Dinda yang sudah menaiki motornya dengan berbagai barang belanjaan di atas motornya melihat sebuah keramaian di seberang jalan. Nampak sedang asyik dengan para pengguna jalan. Membawa beberapa kotak kardus lalu turun di jalanan saat lampu merah sudah terlihat. Ada apa?
"Itu rame-rame, ngapain? Apa ada nyari donasi?" tanya Dinda melirik jauh.
Dinda melirik isi dompetnya sebentar. Masih ada beberapa lembar uang di dalamnya. "Gue kesana aja kalik ya." Niatnya langsung melajukan motornya menuju para pemuda di jalanan itu.
"Nih mas, sedikit bantuan un,-" ucapnya terpotong, ia kaget setelah melihat bahwa dia adalah "eh, lo... lo Verdi kan?" ingatnya membuat Verdi hanya menatap datar tanpa ekspresi, tak menunjukkan sebuah senyuman lagi.
"Ketemu lagi deh gue sama lo. Eh ini." senyum Dinda langsung memasukkan uang donasinya dan meminggirkan motor untuk berbicara dengan Verdi.
"Gue ajak lo ngobrol, mau?" tanya Dinda berdiri di samping Verdi panas-panasan.
"Lo nggak lihat gue baru ada kerjaan?" dingin Verdi tak menatap keberadaan gadis itu.
"Kan gue cuma ajak doang, balas biasa aja bisa kan? Dasar, jutek!"
"Urusan sama lo?" ribut Verdi menandingi.
Gadis itu pun sontak menciut, tak mungkin ia beradu mulut di tengah padatnya jalan raya seperti ini. Kenapa juga mulutnya berkata seperti itu saat keadaannya seperti ini? Kenapa juga sih? Emang itu mulut harus di plaster.
Regal yang mendengar keributan disana akhirnya mendekat dan menanyakan perihal keributan. "Ada apa sih, gue yang dari sana bisa denger ucapan kalian?"
Dinda memandang Regal dan memasang muka melas, "gue cuma ajak dia buat ngobrol, eh dia malah bentak gue."
Verdi pun diam, pasrah dengan segala drama yang dibuat oleh gadis itu, mengada-ngada. Emang siapa dia?
"Siapa sih yang bentak lo? Gue cuma nolak." sinisnya lagi.
"Udah sana, Ver. Kayaknya dia mau ngobrol sama lo penting." serah Regal agar tidak jadi keributan di jalan.
"Ini belum selesai."
"Ada gue sama lainnya, kan?" kata itu membuat Verdi pasrah dan menaruh rasa kesal dengan gadis itu.
"Puas?" liriknya tajam mendapat cungir Dinda.
Kini mereka berada di sebuah taman yang nampak ramai karena hari masih pagi. Teman-temannya ada yang masih berada di jalanan, ada yang sudah membeli makanan untuk beristirahat sejenak, tetapi ingat, mereka bukanlah memakai uang hasil penggalangan dana itu. Melainkan sendiri.
Dinda merogoh ponselnya saat mendapati beberapa getaran di saku celananya. Dengan Verdi yang masih menatap gerak-gerik cewek ini. Setelah itu ia pergi meninggalkan Dinda sendirian disana beberapa waktu. Dinda membiarkan, tak khawatir jika pria itu pergi meninggalkannya lama.
Riska: Guys hari ini kita jadi ketemuan, kan?
Chae: Aduh, jadilah kapan lagi kita mau kumpul di luar.
Dinda: Sorry, gue gak jadi ikut ada urusan mendadak.
Riska: Kenapa? Pasti sama doi nih bocah.
Dinda: Aduh kepo banget, urusan gue penting.
Meyza: Anjir beneran sama doi.
Cowok yang semula pergi meninggalkannya tanpa pamit pun, akhirnya datang membawa 2 ice cream, ia menyodorkan 1 ice cream coklat dan terbitlah senyum di bibir Dinda.
"Thanks, ternyata lo bisa perhatian juga." ucap Dinda sedikit meringis. Lalu membuka bungkus ice ini dengan senang hati.
"Biasanya gue gak minum es," terang Verdi dengan tatapan datar tertuju ke sebuah benda berbentuk kerucut kecil ini.
"Kenapa?"
"Gak suka aja, dulu waktu gue minum es jadi batuk, pilek, Mama gue khawatir soal ini." Verdi sambil membuka es yang ia bawa.
Dinda pun mengangguk-anggukkan kepala, "Emang, lo anak mama ya?"
Verdi pun menoleh, dan keduanya bertatap, "bukan lah."
"Terus?"
Verdi menarik nafas panjang, apa yang sedang ada di pikiran gadis ini? "Orangtua khawatir sama anaknya itu hal wajar kan? Bunda lo pasti juga khawatir sama keadaan lo."
Dinda mengangguk pelan, "Iya juga sih." Ia lalu menjilat es yang sudah terbuka itu dengan santainya.
"Lo itu udah aneh, dingin, manis, kadang lucu, kadang ngangenin, bisa gila gue punya lo." Dinda yang keceplosan telah berbicara seperti itu, akhirnya merutuki ucapannya, "Maksud gue, gue punya temen seperti lo." ralat Dinda salah tingkah.
"Emang lo temen gue?" sekakmat! Emang iya? Bukan kan?
"Lo nggak mau emang jadi teman gue?" tanya balik Dinda mendapat satu senyuman tapi tak dapat jawaban.
Suasana kembali sepi, bergelut dengan perasaan sendiri-sendiri.
"Gue boleh pinjem hape lo nggak, Ver?" tanya Dinda memberanikan diri secara tiba-tiba.
"Lo bukan orang yang mau mencuri dengan tak-tik hipnotis kan?" tanya Verdi polos, tapi berhasil mendapat gelengan dari Dinda, dengan segera ia mengeluarkan benda kecil dari saku celananya.
"Awas aja kalau lo kabur bawa hape gue."
Dinda dengan segera mengotak-atik ponsel itu dan nampak sedang mengetikkan sesuatu dengan gerakan tangang yang sangat lincah dan cepat.
"Gue masukin nomer gue ke hape lo, siapa tau lo kangen sama gue, pengen ketemu gue... nggak Ver, becanda. Maksud gue siapa tau lo butuh teman kaya gue gini buat bisa jadi tempat lo curhat. Asyik kan gue?" kekeh Dinda melanjutkan minumnya.
"Mau kan jadi teman gue?" tanya Dinda lagi.
"Oke," balasnya, "thanks."
Dinda bingung dengan kata terakhir ini, untuk apa terima kasih ini? Apakah dia memberinya hadiah? Sesuatu yang berharga? Ataukah yang lain?
"For what?"
"Semua, karena lo gue bisa tertawa. Di hidup gue sekarang ini, gue jarang senyum apalagi ketawa lepas kayak gini. Gue juga anti sama cewek, semenjak kehilangan." curhat Verdi datar.
"Udah ada gue, lo bisa curhat semuanya ke gue suatu saat."
Bagaimana hati Verdi merasa lebih tenang di dekat Dinda? Nyaman, ya itu yang dirasakan oleh seorang Verdian Rahmat Saputra. Berbeda dengan Dinda, ia hanyut dalam setiap untaian kata yang dikatakan oleh cowok itu. Kehilangan.
'Gue seneng lihat lo gini Ver, gue harap gue bisa jadi matahari di hidup lo. Selalu bisa buat lo nyaman dan tentunya buat lo ketawa kayak gini'
Tak lama teman-teman Verdi datang dari seberang jalan. Mereka merusuhkan acara pendekatan antara keduanya. Dengan mereka berkenalan secara langsung dengan Dinda. "Ini pacar lo Ver? Cantik juga." Kata Alex jujur.
"Nggak! Dia temen gue." ketus Verdi.
"Temen dari mana? Tumben ada temen cewek." sindir Regal sambil meminum isi dari botol yang ia bawa.
Dinda tersenyum malu, "Eh, kenalin gue Dinda, temen Verdi yang baru kenal kemarin dan jadi temannya baru hari ini."
"Astaga, gue balik dulu ya, gue lupa kalau gue bawa barang belanjaan bunda. Jangan kangen Ver... Kalau kangen gue bakal dateng di mimpi lo." Dinda menceloteh kata-kata yang membuat semuanya baper tanpa terkecuali, Verdi.
"Cepat amat dia pergi." sesal Alex yang belum sempat berkenalan dengannya.
"Din, hati-hati." jawab semua bebarengan.
"Ver, kenalin gue sama dia." goda Alex ke arah Verdi.
"Kenalan aja sendiri." ketusnya membuat teman-teman Verdi tertawa.
Jantung Verdi berdisco entah pertanda apa ini. Di dalam hatinya ia senang, senang karena bisa dekat dengan seorang cewek untuk kali ini. Menjadikannya seorang teman, untuk kedua kalianya.
"Jangan baper, kalau lo suka kejar, jangan sampai dia salah haluan dan lo nyesel di akhir karena kehilangan dia." ucap Regal bijak sambil menepuk pundak kanan Verdi seperti orang menasehati.
"Gue nggak suka sama dia, orang juga baru kenal kemarin." katanya tak pelit-pelit, "Uang terkumpul berapa?"
"Tiga jutaan Ver."
"Lumayan, ini belum kegabung sama yang anak lain dapat, kan?"
"Iya, belum." jawab mereka bersamaan.
"Duit bokap dan barang dari keluarga gue belum gue ambil. Kalian udah?" tanya Verdi menatap satu persatu.
"Belum. Nanti mungkin sekalian."
"Ya sudah kita balik!"
**
Jam berganti jam, menit berganti menit, detik berganti detik. Kini tepat pukul lima sore waktu bagian rumah Verdi. Verdi sudah berada di rumahnya, mengenakan baju santai dengan celana jeans pendek dan kaos putih.
Rupanya lelah saat acara memberi donasi tadi, masuk ke dalam hunian besar yang terdapat orang-orang berbaring kesakitan. Pos Tsunami yang menggemparkan daerah yang Verdi dan temannya datangi. Keadaan kacau parah. Rumah-rumah, bangunan-bangunan semua rata tak tersisa. Kasihan mereka.
Ia menonton televisi dengan tayangan seperti biasa 'cerdas cermat'. Verdi nampak menikmati tayangan itu dengan seksama. Vanya pun akhirnya datang dan mengganti channel menjadi Upin&Ipin.
"Ck, pindah Vanya!" titah Verdi tak digubris, Vanya menutup telinganya seolah tidak mendengar perkataan kakaknya ini.
"Vanya Rastra Verista!" Eja Verdi mendapat tawa dari gadis kecil itu.
"Ck udahlah kak, ngalah kenapa sama adik sendiri? Sana belajar biasanya aja belajar." Ledek Vanya lalu mendapat lemparan bantal dari Verdi.
Verdi segera berlari menuju kamarnya sebelum terkena ocehan dari adik bawelnya ini. "Mending gue nonton TV di kamar!"
"Belajar sana!" suruh Verdi yang sudah menaiki tangga.
"Nggak penting!" tolak Vanya lebih keras.
Apa katanya? Belajar tidak penting? Jadi selama ia berada di sekolah bertahun-tahun, ia anggap tidak penting? Manusia macam apa ini. Jika orangtua atau guru sekolah mendengar, mungkin ia sudah dihukum di lapangan atau di toilet sekolah.
Indahnya suasana sore hari kali ini. Mentari yang mulai lelah menampakkan diri, hingga sorotan sinar sedikit mengenai wajah Verdi, membuat suasana menjadi lebih hidup. Verdi berada di balkon kamar sambil menyerutup kopi hangat buatannya.
'Kenapa dengan kehadiran lo bisa ngerubah sikap gue? Gue tahu gue baru kenal sama lo, tapi entah dari mana rasa ini muncul tiba-tiba' batin Verdi.
Verdi memainkan ponselnya, dilihat Vanya telah mengirimkan dua pesan bergambar lalu diunduhlah oleh Verdi saat itu juga. Tak menunggu lama ternyata itu adalah foto Verdi dengan Dinda yang berhasil ia jepret waktu pertama bertemu, ia menuliskan caption singkat.
'gue tau kak, lo suka sama kak Dinda. Sekarang pasti lo senyum-senyum sendiri kan?'
Tebak Vanya ada benarnya, sekarang Verdi nampak asyik dengan sudut bibir yang tertarik membentuk bulan sabit. Ketika mendapati sebuah foto kiriman dirinya berdua dengan Dinda membuatnya semakin bingung dengan apa yang baru ia perbuat.
"Ini bukan rasa kagum kan?" tanya Verdi.
"Itu rasa cinta, Kak." sahut Vanya lalu tertawa dari depan pintu. Entah sejak kapan ia berada di sini, menguping pembicaraannya.
"Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya."Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu."Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil."Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat ke
Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya."Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan."Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi."Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seaka
Verdi terus bersenandung ringan, menyanyikan lagu asal-asalan dibarengi setelan musik supaya tidak terjadi keheningan. Lagu itu spesial, lagu yang pernah ia nyanyikan ke Dindanya. Dulu.Mengingat nama Dinda, Verdi terus-terusan tersenyum. Apalagi terbayang senyuman Dinda yang mengulas ketulusan.Gue janji akan selalu ada di samping lo. Batin Verdi setelahnya.Namun, sebuah nama kembali mendarat di pikiran Verdi, hingga membuatnya berhenti melanjutkan lagu yang masih dalam tahap reff tersebut. Lagi-lagi nama itu. Mengapa selalu muncul disaat yang tidak pas? Mengapa? Verdi mengeram, meluapkan kekesalan.Apa ia harus memberitahu Anggun tentang masalah ini? Verdi terus-terusan bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencari jalan terbaik untuk dirinya, Dinda, dan sahabatnya."Anggun harus tau tentang Danis." putusnya setelah berpikir dua kali, lalu ia mencari ponsel
"Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.Tidak. Itu dan itu secara berulang."Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju."Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir."Tapi kan aku khawatir sama
Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan
"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau