Share

FIRST IMPRESSION

"Lo dimana kak? Kok gak ada di belakang Vanya sih?! Vanya sendirian nih." telfon Vanya bingung sambil melihat kanan kirinya. Berharap ia melihat kakaknya sekarang.

"Lo dimana? Gue kesana sekarang."

"Di dekat pintu keluar, gue tunggu." Vanya memberitahu Verdi dan segera mematikan sambungannya secara sepihak. 

Verdi pun menarik tangan Dinda untuk cepat-cepat menemui Vanya. Mungkin ia tidak sadar, jika ternyata Vanya hilang karena ulahnya, ia pasti akan mendapat amukan dari orang tuanya, tamparan, atau bahkan diusir dari rumahnya. Ia lalai.

Tapi untuk remaja seusia Vanya, dengan kecanggihan alat elektronik pasti ia bisa pulang dengan sendirinya. Pasti itu.

"Mau kemana?"

"Cari adik gue lah." lalu mereka berlari secepat mungkin untuk mencari Vanya. "Gue bisa dimarahin bokap."

Saat di dekat pintu keluar, Verdi melihat gadis kecil berbaju putih dengan rambut panjang berbando yang ia gerai. Verdi langsung menghampirinya dan memeluknya.

"Vanya! Lo jangan hilang dong, nanti gue dimarahin bokap lo, lo mau tanggung akibatnya?" panik Verdi setelah itu. Tatapan itu kembali tajam, tetapi terlihat sedikit mata yang berkaca-kaca. Verdi sangat khawatir di depannya.

Tumben perhatian.

"Ya maaf lah, kan kakak yang nggak ada di belakang Vanya, jadi yang salah lo kak, bukan Vanya." bela Vanya dengan wajah yang masih tertunduk.

"Kok gue sih?"

"Iya lah, kan itu tad"

Verdi mendesah, "pulang! Udah beli kan? Sudah dibayar kan?" tanya Verdi mendapat anggukan dari Vanya, ia masih sangat takut menatap wajah ganas milik pria itu. Ia pun lalu melihat tangan Verdi yang tak disangka masih memegang tangan Dinda erat. Ia berdehem keras.

"Ih kak Verdi modus, gandeng-gandeng anak orang aja, bilangin Mama tau rasa lo kak." goda Vanya sambil mengeluarkan ponselnya cepat.

"Ck pa-an sih bocah! Reflek ini gara-gara lo ngilang." ucap Verdi lalu melepas gandengan tangannya, tetapi Vanya tak lupa mengabadikan momen kedua kalinya untuk diperlihatkan ke Mamanya yang kini berada di rumah.

Bisa jadi berita heboh setelah sekian tahun.

**

"Ngiri Ver rumah gue."

Verdi melajukan mobilnya, menuruti ucapan Dinda tanpa ada niatan membalas. Suasana kembali hening seperti tadi sampai akhirnya sampai di kompleks Dinda.

"Makasih Ver, Vanya." kata Dinda setelah sampai di tempat yang ia tunjukkan.

"Oke kak." balas Vanya sambil mengacungkan jempolnya. Dinda tersenyum tulus melihat itu.

Dinda menatap arah Verdi, masih menampakkan senyumnya. "Makasih, Ver." ucap Dinda lagi, namun kembali tak dijawab.

"Ver, terima kasih." katanya yang kian kesal.

"Ver!"

Pria itu pun hanya menampakkan muka risihnya, dan mengacak rambut frustasi, "iya-iya, udah sana keluar." usirnya.

"Gue cuma pesen sama lo, kalau lo bersikap gini terus sama siapapun lo bakal kesusahan nyari jodoh." Dinda lalu menuruni mobil dengan perasaan yang sangat senang, namun sedikit kekecewaan menyelinap.

"Hati-hati." ucap Dinda sebelum mobil itu melaju.

Mobil Verdi sudah melaju namun kembali ke hadapan Dinda, membuat Dinda mengernyit, ada apa?

"Soal gue gandeng tangan lo, jangan baper. Gue cuma reflek semoga pertemuan gue sama lo cukup sampai sini." tuturnya lalu kembali melanjutkan mobil.

"Apaan sih, siapa juga yang baper sama cowok kayak lo!" gerutu Dinda sambil menatap kepergian mobil merah itu.

'Oke, gue tau. Kita memang baru pertama bertemu, tapi gue harap kita bisa bertemu lagi nantinya. Enak juga bisa main sama orang kaya seempang.' batin Dinda tertawa, kemudian masuk ke rumah itu.

**

Lima belas menit kemudian, Vanya heboh dengan apa yang terjadi hari ini, ia memberitahu ke Mamanya, mulai dari ia bertemu gadis milik kakaknya, sampai ia hilang di pusat perbelanjaan.

Namun, Verdi tak menanggapi, ia langsung masuk ke kamar dengan meletakkan jaket di pundaknya. Melepas sepatu, membaringkan tubuh di atas kasur empuk, dan memejamkan mata diharap lebih baik daripada mendengar ocehan dari cewek tadi.

'Baru tau gue, ada cewek kayak gitu' batin Verdi sedikit meringis tak mengartikan.

Rizky: Ver lo dimana? Tumben gak datang.

Otong: how are you babe?

Paul: lo nggak sakit kan?

Rendra: seorang Verdi bisa sakit? Mustahil.

Otong: Verdi kan manusia bukan malaikat, jadi punya lah sifat kemanusiaan, nggak kayak lo, sifat kesetanan!

Rendra: Bekicot lo!

Verdi: Otw,

Ia langsung bergegas mengambil jaketnya lagi, dan memakai seperti semula. Menuruni tangga dan meminta ijin pada Mamanya.

"Verdi mau pergi, pulang Dzuhur." Bu Rere hanya menganggukkan kepala dan lanjut mendengarkan cerita dari anak bungsunya dengan senyum yang masih terlihat. Sesekali mereka berdua tertawa, membuat Verdi akan semakin dipojokkan oleh gadis manja itu.

"Ucapan Vanya bohong semua, Ma. Jangan didengerin." tuturnya berteriak meninggalkan.

**

Dinda berada di balkon kamar, menatap indahnya langit dan taman yang terlihat asri dari lantai dua. Dengan secangkir cokelat dingin di depannya semakin membuat Dinda sangat menikmati hari-harinya.

Ia melamunkan sesuatu yang membuat dirinya senang tak karuan. Hatinya berbunga, baru pertama, tapi bisa membuat kesan yang luar biasa. Ia menorehkan senyuman.

"Dia itu cowok sok cool, sok sinis, sok-sokkan, gimana kalau gue kerjain aja?" ucap Dinda sendiri.

Senyumnya pudar, "tapi mana mungkin gue bisa ketemu sama dia lagi? Gue aja nggak tau sama sekali tentang cowok itu." Pikirnya seketika, "ah, ngapain juga mikirin dia."

"Mendingan juga baca buku, kasihan kalau dianggurin." Ucapnya nampak semangat, buku yang sudah ia beli merupakan buku dari penulis terkenal luar negeri. Sangat-sangat favorit untuknya meski tak bertanda tangan.

Ia segera masuk ke kamar dengan langkah penuh semangat, berniat mencari keberadaan buku itu. Mencari dari sudut satu ke lain sudut, tetapi nihil. Ia tak menemukannya.

"Eh—gue taruh mana ya? Lupa gue." ucap Dinda sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia masih menatap kamarnya dengan ekspresi bingung, dan mencarinya lagi.

"Di mana sih?"

Seketika Dinda teringat bahwa buku yang ia bawa tadi berada di dalam tas kresek, bukan di tas yang ia bawa. Ia kembali mengingat dengan ekspresi yang tak karuan. Berpikir dan terus berpikir.

"Oiya mobil, mobil cowok itu. Gimana nih sayang banget itu buku, tadi aja belinya dua ratus ribu, masa hilang gitu aja." Dinda menggerutu dengan ekspesi melas, ia berjalan mondar-mandir sambil menggigit jari kanannya. Bingung.

"Dua ratus ribu itu duit say. Apes gue. Mana itu cowok gue nggak tahu lagi, apa itu larma buat gue karena udah ngerjain dia?" ucap Dinda lemas lalu melemparkan tubuhnya asal ke kasur. "Rugi gue ketemu sama dia. Awas aja kalau dia nggak balikin buku gue, gue doain dia jomblo seumur hidup."

**

Verdi menuju basecamp tempat ia berkumpul dengan teman-temannya. Dengan langkah cepat ia segera memasuki mobil itu lagi dengan gaya cool-nya. 

Saat akan melajukan mobil, ia melihat tas kresek berwarna putih ada dalam mobilnya. Ia mengambil dan membuka isinya, ternyata sebuah buku novel.

"Perasaan gue nggak beli." ernyit Verdi acuh.

"Apa itu buku cewek tadi?" gumamnya lalu meletakkan seperti semula. Ia segera melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi menuju tempat tongkrongan.

**

"Gila, dari mana gue dapet duit sebanyak itu. Mana gue juga nggak ada kerjaan lagi." ucap Radit lalu meletakkan kunci motornya keras di atas meja.

Mereka sudah berada di kafe, tempat yang menjadi andalan untuk berkumpulnya mereka. Biasa, anak orang kaya.

"Beh! Lo mau nggak, dapet duit cepat tapi nggak instan?" tanya Otong membuat Radit menganggukkan kepala. Ia masih dalam posisi meletakkan tangan sebagai tumpuan kepala.

Otong tersenyum lalu terkekeh. "Kerja lah pak, ya kali lo bisa dapat duit instan. Emang daun yang jatuh terus berubah jadi duit? Dasar bego!!" jawabnya lagi mendapat gelak tawa dari mereka yang ada disini.

"Ya kalau kerja emang jelas dapet duit Tong. Ngomong-ngomong, kayaknya lo baca meme di instagram ya? Kayaknya gue pernah baca itu." sindir Risky dengan lirikan mata teduhnya. Ia berhasil mendapat semyuman malu dari Otong.

"Tau aja lo, Ris."

"Eh... Eh itu si bosver!" gelagap Otong membuat semuanya menatap ke arah Verdi.

"Dari mana lo? Tumben rapi bener, ketemuan sama doi?" tanya Alex menatap Verdi penuh introgasi saat Verdi masih berjalan menuju mereka.

"Biasa!" singkatnya mendapat anggukan.

"Gimana sih Lex, orang Verdi nghak ada doi kok. Kayak lo, dia!" sahut Otong mendapat lemparan tajam dari semuanya, padahal dalam hati mereka terkekeh geli. Tingkah Otong memang selalu menjadi pencair suasana.

"Ye, kan gue cuma nebak doang, Tong!"

"Kenapa? Katanya penting?" tanya Verdi to the point menatap Risky yang berada di depannya.

"Langsung aja ya, besok kita mau ngadain penggalangan dana buat bantu korban Tsunami, lo ada masukan gak?" tanya Risky yang kini masih asyik dengan tatapan ke arah kertas kecil yang ia bawa.

Memang Verdi dan teman-temannya membentuk suatu grup, bukan grup band, berandalan, atau bahkan sebuah club seperti geng motor. Mereka hanyalah wadah untuk membantu sesama, mempunyai jiwa sosial yang tinggi, adalah ciri khas dari mereka semua.

"Setuju aja sih, di tempat biasa. Dekat SMA PW ada Radit, Otong sama Rendra. Kalau dekat kantor pos itu Gue, Risky sama Paul. Yang dekat Cafe blacksweat Alex sama Regal, lainnya di area sini." terangnya sambil menatap satu-persatu personil yang berada disini.

Mereka mengangguk, menyetujui perkataan Verdi. 

"Gue sih setuju aja, asal ada upahnya." cengir Otong tanpa dosa, namun satu jitakan mendarat tanpa meleset di kepala botaknya.

"Lo udah kaya kan, Tong. Harusnya lo besok ngasih donasi yang banyak."

"Nominalnya nggak mungkin gue omongin ke kalian kan. Santai lah, gue pasti ngasih." jelas Otong tersenyum receh.

"Kita mulai jam berapa?" tanya Regal santai.

"Jam sembilan kita mulai."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status