisa dekat sama gue." gumam Dinda tak memungkiri.
**
Minggu, kini saatnya bagi Verdi dan teman-temannya mengadakan penggalangan dana. Tak lupa ia memberitahu orang tua mereka bahwa akan ada penggalangan dana yang ia dan teman-temannya adakan. Seperti yang Verdi lakukan pagi ini.
"Pagi kak Verdinda." celoteh Vanya saat melihat Verdi turun dari tangga.
Membuat kedua orangtua yang kini tengah berada di ruang makan sontak tersenyum tipis. Pasti ulah Vanya.
"Ck paan sih!" ketus Verdi melirik keberadaan Vanya.
"Gue udah ngasih tau semuanya sama Mama, Papa juga udah tau." buka Vanya tertawa.
Verdi masih saja acuh, apa yang diucapkan gadis kecil itu? Apa yang ia adukan? Sama sekali tidak penting.
"Ngadu apa lo sama Mama?"
"Semuanya lah yang kemarin Vanya lihat." tutur Vanya melebarkan tangannya membuat Verdi mendengus kesal.
"Bocah gak tau apa-apa juga."
"Siapa bilang? Awas aja kalau pemikiran gue bakal terkabul di kehidupan lo, kak." was-was Vanya lalu tersenyum menang.
"Emang lo mikirin apa? Hm? Mau sok jadi peramal?" jengkel Verdi membuat orangtuanya semakin tertawa.
"Gue pikir lo bakal jadian sama Kak Dinda, Kak."
"Basi, gue nggak kenal gadis itu."
"Verdi mau ngadain penggalangan dana buat korban Tsunami, ada yang mau bantu?" kata-kata yang dilontarkan Verdi membuat Pak Rahmat berhenti mengunyah dan mengambil secangkir teh hangat untuk ia minum. Tak lupa ia mengelap mulut dengan tisu yang sudah tersedia di dekatnya.
"Papa sih mau Ver... Nanti Papa kirim lewat rekening aja ya, semoga bermanfaat nanti." Pak Rahmat ambil bicara lalu mendapat anggukan dari Verdi. Ia sedikit mengulas senyum.
"Mama kasih baju-baju aja deh yang udah nggak muat, boleh kan, Ver?" tentu saja Verdi mengangguk dan kembali tersenyum tipis.
"Lo bocah," panggil Verdi ke arah Vanya, "nggak mau bantu?"
Kini giliran Vanya, ia masih asyik dengan makanannya, ia berpikir sejenak dengan menatap roti selai lalu berhenti setelah makanan itu tertelan. Ia mengambil suara cempreng.
"Gue mana ada duit, Kak." santainya berhasil mendapat tatapan sinis dari Verdi.
"Bilang aja nggak mau berbagi." ketusnya kembali asyik dengan makanan.
"Siapa bilang? Gue mau bantu, gue akan kasih buku-buku yang sudah nggak dibaca, boleh, kan? Kan baik itu, buat anak-anak disana yang pada gabut, iya kan, Ma?" tanya Vanya membuat Bu Rere tersenyum diikuti oleh Verdi.
Entah apa yang Verdi rasakan hari ini, ia sangat bersyukur bisa mempunyai keluarga yang selalu care and respect sama siapapun. Tak ada yang dapat menandingi kebaikan mereka di mata Verdi, keluarganya sangat indah daripada semua harta bendanya.
Meskipun sikapnya masih tetap sama akhir-akhir ini, namun rasa sayangnya pada mereka tak akan pernah hilang, luntur sedikitpun tidak. Ia hanya perlu waktu sedikit untuk mengembalikan masa-masa yang sudah hilang dari hidupnya.
"Tentu boleh dong, Van." ucap Bu Rere sambil mengelus pucuk rambut gadis kecilnya.
"Makasih, jelek!" Verdi tersenyum tipis lalu juga mengusap rambut adik satu ini. Membuat Vanya berdecak sebal karena perkataannya.
"Gue cantik!"
"Tapi kekanak-kanakan!" sindirnya melanjutkan ucapan Vanya.
"Yang penting ada pacar!" sahut Vanya kian geram.
"Putusin segera!"
"Gue nggak mau." ejek Vanya menjulurkan lidah.
**
Pukul delapan pagi, Verdi bergegas mengambil motor ninja hitam, serta memakai helm full face yang juga berwarna hitam. Tak lupa, ia juga memakai jaket khas buatan dari sahabatnya.
Motor itu melaju sangat kencang, hingga membuat jaket itu berkibar di pinggangnya. Nampak seperti pembalap yang mencari cinta di area sirkuit.
Motor itu berhenti di antara motor teman-temannya yang sudah terparkir rapi di base camp sebelumnya. Base camp mereka? Masih di kafe semula. Blacksweet.
"Sehat bos?" tanya Otong mendapatkan senyum manis tapi tipis dari Verdi. Ia heran.
"Tumben itu bocah senyum, biasanya aja cuek." tambah Regal yang masih menatap Verdi heran. Verdi tak menggubris sama sekali.
"Dapat cinta mungkin." celetuk Paul.
"Dapet dari mana? Kandang?" Otong mengelus kepalanya heran.
"Cinta itu sulit buat dicari, apalagi Verdi yang masih punya sifat kayak gini." Alex menyambar dari arah belakang lalu menepuk pundak mereka.
"Lima menit lagi kita berangkat." ajak Verdi lalu mendapat anggukan dari beberapa temannya disini.
"Uh shi up!"
**
Pagi ini Dinda disuruh Bu Sella untuk membeli bahan makanan, mengingat stock makanan di kulkas sudah habis sejak kemarin. Sebenarnya ia malas untuk keluar rumah, tetapi apa boleh buat. Ini perintah Ibunya. Mana mungkin menolak?
"Din, beli bahan makanan sana." titah Bu Sella mendapat tatapan dari Dinda.
"Dimana?"
"Biasa aja."
"Dinda nggak mau beli sayuran, Dinda nggak tau itu nama sayur apa aja." tolak Dinda cepat
"Bukan sayuran, nanti bunda kasih list-nya."
Tanpa pikir panjang, Dinda pun menuruti. "Dinda siap-siap dulu." ucapnya sambil melenggang pergi ke kamar untuk berganti pakaian.
Menit kemudian, ia memakai jaket hoodie dan sepatu berwarna merah maroon. Tak lupa rambut yang sudah ia sisir indah.
Motor matic berwarna hitam garis merah itu kini terparkir rapi di depan swalayan. Ia segera masuk setelah melepas helm-nya kemudian memilih bahan makanan yang disuruh oleh Ibunya tadi.
Butuh waktu kira-kira setengah jam untuk mencari bahan-bahan itu. Ia mengelilingi swalayan dengan troli yang ada di depannya. Nampak seperti ibu-ibu, bukan? Memang kelak seorang gadis akan menjadi seperti ini, bukan?
Namun sayang, orang seusia Dinda belum bisa mengetahui nama-nama sayuran.
"Sudah cukup." katanya setelah memeriksa daftar belanjaan, "sekarang tinggal gue bayar." lanjutnya setelah menemukan berbagai keperluan dapur dan bahan-bahan makanan di dalam troli.
Ia langsung membawa banyak plastik belanjaan yang kemudian mengambil motornya untuk bergegas kembali ke rumah. Tetapi sebelum itu,
"Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya."Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu."Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil."Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat ke
Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya."Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan."Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi."Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seaka
Verdi terus bersenandung ringan, menyanyikan lagu asal-asalan dibarengi setelan musik supaya tidak terjadi keheningan. Lagu itu spesial, lagu yang pernah ia nyanyikan ke Dindanya. Dulu.Mengingat nama Dinda, Verdi terus-terusan tersenyum. Apalagi terbayang senyuman Dinda yang mengulas ketulusan.Gue janji akan selalu ada di samping lo. Batin Verdi setelahnya.Namun, sebuah nama kembali mendarat di pikiran Verdi, hingga membuatnya berhenti melanjutkan lagu yang masih dalam tahap reff tersebut. Lagi-lagi nama itu. Mengapa selalu muncul disaat yang tidak pas? Mengapa? Verdi mengeram, meluapkan kekesalan.Apa ia harus memberitahu Anggun tentang masalah ini? Verdi terus-terusan bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencari jalan terbaik untuk dirinya, Dinda, dan sahabatnya."Anggun harus tau tentang Danis." putusnya setelah berpikir dua kali, lalu ia mencari ponsel
"Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.Tidak. Itu dan itu secara berulang."Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju."Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir."Tapi kan aku khawatir sama
Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan
"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau