“A-... Warga setempat! Ya, warga di sekitar sini bagaimana kondisinya?”
Nah, barulah orang-orang berjas hitam maupun berkostum modis terperanjat. Bahwasanya semenjak mereka datang, tak terlihat adanya kegaduhan akibat jatuhnya korban, malah orang-orang yang menyaksikan proses pembentukan Gerbang Monster berada dalam keadaan baik-baik saja.
Dadan segera menghampiri warga yang paling dekat dan berumur cukup dewasa untuk dapat menjelaskan situasi sebelum mereka datang. Orang itu adalah salah satu yang sebelumnya berani mendekati Gerbang Monster hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.
“Permisi Tuan, saya ingin menanyakan beberapa hal...”
...
Hari mendekati pagi, akhirnya keduanya telah sampai di depan rumah Alina. Di depan pintu rumah, seseorang tampaknya tertidur hanya untuk menunggu kepulangannya.
Sebelum Alina membangunkannya, wainta itu terbangun lebih dahulu dan tanpa basa-basi lagi segera berlari dan memeluknya dengan erat. Aneh rasanya atau lebih tepatnya mengagumkan, orang yang baru bangun dapat langsung beraksi seperti itu.
“Alina, kamu ke mana saja sayang? Mama sangat khawatir...”
Wanita itu adalah Ibunya Alina. Kasih sayang seorang ibu sungguh membuatnya dapat bertindak seperti itu. Tak terbayang, betapa khawatirnya dia akan keadaan anak gadisnya yang belum pulang sampai lewat tengah malam. Dia tidak memarahinya, justru air mata membanjiri wajahnya karena dia terlalu cemas akan keselamatan Alina.
“Maaf Ma, ada masalah saat pulang. Lalu, Kakak ini datang menolongku...” Alina tersenyum dan sama-sama berlinang air mata, merasa terharu sekaligus merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi. Lalu, dia menunjuk ke arah Nathan yang berada di belakangnya.
“Eh? Ada tamu ternyata...” selepas memeluk Alina, wanita itu mengusap air matanya. Tak mungkin, dia melayani tamu dengan keadaannya yang seperti tadi, meskipun terlanjur terlihat oleh Nathan. “Mari masuk dulu. Dan sayang, kamu lekaslah tidur...”
“Apakah tidak apa-apa? Mungkin, saya datang di waktu yang tidak tepat. Nyonya pasti merasa lelah setelah menunggu Nona Alina semalaman...” Nathan dapat merasakan, betapa lelahnya wanita paruh baya itu, sehingga dia berucap demikian. Dia dapat mengetahuinya, karena aliran darah di tubuh wanita itu tampak lambat dan memberikan tekanan tinggi pada pembuluh darah.
“Tak apa. Malam telah sangat larut, saya rasa anda bukanlah orang sini...” Wanita itu tersenyum ramah, rasa lelahnya dapat ia tutupi dengan begitu baik. Meskipun, fakta bahwa pada wajahnya telah ada keruta-kerutan kecil.
“Baiklah. Saya rasa, Nyonya benar...” Nathan menyetujui tanpa berkomentar lebih jauh. Dia merasa, hanya dengan bertamu terlebih dahulu dapat membuat Ibunya Alina lebih cepat mengistirahatkan tubuhnya.
Saat di ruang tamu, Nathan ditawari kamar tidur untuknya beristirahat, namun sebenarnya dia tak membutuhkan istirahat atau tidur. “Mengapa tidak Nyonya saja yang tidur?” tanyanya keheranan.
Nathan melihat tak ada tanda-tanda wanita paruh baya itu beranjak dari kursi di tengah ruangan.
“Sepertinya, tidak? Melihat waktu menunjukkan sebentar lagi matahari terbit, akan gawat bila ibunya juga terlambat bangun, ‘kan?”
Nathan tersenyum dengan lembut melihat ketangguhan manusia biasa seperti dia ini, sampai rela mengorbankan mentalnya yang sedang kelelahan untuk tetap terjaga. Dia menghela napas, antara anak maupun ibunya membuatnya cukup terkagum-kagum. Sebagai Vampire Lord, adalah suatu hal mudah untuk memahami kondisi seseorang.
“Sebaiknya Nyonya tidur, istirahatkanlah tubuh anda. Bila Nyonya sakit, siapa yang akan khawatir nanti? Biarlah saya yang membangunkan Nyonya saat waktunya tiba” ujar Nathan terkesan meyakinkan.
“Anda benar. Tapi, tamu adalah raja, saya merasa tak nyaman untuk-“
“Tak apa, Nyonya tenang saja. Saya takkan membangunkan Nyonya secara gratis, karena sebagai gantinya, Nyonya harus benar-benar beristirahat...” Nathan memotong ucapan wanita paruh baya itu selagi dirinya terus meyakinkannya dan tersenyum dengan lembut.
“Ba-baiklah. Tapi, ini beneran tak apa, bukan?” Ibunya Alina sungguh merasa tak enak membiarkan tamunya duduk seorang diri hanya dengan diberikan beberapa cemilan di atas meja.
Akhirnya, wanita itu jujur terhadap tubuhnya sendiri. Raut wajahnya berubah secara drastis, tampak jelas wajah yang terlihat sangat kelelahan dengan kerutan di beberapa bagian wajahnya yang semakin terlihat jelas.
“Iya Nyonya, silahkan beristirahatlah dengan tenang...”
Dalam kesendirian seperti itu, menunggu fajar tiba tidaklah terasa lama. Nathan tak beranjak dari tempat duduknya sejak dia mulai duduk di kursi dan membujuk Ibunya Alina untuk beristirahat. Meski matanya tertutup, dia bukanlah sedang tidur. Dia hanya bergelut dalam kesunyian sebagaimana selalu dia lakukan selama ini.
Saat cahaya matahari mulai memasuki kaca jendela dan cahaya lembut itu menyinari sebagian wajah Nathan, matanya perlahan terbuka. “Mungkinkah saatnya telah tiba?” gumamnya, lalu dia menatap ke arah matahari terbit.
“Hm... bangsa vampir hanya minum darah, manusia serigala makan daging mentah, sedangkan diriku ini biasanya hanya minum teh. Lalu, manusia ini makan apa, ya?” Nathan sebenarnya tak ada niatan untuk membangunkan Alina maupun Ibunya, biarkan mereka beristirahat dengan cukup. Lalu, dia akan menyajikan makanan untuk keduanya. Rencananya tertahan saat memikirkan jenis makanan yang perlu disajikan. “Atau...”
Seseorang sedang turun dari lantai dua saat Nathan hendak memutuskan untuk membangunkan Ibunya Alina. Dan, orang yang dimaksudkan baru saja turun.
“Nyonya sudah bangun ternyata...” sapa Nathan.
“Aduh, apa yang telah saya lakukan, malah memperlakukan tamu seperti ini?” Ibunya Alina Tampak merasa bersalah. Dia yang hendak membungkuk itu segera diberhentikan tindakannya, karena pundaknya disentuh oleh Nathan.
“Tak apa, Nyonya. Bagaimanapun juga, sayalah yang meminta Nyonya untuk beristirahat...”
Wanita paruh baya itu entah berapa kali mengungkapkan penyesalannya, disebabkan kemarin malam dirinya terlalu tertekan dan merasa lelah. Sehingga, mendapat tawaran untuk beristirahat setelah mengetahui bahwa putrinya telah pulang, dia sulit untuk menolaknya. Lalu, dia pun mulai memperkenalkan diri sebagai Aisyah Nurrohmah dan baru mengucapkan terimakasihnya saat ini, karena malam tadi dirinya lupa mengatakannya.
“Sebentar ya, saya mau menyiapkan dulu makanan untuk sarapan nanti...”
“Bolehkah saya ikut membantu anda, Nyonya?”
Satu orang lagi segera bergabung setelah mencium aroma masakan buatan Aisyah. Alina tampak berantakan, namun wajah manisnya tetap lebih unggul. Meskipun jelas terlihat, ada bekas pembuatan pulau yang menempel di pipinya, sebagaimana dia sama sekali belum pergi ke kamar mandi.
“Ish... Sayang, cuci muka dulu dong. Jangan malu-maluin gitu. Lihat! Ada tamu, laki-laki yang tampan lho...”
“Huh...? Ada siapa?”
Alina sepertinya masih setengah sadar, matanya yang masih belum terbuka sepenuhnya itu belum dapat melihat sekeliling dengan jelas. Terlebih, dia belum mengingat dengan kejadian tadi malam dan dia tak tahu bahwa Nathan menginap di rumahnya.
“Anda sungguh terlihat berantakan ya, Nona Alina. Namun, kecantikan anda sebagai seorang gadis muda sungguh tak berkurang sedikitpun...”
Nah, barulah setelah mendengar suara yang cukup familiar di telinganya baru-baru ini membuatnya terperanjat dan matanya menjadi melek seketika. Lalu, Alina mencoba menoleh ke arah yang menjadi asal suara itu terdengar dengan perlahan dan harap-harap dia salah mendengar dan berpikir bahwa tadi hanyalah halusinasi atau dirinya masihlah bermimpi.
Namun, sepasang mata merah gelap kini sedang memandangnya dan sedang tersenyum dengan lembut padanya. Alina hanya bisa tersenyum dengan canggung sebelum rona merah muda yang semakin terlihat jelas mewarnai pipinya. Dia segera beranjak pergi begitu saja sambil tangannya menutup wajahnya, dia terlalu malu untuk membukanya.
“Hm...?”
Nathan hanya memandang punggung ramping itu dengan salah satu alinya terangkat, karena dia merasa bingung tentang apa yang baru saja terjadi.
“Apakah saya salah berucap?” gumam Nathan.
Aisyah terkekeh kecil melihat tingkah anak gadis satu-satunya itu tersipu malu, dia tahu itu. Terlebih lagi, Nathan tampak polos dengan ketidaktahuannya bahwa bagi seorang gadis adalah sebuah aib yang sangat memalukan bila ada lawan jenis yang melihat dirinya masih berantakan setelah bangun tidur.
Nathan semakin merasa bingung melihat Aisyah yang malah terkekeh.
Jam delapan, sarapan baru saja selesai. Bekas sarapan segera dibereskan oleh Aisyah, sedangkan Alina mempersiapkan segala macam hal untuk berjualan hari ini. Sebenarnya, sebagai seorang ibu, Aisyah merasa khawatir tentang bagaimana anaknya bekerja di luar sana. Dia sempat menyuruh Alina untuk beristirahat secara penuh untuk hari ini. “Tak apa ma...” begitulah jawaban Alina yang bersikeras untuk tetap berjualan. Entah dia melupakan kejadian kemarin atau bagaimana, tapi semangat yang terlihat pada matanya mengatakan untuk pantang mundur. “Buah yang jatuh takkan jauh dari pohonnya...” Nathan tiba-tiba saja mengucapkan hal itu saat dia sedang melihat sikap anak dan ibunya begitu mirip. Aisyah sangat mengkhawatirkan Alina. Kejadian kemarin sebenarnya bukanlah pertama kalinya terjadi, tapi biasanya tak sampai seperti Alina tak dapat menanganinya. Mendengar kejadian kemarin itu terdengar seperti hal yang sangat berbahaya, bila Nathan tak menyelamatkannya. Tapi apa boleh buat, itu keingina
Perumahan di sekitaran Jalan Ambarkasih biasanya tak seramai ini. Teriknya matahari yang tak berawan sungguh membuat suasana terasa semakin panas. Keringat dari orang-orang entah telah berapa kali menetes ke tanah atau jalan aspal. Yang pasti, bau udara terasa tak sedap. Tapi, orang-orang sepertinya tak mempedulikan hal itu. “Lihat pria itu! Tinggi banget dia...” “Tampannya...” “Berani sekali dia berdampingan dengan Malaikatku...” “Gila! Keren sekali dia...” Kebanyakan para wanita memuji penampilan Nathan yang begitu luar biasa bagi lawan jenis. Adapun dari kalangan pria, cukup banyak orang yang merasa iri dengan Nathan yang dapat berjalan beriringan dengan Alina yang begitu banyak pria yang menginginkannya. Apalagi Tim Alis Bercodet, reaksi mereka setelah menyadarinya menjadi suram. “Dia sepertinya membutuhkan pelajaran dari kita, Kak...” salah seorang dari mereka memancing emosi orang yang berada di tengah-tengah dari mereka yang sepertinya dia adalah pemimpin dari tim itu. “T
Orang-orang kian menjauh saat dua pancaran kekuatan dari pemburu tingkat tinggi saling beradu. Namun, yang satu terasa lebih dominan dari lawannya. Terlebih, jumlah dari pihak yang satu lebih banyak. Jelas sekali, orang-orang segera dapat menebak siapa yang akan menang, bila kedua pihak beradu kekuatan dan apa yang akan terjadi pada area di sekitar adalah kehancuran. “Seorang penyidik memang selalu lemah ya...” ejek pria itu yang memandang dengan sinis Nisa yang tampak berkeringat hanya dengan menahan tekanan dari pancaran energi kacaunya. Namun-... “Oh, begitukah?” sahut seorang pria yang cukup tampan dan memakai jas hitam tiba-tiba masuk ke dalam area yang kacau itu. Dia memandang pria yang barusan mengejek nama baik penyidik dengan tajam. Dia juga memancarkan energi kacau yang sedikit lebih besar daripada pria itu. “Komandan...” gumam Nisa dengan hati yang sedikit lega, karena akhirnya ada yang mau membantunya dalam pertikaian ini. Meski pada dasarnya, tak ada kewajiban bagi seb
“Eh?” Setelah keduanya mendengarkan penjelasan singkat, padat, dan jelas dari Nathan, Dadan dan Nisa sungguh dibuat bingung sekaligus merasa dipermainkan oleh Ryan sang Amukan Badai atau Bos dari Tim Alis Bercodet. Tentunya, penjelasan Nathan bukanlah fakta yang telah terjadi. Dia hanya menjelaskan secara visual apa yang telah orang-orang lihat. Sedangkan yang dialami oleh Ryan aslinya adalah ilusi yang tak seorangpun dapat melihatnya. “Tapi, syukurlah ya. Masalah telah selesai tanpa ada yang terluka...” ucap Nisa dengan seutas senyuman terukir di bibirnya. Dia sebagai seorang wanita dewasa tentu merasa terpesona oleh penampilan Nathan dan kini pandangan matanya tak henti-hentinya tertuju ke wajah tampan dari pria bertubuh tinggi itu. Nisa yang dikenal oleh orang-orang adalah wanita yang cuek terhadap lawan jenis. Bisa jadi, itu karena dia memang tak merasa ada yang menarik perhatiannya sejauh ini. “Ehem...” Dadan jadi merasa terasingkan karenanya. Selain itu, dia sungguh menemuk
Ini adalah hari kedua setelah Alina mulai berjualan cemilan di Jalan Ambarkasih yang menjadi kemunculan Gerbang Monster terbaru. Belum ada yang dapat menyelesaikannya sejauh ini. Dari pembicaraan orang-orang, katanya telah ada dua kelompok kecil pemburu yang masuk-keluar dengan penampilan yang berantakan. Tak ada yang melihat dari mereka membawa satupun artefak yang selalu menjadi hal yang lumrah untuk dipamerkan saat keluar. Tak peduli artefak yang didapat itu hal yang umum sekalipun, seperti halnya cincin penyimpanan. Hal itu dilakukan adalah sebagai promosi bagi mereka yang ingin membeli artefak yang didapat. Agar, setelah didaftarkan ke Serikat Pemburu, artefaknya akan laku secepatnya. “Apakah itu suatu pertanda?” gumam Nathan di kala tak ada pembeli yang datang ke dagangan Alina. “Mungkin saja begitu ada sesuatu di dalam sana?” Alina yang baru saja selesai melayani seorang pelanggan menyahuti gumaman Nathan. Dia sendiri memang tak begitu tahu situasi yang biasanya dialami oleh
Sebuah kejadian yang mengejutkan! Tim Mata Bintang telah melakukan ekspedisinya tak sampai memakan waktu seharian, lebih tepatnya lebih dari setengah hari. Tapi yang mengejutkannya adalah hanya ada seorang saja yang keluar dari sana. Orang-orang segera dapat mengenalinya. Dialah pemimpin Tim Mata Bintang, seorang pemburu berperingkat A. Penampilannya saat ini sungguh berantakan dengan sekujur tubuh dan perlengkapannya dipenuhi warna merah yang berbau amis. Dia berjalan tartatih-tatih dan memandang sekitar dengan tatapan bengis, seolah dia menyalahkan orang-orang yang ia lihat saat ini. “Kalian, bantu aku!” serunya dengan tegas yang bercampur nada ancaman kepada sekelompok kecil orang yang berada di dekatnya. Sudah jelas dia berada dalam situasi yang tak memungkinkannya untuk bersikap seperti itu kepada orang lain. Enggan sebenarnya meminta bantuan kepada orang lain, apalagi di hadapan publik seperti ini. Tapi, dia tak memiliki pilihan lain dan berpasrah menggunakan popularitasnya un
“Salah pengukuran? Bukankah kalian sengaja menipu mereka?” Yang berani berbicara seperti itu secara terang-terang tidak lain adalah Jeremy Rainbownose. Dia adalah pemimpin Serikat Maung Bodas generasi ini. Perawakannya yang kekar dan tinggi, dia terlihat seperti seorang raksasa. Terlebih, tempramennya yang kasar dan selalu terlihat penuh amarah itu menjadi momok yang sangat ditakuti oleh kebanyakan orang. Dia memang adalah seorang pemimpin dari sebuah serikat, tapi dia tak tampak memiliki sikap dari seorang pemimpin seperti yang seharusnya. Bisa dibilang, dia termasuk pakar kejahatan yang tak teridentifikasi oleh para penyidik karena memiliki topeng yang tebal dari serikat yang dipimpinnya. Sedangkan, sebuah serikat yang memiliki visi dan misi yang sama seperti yang lain seharusnya menjadi perisai bagi masyarakat. Tapi, dia melanggar lalu lintas yang telah dibuat dan menyelewengkan kekuasannya. Topengnya sungguh tebal untuk menutupi semua kejahatannya. “Maaf. Saya selaku komandan p
“Saat situasi menjadi bahaya, segeralah kabur secepat mungkin!” Begitulah rencana sederhana yang telah diperintahkan oleh Jeremy kepada seluruh anak buahnya beberapa waktu sebelumnya. Meski terbilang sederhana, tampaknya rencana itu akan berjalan dengan lancar. Terlihat, masing-masing dari mereka berada di baris pinggir setelah lapisan terluar formasi. Sebuah posisi yang aman dan mendukung untuk kabur pada saat situasi yang membahayakan terjadi. Entah bagaimana mereka dapat melakukannya tanpa ada yang menaruh kecurigaan. Semua orang tampaknya sedang berkonsentrasi penuh memperhatikan sekitar, takut bila sewaktu-waktu mendapat serangan kejutan. Langkah kaki semua orang senada, cukup untuk mengurangi kebisingan dan ada celah untuk mendengar kondisi sekitar dengan jelas. Formasi yang sedang digunakan adalah formasi yang cukup umum. Hal itu, karena formasi ini cukup baik untuk digunakan oleh semua pemburu dari semua spesialis. Para penyidik yang ikut bersama beberapa pemburu yang bersp