Victor mencoba mengabaikannya. Tapi setelah dia keluar, dia menahan pintu mobil untuk berbicara dengan Viona sejenak.
“Kalau bisa nanti pakai mobil biasa saja. Limousine hanya membuatku menjadi pusat perhatian. Jujur, aku sama sekali tidak nyaman dengan itu.”
“Lah, kenapa? Apakah bekerja terlalu lama sebagai pengantar pizza membuatmu tidak nyaman lagi menjadi orang kaya?” tanya Viona dengan sedikit senyum konyol.
“Bukan itu! Tapi, Limousine?” bantah Victor tampak tak terima. “Apa perlu menjemputku dengan limousine segala?”
“Kenapa tidak? Aku tahu kamu sedang ada urusan perceraian dengan si lampir itu,” jawab Viona berceletuk. “Aku justru menggunakan Limousine ini untuk pamer di depannya, karena aku tahu dia pasti mencampakkanmu dengan memandang rendah dirimu.”
“Terserah apapun itu!” Victor mengibaskan tangannya sambil memalingkan wajah. “Aku hanya tidak ingin pergi ke kantor dengan menggunakan Limousine ini lagi.”
“Kamu tidak perlu khawatir. Kami telah menyiapkan mobil lain untukmu di kantor,” terang Viona.
Victor memasang wajah lelahnya, merasa yakin bahwa itu masih mobil mewah tipe lainnya.
Viona pun berniat ikut keluar dari mobil itu, bergeser ke sisi yang sama ke tempat Victor berada saat ini. Tapi Victor mencegahnya, dan menyuruhnya tetap di dalam mobil. Victor langsung saja menutup pintu mobil dan menyuruh pengemudi untuk mengantar Viona ke kantor.
“Hey?” tanya Viona tak mengerti.
“Pergilah dulu. Aku akan menemuimu nanti di depan kantor,” ucap Victor sambil berjalan di trotoar.
Limousine itu terus berjalan dan Viona hanya bisa memegangi dahinya melihat kelakuan Victor. Setelah sampai di kantor Counterbrand, dia menunggu Victor di lobi.
Namun kemudian, ada seorang gadis petugas keamanan berkulit hitam, dengan rambut keriting berwajah manis berdiri di dekat jalan. Tiba-tiba saja gadis itu menahan Victor saat dia hendak masuk ke lobi.
Gadis keamanan ini tampak meragukan entah Victor akan punya urusan atau hubungan dengan siapa pun di perusahaan itu. Terlebih dengan penampilan Victor saat ini, gadis itu memperhatikan dari atas sampai ke bawah, jelas sekali kalau Victor terlihat seperti orang yang baru bangun tidur.
“Maaf, Tuan! Apa ada yang bisa aku bantu?” tanya gadis satpam tersebut.
“Ah, tidak usah. Saya yakin tidak membutuhkan bantuan Anda jika hanya untuk masuk ke kantor itu. Saya tahu ke mana saya harus pergi,” jawab Victor berlalu pergi.
“Dan kemana Anda akan pergi, Tuan?” Gadis itu kembali menahan tangan Victor, mencegahnya untuk masuk.
“Tentu saja untuk pergi bekerja!” Victor menjawab dengan wajah polos sambil mengarahkan telunjuknya ke arah lobi.
“Apa Anda seorang karyawan baru?” gadis itu bertanya lagi dengan wajah mengkerut.
“Ya, ini hari pertamaku bekerja untuk Counterbrand! Maaf, nona itu sedang menungguku,” jelas Victor sambil menunjuk ke arah Viona.
“Nona itu?” gumam si gadis satpam merasa bingung.
Gadis keamanan itu memperhatikan lobi hingga kemudian dia menyadari siapa si nona yang baru saja dibicarakan Victor.
“Dia? Kamu memberitahuku bahwa kamu punya urusan dengannya?” tanya gadis itu lagi nampak tak percaya.
“Ya! Permisi!” ucap Victor berlalu pergi dan segera menghampiri Viona.
Gadis keamanan itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan. Tapi kemudian, dia mengalihkan perhatiannya ke keramain di pinggir jalan, kembali ke pekerjaannya menertibkan area di depan kantor itu dari para pejalan kaki. Dan memang, tempat itu agak ramai juga pada jam segitu.
Kemeja Victor kini agak basah di bagian dada karena keringat. Tidak mungkin dia ikut rapat dengan manajer lain dengan kondisi seperti itu.
Saat itulah ia meminta waktu sejenak untuk ke kamar kecil sebelum bergabung bersama Viona untuk pertemuan tersebut.
“Maaf, aku tidak akan lama,” ucap Victor bergegas ke kamar kecil.
“Aku akan menunggumu di atas. Cepatlah!” balas Viona sebelum berjalan menuju lift.
Victor menuju ke kamar kecil untuk merapikan dirinya di sana. Dia mencuci wajahnya, lalu menggunakan mesin hand dryer untuk mengeringkan tangannya.
Sesaat dia termenung memandangi hand dryer tersebut. Entah apa yang ada di pikirannya, tiba-tiba ia mengarahkan bajunya ke mesin tersebut, untuk mengeringkan bagian bajunya yang basah oleh keringat.
Zzzngggg!!!
Seorang karyawan masuk dan tampak sedikit terkejut. Dia kemudian tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, dan diikuti dengan tawa kecil yang tertahan. Tapi Victor mengabaikannya, terus saja asyik dengan hand dryer tersebut.
Dan tentu saja pria itu kembali tertawa saat hendak keluar dari kamar kecil. Tapi kemudian, dia berhenti sejenak dan menatap Victor dengan senyuman lucu.
“Heh!!”
“Apa?” Victor bertanya.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku pikir itu ide yang cukup bagus. Kalau aku nanti di kondisimu, mungkin aku akan melakukan hal yang sama,” ucap pria itu sambil tersenyum ramah sebelum pergi.
Victor hanya tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya. Pikirnya dia bakalan adu debat juga dengan orang itu hanya karena urusan sepele.
Kebetulan, ada pegawai lain yang sudah ada di bagian toilet bahkan sebelum Victor masuk ke kamar kecil tersebut. Saat pria itu keluar dari toilet, dia menemukan Victor yang masih sibuk dengan hand dryer.
Karyawan itu juga memberikan reaksi yang lucu, menatap Victor dengan sedikit kerutan di wajahnya. Ketika Victor memalingkan wajahnya ke orang itu, pria itu tidak bisa menahan tawanya karena dia sangat mengenal wajah Victor.
“Hey! Bukankah kamu Victor? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria yang berambut kuning, runcing berdiri bak jarum berjejer, dengan wajah tirus tampan, bersih dan resih, seperti kebanyakan pria kantoran.
“Oh, Oliver? Kamu kerja di sini juga?” balas Victor.
“Ya. Aku bekerja disini. Bagaimana denganmu?” tanya pria yang bernama Oliver tersebut. “Sejauh yang aku ingat, aku masih melihatmu di jalanan beberapa hari yang lalu, masih mengantarkan pesanan pizza orang. Apa mungkin kau sudah berhenti dan ingin melamar pekerjaan di sini?”
“Ya, aku akan segera bekerja di sini,” kata Victor.
“Benarkah itu?”
Victor tersenyum sambil menganggukkan kepala, sementara ia masih sibuk mengeringkan bajunya dengan pengering tangan.
Oliver mulai memperhatikan kondisi Victor yang saat ini masih berantakan. Ia mulai berpikir bahwa Victor mungkin diterima bekerja di perusahaan tersebut sebagai office boy.
Sontak, pria itu menggelengkan kepalanya dengan ekspresi meremehkan, sambil sibuk mencuci tangannya di depan sebuah cermin. Selesai dengan itu, dia kembali mendekati Victor lagi.
“Bolehkah aku menggunakannya sebentar?” dia bertanya, perihal hand dryer tersebut.
“Oh, tentu!” Victor menjauhkan diri.
Setelah itu, pria tersebut menggunakan mesin itu untuk mengeringkan tangannya. Namun tak lama kemudian, dia membiarkan Victor menggunakannya lagi.
Saat Victor menghadapkan kembali kemejanya ke mesin itu, pria bernama Oliver tersebut menyibukkan diri dengan menata rambutnya di depan cermin.
“Aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana seorang mahasiswa berprestasi seperti dirimu bisa berakhir seperti ini,” ucapnya santai.
“Yah, begitulah hidup,” jawab Victor dengan datar, mencoba mengabaikan kekhawatiran pria itu.
Oliver malah tak bisa menahan tawanya. Dia berbalik, menepuk bahu Victor dari belakang, lalu mendekatkan wajahnya seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Aku hanya ingin bilang, nilai sekolah dan semua prestasi itu tidak ada artinya ketika kau memasuki dunia kerja seperti di tempat ini. Yang terpenting adalah ide terobosan yang menjual dan mendatangkan keuntungan, serta solusi yang bisa menyelesaikan masalah.”
“Oh, benarkah?” balas Victor sengaja memasang wajah lugunya.
“Yah, aku pun ragu kamu akan membutuhkan nasihat sederhana ini saat kamu nanti bekerja di sini. Tapi yaa, siapa yang tahu, ya kan?” Oliver menutup nasihatnya dengan menepuk pundak Victor beberapa kali, berpikir seorang office boy tak akan membutuhkan nasihat tersebut.
Namun kemudian, dia menyadari punggung tangannya masih sedikit basah. Dengan entengnya, dia menggosokkannya ke kemeja Victor di bagian bahu beberapa kali. Dan Victor, dia hanya menatap tangan pria itu dengan ekspresi dingin dan datar.
Tentu Oliver tahu kalau Victor pasti tak senang dengan itu. Tapi dia kemudian menepuk bahunya lagi dengan tersenyum enteng, sebelum benar-benar meninggalkan kamar kecil tersebut.“Sampai jumpa lagi,” ucapnya.“Tentu saja!” balas Victor dengan nada penuh percaya diri.Laki-laki itu kembali terkekeh mendapat balasan seperti itu dari Victor, merasa sangat puas karena berhasil mengejek dan merendahkannya.Dia bahkan mulai memikirkan ide untuk mengejek Victor lagi, nanti saat mereka bertemu lagi, karena dia yakin Victor bekerja di perusahaan itu hanya sebagai seorang office boy yang bisa dia suruh-suruh.Victor tidak begitu tersinggung dengan kata-kata nasihat dari Oliver, karena nasihatnya itu benar. Meski begitu, dia masih sedikit tersinggung dengan cara Oliver mengusapkan tangannya yang basah ke bahunya.Setelah ia selesai bermain-main dengan hand dryer itu, Victor segera menelpon Viona untuk menanyakan arah.[Naik saja lift dan pergi ke lantai paling atas]“Lantai paling atas?”[Ya, la
Namun, ia langsung menahannya, karena takut akan pengaruh besar dari seorang Charles William.Meski begitu, tetap saja ia merasa kesal, karena merasa telah menyia-nyiakan waktunya di perusahaan itu selama 5 tahun ini.“Lima tahun! Kau menyia-nyiakan 5 tahunku dengan memberikan kapal ini kepada seorang kapten amatir yang bahkan…”“Berbicara dengan tema bajak laut sekarang, huh?” Viona memotong kata-katanya. “Jika Anda keberatan, Anda boleh meninggalkan kapal, Tuan Camilo. Dengan senang hati aku akan menyiapkan sekoci untuk membawamu ke pelabuhan terdekat.”Pria bernama Camilo itu kini menggerutu, berusaha menahan amarahnya. Pada akhirnya, dia pun pergi dengan kedua tangan terkepal.“Tidak perlu! Aku tahu ke mana harus pergi!”Setelah menunggu beberapa saat, Viona bertanya pada yang lain apakah masih ada yang ingin keluar dari ruang rapat. Ia bahkan memberikan peringatan kepada mereka yang memutuskan untuk tetap tinggal.“Charles tidak akan keberatan jika ada yang memilih untuk pergi. N
Victor meninggalkan rapat. Tak satu pun dari para eksekutif tersebut yang menyuarakan keberatan mereka. Kecuali Viona yang langsung bergegas menyusul Victor ke ruangan sebelah.“Hei, Victor! Mau ke mana kau?”Victor menjawabnya sambil terus berjalan keluar ruangan dan menuju lift. “Maaf, aku punya masalah yang harus segera aku selesaikan. Jika tidak, Tuan Benigno akan marah kepadaku. Meskipun hanya pemilik toko pizza, ada yang bilang dia punya hubungan dengan mafia.”Namun kemudian, Victor berhenti sejenak setelah dia menyentuh tombol di lift, menyadari bahwa dia tidak punya cukup uang untuk membayar utangnya kepada Tuan Benigno.Dia memiliki dua rekening bank. Satu yang ia gunakan sejak kuliah, yaitu uang yang ia kumpulkan sendiri. Sedangkan rekening bank lainnya merupakan tabungan dari uang yang ia peroleh semata-mata dari ayahnya sejak kecil, William Charles, salah satu pengusaha terkaya di Amerika.Dia telah menyimpan begitu banyak uang karena jarang menggunakannya di masa lalu. N
Seringkali, orang baru menyadari betapa berharganya sesuatu setelah kehilangannya. Sama seperti Benigno yang kini mulai merasakan kehilangan pegawai andal seperti Victor.Terlepas dari seberapa sering dia memarahi Victor, kenyataan Victor telah bekerja untuknya selama lima tahun pastilah memiliki arti baginya.Sebenarnya dia sudah mendapatkan pengganti Victor. Namun hal itu membuatnya semakin sadar, betapa sulitnya mencari karyawan sebaik dan seloyal dirinya.Lagi pula, di mana lagi dia bisa menemukan seorang lulusan universitas ternama, yang mau bekerja untuknya begitu lama sebagai pengantar pizza.“Sudah kubilang! Anda akan merindukannya. Pria seperti dia sangat langka saat ini,” kata seorang pelayan, seorang gadis remaja cantik berwajah ceria dan polos berambut hitam tebal, sambil menggoda Tuan Benigno.“Diam kau! Kenapa kau tak keluar saja sana dan ajari si anak baru itu sesuatu,” bentak Benigno sambil berlalu pergi.Dia kembali ke kantornya, mengambil telepon, dan mencoba menghub
Sementara itu, Emma saat ini sedang dilema. Meski sudah bercerai dengan Victor, ia bahkan belum menjadi istri sah Lucas.Dan entah kenapa, Lucas tampak begitu enggan untuk membawanya tinggal di rumahnya bersama kedua orang tuanya. Bakan sejauh ini dia belum pernah mengenalkan Emma pada mereka.Dan dia juga tidak berniat mencarikan tempat tinggal baru untuk Emma. Sebaliknya, Lucas lebih memilih mencari bantuan, menyewa tukang kunci untuk membukakan pintu bagi Emma, sehingga dia bisa kembali ke rumah tempat dia tinggal bersama Victor.“Anda yakin ini rumah Anda?” tukang kunci bertanya.“Kenapa kau tidak tanyakan saja pada tetangga wanita tua itu?” kata Emma.Tukang kunci melirik sekilas ke rumah sebelah, dan memang ada seorang nenek tua, Ny. Greta, yang sedang sibuk menyiram taman kecilnya.Mendapati wanita tua itu tidak terlalu mempedulikan mereka, tukang kunci yakin bahwa klien yang dia layani saat ini bukanlah pencuri. Lagi pula, dia hanya malas repot-repot memastikannya. Jadi, dia
Dia memungut dan memeriksanya, baik cincin maupun kotaknya. Mungkin dia bukanlah ahli dalam menilai suatu perhiasan. Tapi dia mulai ragu apakah itu benar-benar cincin palsu.Hanya setelah dia menemukan nama “Johnson’s Pleasantry” di bawah kotak, dia yakin bahwa cincin itu tidak mungkin barang palsu.Johnson's Pleasantry adalah toko perhiasan terkenal di kota, toko di mana Victor membeli barang tersebut. Toko ini sangat populer di kalangan pasangan calon suami-istri, terkenal dengan validitas dan reputasinya yang baik dalam menjual perhiasan khusus untuk pernikahan.“Tidak mungkin Johnson’s Pleasantry menjual cincin palsu kepada orang yang akan menikah,” gumamnya dengan mata terbelalak.Emma memakai kembali sepatunya, dan bergegas keluar rumah dengan membawa cincin itu. Dia mengunci pintu dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Lucas kembali.Menurutnya, lebih baik pergi bersama Lucas daripada memesan taksi dengan uangnya sendiri. Atau mungkin membantunya menjual cincin itu dengan h
Dia memang mengira permata dari Johnson’s Pleasantry akan berharga mahal. Tapi dia tidak pernah mengira harganya akan semahal itu. “Satu juta dolar?” gumamnya sambil memegang kepalanya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya berusaha menjaga keseimbangan dengan mencari sesuatu untuk dipegang. “Jadi? Apakah itu cukup mengejutkan Anda, Nyonya? Saya turut berbahagia Anda punya suami yang baik seperti dia,” kata pemilik toko. “Tidak, ini terlalu banyak. Aku memang mengira cincin ini mahal, tapi 1 Juta dolar itu terlalu banyak,” ucap Emma. Hal ini menarik perhatian beberapa pelanggan yang kebetulan berada di sana. Tapi Emma tidak terlalu memperhatikannya. Ia masih tidak bisa membayangkan bagaimana Victor berhasil mengumpulkan uang sebanyak itu untuk membeli cincin tersebut. Saat itulah dia teringat tentang Victor yang memiliki dua rekening bank. Selama ini Victor hanya menggunakan salah satunya saja. Tapi Emma tidak pernah terlalu memperhatikan yang satunya lagi, karena dia yakin
Bukannya dia tidak bisa menjual cincin itu sama sekali. Hanya saja pemilik toko enggan untuk membeli kembali barang tersebut, karena dia agak ragu dengan sosok Emma. Dia takut akan risiko membeli barang curian.“Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Saya khawatir Anda masih perlu membicarakan hal ini dengan suami Anda lagi. Dia satu-satunya yang bisa menjual barang ini kepada kami. Tapi saya pikir, suami Anda pun akan memaksa Anda untuk menerima hadiah tersebut,” kata pemilik toko.Emma semakin tidak sabar, dan memaksakan diri agar pemilik toko membeli kembali cincin tersebut.“Tidak bisakah Anda membuat ulang dokumen appraisal itu? Saya bersedia menurunkan harga lebih banyak lagi untuk kompensasi atas proses apa pun yang baru saja Anda sampaikan kepada saya,” pintanya sedikit memaksa.Pemilik toko menyipitkan matanya dengan tatapan curiga. Kini ia memang mulai meragukan kesaksian Emma sebagai istri Victor, dan kecurigaannya bahwa cincin itu baru saja dicuri semakin kuat.“Maaf, Nyonya