“Manusia serigala? Vampir? Selama ini, aku hanya mengetahuinya dari cerita-cerita fiksi saja, itu pun dulu saat aku masih kecil sekali...” Alina tampak sedang berpikir, seperti berusaha mengingat sesuatu yang terlupakan.
Lalu, Alina kembali berkata “Tapi ya, ada lho orang yang memiliki kekuatan perubah wujud. Orang itu dapat berubah menjadi jelmaan singa, dia terlihat gagah saat melakukan perubahannya. Saat itu, dia bersama rekan-rekannya berhasil menghalau monster – monster yang keluar dari Gerbang Monster, akibat tak adanya pemburu kuat yang sempat menanganinya. Dari video yang beredar, dia berdiri di atas gunungan mayat monster. Katanya, dia yang paling banyak berkontribusi dalam penanganan ‘Gerbang yang Terbuka’. Nah, anda tahu? Kata orang – orang, gerbang itu terbuka lebih awal sehari, sedangkan sebelum waktunya tiba, Gerbang Monster akan terus tertutup...”
Nathan mengernyit saat mendengar ada manusia yang dapat mengubah wujudnya menjadi manusia singa. Hal itu sedikit membuatnya merasa tertarik. Dia berpikir, kemungkinan orang itu memiliki informasi terkait bangsa vampir maupun manusia serigala. Tentang Gerbang Monster ini, dia sedikit lebih memahaminya, termasuk kapan gerbang itu akan terbuka maupun tertutup hanya dengan merasakan energi kacau yang terpancar dari dalam Gerbang Monster.
Gadis itu larut dalam ucapannya sendiri, hingga tak menyadari bahwa dia mulai memasuki topik terkait kehidupannya.
“Lalu ya, aku ini seorang pedagang kuliner yang selalu berpindah tempat. Aku akan berdagang di tempat-tempat yang sangat ramai. Bahkan pernah suatu ketika, aku berjualan di dekat Gerbang Monster, karena saat itu kebetulan sedang terjadinya kehebohan terkait pencapaian seseorang yang telah berhasil menyelesaikan Gerbang Monster yang katanya sulit ditaklukkan. Aku harusnya bersyukur, karena makananku banyak yang membelinya, namun entah mengapa aku mulai merasa cemas...” Alina berhenti sejenak, raut wajahnya seperti sedang ketakutan akan sesuatu.
“Akhir-akhir ini, aku mendapat banyak sekali permasalahan yang tak berhubungan dengan dagangan. Ketiga pria yang terakhir kali mengejarku adalah salah satu alasan terbesarnya...” lanjut Alina, dia tersenyum masam saat kembali teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu.
Waktu itu, Alina sungguh merasa tertekan. Lalu, kecemasannya itu akhirnya mencapai puncaknya saat dia tahu ada orang yang menguntit dirinya yang hendak pulang. Kejadian yang terakhir kali itu adalah hal baru baginya. Saat dia mengingatnya pun jantungnya bergejolak dengan hebat, keringatnya kini mulai tercipta kembali di keningnya yang berwarna putih kekuning-kuningan.
“Begitukah? Berarti, aku memihak ke pihak yang benar...” gumam Nathan dengan suara pelan, tangannya secara spontan sedikit terangkat dan mulai mengusap-usap dengan lembut kepala Alina. Keputusannya mempercayai ekspresi Alina saat itu telah terjawab kebenarannya setelah mendengar secara langsung curahan hati dari seorang gadis yang tersakiti. Dia hanya tersenyum hangat saat Alina menatapnya dengan bingung, namun Alina tak berkomentar lebih jauh.
Alina sendiri entah mengapa merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Padahal, dia dengan Nathan belum sampai semalaman ini bertemu.
Sejak Nathan bangkit dari tidurnya, dia merasakan gejolak energi kacau yang dari awal keduanya berjalan menuju rumah Alina, energi kacau yang dirasakan semakin jelas terasa yang mana ada peningkatan pada intensitas gejolak energi.
Namun, Nathan masih bersikap dengan tenang. Dia sangat percaya diri dengan kekuatannya, gejolak energi kacau sebesar itu sebenarnya sangatlah lemah. Bila pperlu dikatakan, energi juga memiliki kepadatan tertentu, layaknya material yang menjadi komponen penyusun alam semesta ini yang memiliki kepadatan material yang bervariasi.
Energi dari dunia asalnya adalah energi kacau yang memiliki kepadatan yang tinggi, sedangkan yang dirasakan oleh Nathan sejak dirinya terbangun di Bumi ini memang mirip. Namun kepadatannya jauh lebih rendah, meskipun terbilang memiliki kapasitas yang besar.
“Dari sini, berapa lama lagi kah untuk kita sampai ke rumah Nona Alina?” tanya Nathan.
Telah cukup lama mereka berjalan, namun setelah memasuki area perumahan sekalipun belum terlihat adanya tanda-tanda rumah Alina terlihat. Atau, karena Alina belum menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka berdua akan segera sampai di rumahnya.
“Um... Mungkin, sekitar tiga puluh menit lagi?” jawab Alina hanya memperkirakan, tangannya memegang dagu sambil menatap ke atas, entah apa yang mendapat perhatiannya.
“Kabar yang cukup baik. Kalau begitu, Nona Alina harus bersiap-siap sebelum hal itu tiba...”
...
Di jalan yang hanya beberapa langkah jauhnya dari salah satu rumah yang berada di pinggiran jalan mulai muncul retakan dimensi kecil, hal itu membuat satu atau dua orang yang lewat tak menyadarinya.
Retakan dimensi itu mulai berputar, hingga mirip pusaran air. Suaranya mirip gemericik air yang tak terlalu keras awalnya, namun perlahan suara yang keluar dari riak dimensi tersebut berubah menjadi semakin tajam mirip suara kaca pecah yang berkelanjutan. Warga di sekitar yang sedang tidur pun, baik muda maupun tua terbangun karenanya.
Hampir secara serempak, pintu depan di tiap rumah yang mengarah ke jalan terbuka. Lalu, ada seseorang maupun beberapa orang keluar dari dalam masing-masing pintu. Mereka semua melihat ke satu arah yang sama, yaitu tempat di mana pusaran dimensi terjadi yang dari waktu ke waktu kian membesar. Fenomena ini seharusnya telah dapat ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, namun orang-orang itu tak mampu untuk bergerak.
“Ah, sepertinya orang-orang terkena dampak dari energi kacau yang telah terkontaminasi oleh aura negatif...” gumam Alina yang merasa takut dirinya akan seperi mereka.
Nathan bersama Alina yang memegang lengan jas hitamnya dari mulai pusaran dimensi itu terlihat, keduanya berjalan ke arahnya yang merupakan arah tempat yang dituju, yaitu jalan menuju rumahnya Alina.
Dari kejauhan, dapat terlihat beberapa orang tak dapat bergerak saat menyaksikan fenomena itu. Namun, setelah Alina berada lebih dekat dan lebih dekat lagi dengan pusaran dimensi, dia tak bertingkah seperti orang-orang di sekitar. Lalu, pandangannya tertuju pada sepasang mata merah yang membuatnya harus mendongak ke atas sebelah kanan.
“Mungkinkah...”
Alina berspekulasi bahwa Nathan lah alasan dirinya tak menerima dampak dari kemunculan pusaran dimensi itu. Semua orang termasuk dirinya mengetahui ciri-ciri kemunculan Gerbang Monster, fenomena pusaran dimensi itulah cikal bakal terbentuknya Gerbang Dimensi. Tak ada yang tak mengetahui dampak yang timbul akibat terkena gejolak energi yang terpancar dari Gerbang Monster, terlebih masih dalam tahap pembentukan.
Menurut pemberitahuan dari pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya setelah dilakukan penelitian, orang-orang seharusnya langsung kejang-kejang kalau berada di dekat area pembentukan Gerbang Monster, lalu tak sadarkan diri beberapa saat setelahnya. Namun, orang-orang di sekitar hanya berdiri tak bergeming dari tempatnya. Mungkin, ada juga yang berusaha untuk bergerak, terlihat salah satu jarinya bergetar dari waktu ke waktu.
Aneh, pikir Alina dalam diam.
“Seperti inikah Gerbang Monster?”
Nathan memperhatikan pusaran dimensi itu yang sebentar lagi akan mencapai tahap puncak terbentuknya Gerbang Monster. Semakin jelas dalam penglihatannya bahwa di dalam sana memang terdapat banyak monster-monster lemah. Tetapi apabila dibandingkan dengan orang-orang di sekitar, monster-monster itu terbilang kuat.
Bagaimanapun, orang-orang disekitar yang tak mendapatkan kebangkitan potensi takkan memiliki energi kacau sekecilpun, sedangkan Alina juga sama seperti mereka.
Sebenarnya, orang-orang di sekitar mendapat perlindungan dari Nathan saat dirinya masih berada cukup jauh dari lokasi. Alasan orang-orang itu membeku seperti itu adalah karena mereka sempat terpapar energi kacau yang terkontaminasi, sedangkan mereka hanyalah manusia normal.
Bisa dibilang, kalau sebutir debu terhirup ke dalam hidung, manusia yang memiliki sistem pertahanan tubuh akan bersin karena merasa digelitik. Lalu jika debu tersebut yang ternyata terdapat banyak virus di dalamnya, hal itu dapat membuat orang pilek. Pertahanan tubuh di sini, meskipun hanya sakit pilek, tubuh yang lain akan merespon merasa sakit juga.
Begitupun kasusnya sama dengan energi kacau yang terkontaminasi dan masih liar itu. Tubuh manusia normal memang tak dapat menyaring masuknya energi kacau, namun tanpa bantuan alat akan cukup berbahaya. Apalagi, tubuh manusia normal terpapar oleh energi kacau yang masih liar, bukankah dampaknya akan lebih membahayakan lagi?
Beruntungnya, nasib mereka masih dapat diselamatkan oleh keberadaan Nathan. Dia yang melindungi mereka masihlah dapat memperbaiki tubuh mereka yang telah mendapatkan kerusakan akibat sedikit terkena energi kacau, namun tubuh mereka terlalu lemah untuk mendapat paparan lebih banyak energi kacau.
Jadi, Nathan secara perlahan memperbaiki sel-sel yang rusak pada tubuh mereka.
Pusaran dimensi itu akhirnya telah selesai dalam pembentukannya dan jadilah Gerbang Monster yang baru. Beberapa orang pun telah berhasil pulih dari pengaruh energi kacau yang terkontaminasi. Adapun, salah satu rumah terkena dampaknya. Gerbang Monster itu membelah bagian depan rumah seseorang tanpa bisa bertahan. Beruntungnya, pintu depannya yang menjadi tempat pemilik rumah itu keluar, berada di beberapa langkah dari Gerbang Monster saat ini. Hal itu membuat penghuni rumah tak celaka akibatnya. “Hm...jadi, inilah alasannya monster-monster itu tak dapat keluar setelah terbentuknya Gerbang Monster. Ada sesuatu yang mengekang mereka, seolah mereka dituntut untuk menunggu sampai energi kacau yang terkontaminasi pada Gerbang Monster ini kembali pulih. Sepertinya, energi kacau yang terkontaminasi itu nantinya digunakan untuk mengevolusikan monster-monster yang terikat saat suatu kondisi tercapai. Ini menandakan bahwa semakin lama Gerbang Monster ini dibiarkan, maka mereka akan semakin kuat
“A-... Warga setempat! Ya, warga di sekitar sini bagaimana kondisinya?” Nah, barulah orang-orang berjas hitam maupun berkostum modis terperanjat. Bahwasanya semenjak mereka datang, tak terlihat adanya kegaduhan akibat jatuhnya korban, malah orang-orang yang menyaksikan proses pembentukan Gerbang Monster berada dalam keadaan baik-baik saja. Dadan segera menghampiri warga yang paling dekat dan berumur cukup dewasa untuk dapat menjelaskan situasi sebelum mereka datang. Orang itu adalah salah satu yang sebelumnya berani mendekati Gerbang Monster hanya untuk memuaskan rasa penasarannya. “Permisi Tuan, saya ingin menanyakan beberapa hal...” ... Hari mendekati pagi, akhirnya keduanya telah sampai di depan rumah Alina. Di depan pintu rumah, seseorang tampaknya tertidur hanya untuk menunggu kepulangannya. Sebelum Alina membangunkannya, wainta itu terbangun lebih dahulu dan tanpa basa-basi lagi segera berlari dan memeluknya dengan erat. Aneh rasanya atau lebih tepatnya mengagumkan, orang y
Jam delapan, sarapan baru saja selesai. Bekas sarapan segera dibereskan oleh Aisyah, sedangkan Alina mempersiapkan segala macam hal untuk berjualan hari ini. Sebenarnya, sebagai seorang ibu, Aisyah merasa khawatir tentang bagaimana anaknya bekerja di luar sana. Dia sempat menyuruh Alina untuk beristirahat secara penuh untuk hari ini. “Tak apa ma...” begitulah jawaban Alina yang bersikeras untuk tetap berjualan. Entah dia melupakan kejadian kemarin atau bagaimana, tapi semangat yang terlihat pada matanya mengatakan untuk pantang mundur. “Buah yang jatuh takkan jauh dari pohonnya...” Nathan tiba-tiba saja mengucapkan hal itu saat dia sedang melihat sikap anak dan ibunya begitu mirip. Aisyah sangat mengkhawatirkan Alina. Kejadian kemarin sebenarnya bukanlah pertama kalinya terjadi, tapi biasanya tak sampai seperti Alina tak dapat menanganinya. Mendengar kejadian kemarin itu terdengar seperti hal yang sangat berbahaya, bila Nathan tak menyelamatkannya. Tapi apa boleh buat, itu keingina
Perumahan di sekitaran Jalan Ambarkasih biasanya tak seramai ini. Teriknya matahari yang tak berawan sungguh membuat suasana terasa semakin panas. Keringat dari orang-orang entah telah berapa kali menetes ke tanah atau jalan aspal. Yang pasti, bau udara terasa tak sedap. Tapi, orang-orang sepertinya tak mempedulikan hal itu. “Lihat pria itu! Tinggi banget dia...” “Tampannya...” “Berani sekali dia berdampingan dengan Malaikatku...” “Gila! Keren sekali dia...” Kebanyakan para wanita memuji penampilan Nathan yang begitu luar biasa bagi lawan jenis. Adapun dari kalangan pria, cukup banyak orang yang merasa iri dengan Nathan yang dapat berjalan beriringan dengan Alina yang begitu banyak pria yang menginginkannya. Apalagi Tim Alis Bercodet, reaksi mereka setelah menyadarinya menjadi suram. “Dia sepertinya membutuhkan pelajaran dari kita, Kak...” salah seorang dari mereka memancing emosi orang yang berada di tengah-tengah dari mereka yang sepertinya dia adalah pemimpin dari tim itu. “T
Orang-orang kian menjauh saat dua pancaran kekuatan dari pemburu tingkat tinggi saling beradu. Namun, yang satu terasa lebih dominan dari lawannya. Terlebih, jumlah dari pihak yang satu lebih banyak. Jelas sekali, orang-orang segera dapat menebak siapa yang akan menang, bila kedua pihak beradu kekuatan dan apa yang akan terjadi pada area di sekitar adalah kehancuran. “Seorang penyidik memang selalu lemah ya...” ejek pria itu yang memandang dengan sinis Nisa yang tampak berkeringat hanya dengan menahan tekanan dari pancaran energi kacaunya. Namun-... “Oh, begitukah?” sahut seorang pria yang cukup tampan dan memakai jas hitam tiba-tiba masuk ke dalam area yang kacau itu. Dia memandang pria yang barusan mengejek nama baik penyidik dengan tajam. Dia juga memancarkan energi kacau yang sedikit lebih besar daripada pria itu. “Komandan...” gumam Nisa dengan hati yang sedikit lega, karena akhirnya ada yang mau membantunya dalam pertikaian ini. Meski pada dasarnya, tak ada kewajiban bagi seb
“Eh?” Setelah keduanya mendengarkan penjelasan singkat, padat, dan jelas dari Nathan, Dadan dan Nisa sungguh dibuat bingung sekaligus merasa dipermainkan oleh Ryan sang Amukan Badai atau Bos dari Tim Alis Bercodet. Tentunya, penjelasan Nathan bukanlah fakta yang telah terjadi. Dia hanya menjelaskan secara visual apa yang telah orang-orang lihat. Sedangkan yang dialami oleh Ryan aslinya adalah ilusi yang tak seorangpun dapat melihatnya. “Tapi, syukurlah ya. Masalah telah selesai tanpa ada yang terluka...” ucap Nisa dengan seutas senyuman terukir di bibirnya. Dia sebagai seorang wanita dewasa tentu merasa terpesona oleh penampilan Nathan dan kini pandangan matanya tak henti-hentinya tertuju ke wajah tampan dari pria bertubuh tinggi itu. Nisa yang dikenal oleh orang-orang adalah wanita yang cuek terhadap lawan jenis. Bisa jadi, itu karena dia memang tak merasa ada yang menarik perhatiannya sejauh ini. “Ehem...” Dadan jadi merasa terasingkan karenanya. Selain itu, dia sungguh menemuk
Ini adalah hari kedua setelah Alina mulai berjualan cemilan di Jalan Ambarkasih yang menjadi kemunculan Gerbang Monster terbaru. Belum ada yang dapat menyelesaikannya sejauh ini. Dari pembicaraan orang-orang, katanya telah ada dua kelompok kecil pemburu yang masuk-keluar dengan penampilan yang berantakan. Tak ada yang melihat dari mereka membawa satupun artefak yang selalu menjadi hal yang lumrah untuk dipamerkan saat keluar. Tak peduli artefak yang didapat itu hal yang umum sekalipun, seperti halnya cincin penyimpanan. Hal itu dilakukan adalah sebagai promosi bagi mereka yang ingin membeli artefak yang didapat. Agar, setelah didaftarkan ke Serikat Pemburu, artefaknya akan laku secepatnya. “Apakah itu suatu pertanda?” gumam Nathan di kala tak ada pembeli yang datang ke dagangan Alina. “Mungkin saja begitu ada sesuatu di dalam sana?” Alina yang baru saja selesai melayani seorang pelanggan menyahuti gumaman Nathan. Dia sendiri memang tak begitu tahu situasi yang biasanya dialami oleh
Sebuah kejadian yang mengejutkan! Tim Mata Bintang telah melakukan ekspedisinya tak sampai memakan waktu seharian, lebih tepatnya lebih dari setengah hari. Tapi yang mengejutkannya adalah hanya ada seorang saja yang keluar dari sana. Orang-orang segera dapat mengenalinya. Dialah pemimpin Tim Mata Bintang, seorang pemburu berperingkat A. Penampilannya saat ini sungguh berantakan dengan sekujur tubuh dan perlengkapannya dipenuhi warna merah yang berbau amis. Dia berjalan tartatih-tatih dan memandang sekitar dengan tatapan bengis, seolah dia menyalahkan orang-orang yang ia lihat saat ini. “Kalian, bantu aku!” serunya dengan tegas yang bercampur nada ancaman kepada sekelompok kecil orang yang berada di dekatnya. Sudah jelas dia berada dalam situasi yang tak memungkinkannya untuk bersikap seperti itu kepada orang lain. Enggan sebenarnya meminta bantuan kepada orang lain, apalagi di hadapan publik seperti ini. Tapi, dia tak memiliki pilihan lain dan berpasrah menggunakan popularitasnya un