Share

008 - Kapten Amatir

Tentu Oliver tahu kalau Victor pasti tak senang dengan itu. Tapi dia kemudian menepuk bahunya lagi dengan tersenyum enteng, sebelum benar-benar meninggalkan kamar kecil tersebut.

  

“Sampai jumpa lagi,” ucapnya.

  

“Tentu saja!” balas Victor dengan nada penuh percaya diri.

  

Laki-laki itu kembali terkekeh mendapat balasan seperti itu dari Victor, merasa sangat puas karena berhasil mengejek dan merendahkannya.

  

Dia bahkan mulai memikirkan ide untuk mengejek Victor lagi, nanti saat mereka bertemu lagi, karena dia yakin Victor bekerja di perusahaan itu hanya sebagai seorang office boy yang bisa dia suruh-suruh.

  

Victor tidak begitu tersinggung dengan kata-kata nasihat dari Oliver, karena nasihatnya itu benar. Meski begitu, dia masih sedikit tersinggung dengan cara Oliver mengusapkan tangannya yang basah ke bahunya.

  

Setelah ia selesai bermain-main dengan hand dryer itu, Victor segera menelpon Viona untuk menanyakan arah.

  

[Naik saja lift dan pergi ke lantai paling atas]

  

“Lantai paling atas?”

  

[Ya, lantai 23. Aku akan menunggumu di depan lift]

  

Victor mulai mencari lift. Ia belum terlalu paham dengan kondisi kantor tersebut karena ini adalah kunjungan pertamanya, meski dia sudah cukup familiar dengan nama perusahaan ini.

  

Sampai kemudian seorang penjaga keamanan menunjukkan jalan untuknya. Tapi dia harus menunggu beberapa saat, mengingat gedung tersebut memiliki 23 lantai, mungkin akan memakan waktu lama untuk menunggu liftnya datang.

  

Ada juga dua orang pegawai wanita yang muncul dan menunggu di sana bersamanya. Dan kemudian…

  

“Ting!”

  

Satu lift terbuka dan tidak ada satu pun orang di dalamnya. Victor memasuki lift bersama dua karyawan wanita tersebut.

  

Tepat sebelum pintu lift tertutup, satu orang pegawai wanita lain berlari ke arah mereka. Dia tampak kesulitan membawa beberapa dokumen di pelukannya.

  

“Tunggu! Tolong tahan pintunya!” gadis itu meminta.

  

Victor mendengar tawa geli dari dua pegawai wanita di depannya. Dan salah satu dari mereka bahkan menekan tombol untuk menutup pintu lift.

  

“Hey, apa yang kamu lakukan?” Victor mencegah mereka, dan menahan pintu.

  

“Cih! Dasar perusak suasana! Apakah kamu baru di sini?” tanya salah satu dari gadis itu, berambut kuning pucat bak Barbie, tapi dengan potongan pendek sebahu dengan model bergelombang mirip seperti rambutnya Madonna.

  

“Ya!” jawab Victor singkat dengan tetap menahan pintu.

  

Pegawai wanita yang sedang membawa tumpukan dokumen itu tampak begitu lega bisa masuk ke dalam lift bersama mereka. Dia bergegas masuk ke dalam lift dan berdiri di belakang dua karyawan wanita sebelumnya.

  

“Hey, Abbey! Bisakah kamu membantuku? Aku hendak ke lantai 11,” kata wanita itu, terlihat dia kesulitan menggunakan tangannya sendiri karena tumpukan dokumen yang dia bawa.

  

Namun wanita berambut kuning pucat bernama Abbey itu hanya menekan tombol lantai 16, lalu mundur dan terlihat tidak mau membantu gadis itu.

  

Victor segera melangkah maju dan menekan tombol lantai 11. Kedua pegawai wanita yang di depan itu saling melirik nampak kesal dengan Victor.

  

“Hei, orang baru. Apakah kau juga ingin ke lantai 11?” tanya salah seorang dari mereka yang berambut panjang kecokelatan.

  

Victor melirik sekilas ke tanda pengenal wanita yang saat ini sedang menanyainya. Dan di sana dia menemukan nama Sarah Campbell. Sedangkan satu lagi, si wanita berambut kuning pucat memiliki tanda pengenal dengan nama Abigail Collins.

  

“Tidak, saya ingin ke lantai 23,” jawab Victor.

  

Lagi-lagi kedua pegawai wanita itu saling melirik dengan kening berkerut.

  

“Eh, anak baru! Maaf ya!” kata si gadis bernama Abigail. “Lantai 23 itu hanya untuk para eksekutif perusahaan ini. Apakah kamu benar-benar tahu kemana tujuanmu?”

  

Sepertinya kedua pegawai wanita ini kesulitan menerima seorang pria seperti Victor untuk memiliki urusan apa pun di lantai 23. Toh Victor hanya memakai kemeja putih yang berantakan. Bahkan penampilannya masih agak semrawut. Parahnya, dia tidak mandi sama sekali saat keluar rumah.

  

“Apakah kamu punya janji dengan seseorang?” gadis bernama Sarah menyela.

  

“Benar. Ada seseorang yang menungguku di sana,” jawab Victor tersenyum ramah.

  

Keduanya tampak begitu ragu dengan jawaban Victor. Mereka mulai menginterogasinya, mengira dia hanyalah orang luar yang mempunyai niat buruk di perusahaan tersebut.

  

Tentu saja, Victor berusaha menjelaskan. Namun dia tak begitu percaya diri sok berkata kalau dia akan jadi pemimpin di perusahaan ini.

  

Masalahnya, dia sendiri masih agak sulit menerima rencana tersebut, karena sudah lima tahun lebih menjadi pengantar pizza, dan sama sekali belum punya pengalaman bekerja di sebuah kantor besar seperti Counterbrand. Dia yakin, ayahnya saat ini masih sedang menguji dirinya, apa pun itu ujiannya.

  

“Tidak, aku tidak berbohong. Aku memang punya janji dengan seseorang di sana,” jelas Victor.

  

“Dengan siapa?” tanya Abbey

  

“Seorang gadis bernama Viona,” kata Victor.

  

“Viona? Maksudmu Viona Emery?”

  

Victor mengangguk dengan jelas. Baru kemudian kedua gadis itu berhenti bertanya padanya. Namun mereka masih terlihat sulit mempercayai pernyataan Victor bahwa dia akan bertemu dengan Viona yang merupakan salah satu eksekutif perusahaan.

  

Bahkan ketika mereka keluar dari lift, Victor masih mendengar bisikan mereka. Meski pelan, Victor tahu pasti bahwa mereka masih membicarakan dirinya.

  

Sesampainya di lantai 23, Viona sudah menunggunya dengan tatapan dingin dengan menyilangkan kedua lengan di dadanya.

  

“Kenapa lama sekali?”

  

“Maaf! Aku baru saja ketemu teman lama di kamar kecil.”

  

“Teman?”

  

“Tak tahu juga apa dia seorang teman atau bukan. Kebetulan saja aku mengenalnya karena dari universitas yang sama,” jelas Victor.

  

Setelah itu Viona tak berkata apa-apa lagi dan langsung mengarahkan Victor menuju sebuah ruangan.

  

Ruangannya cukup luas seperti sebuah apartement mewah, dengan beberapa ruangan lain di dalamnya. Terdapat juga ruang terbuka hijau seperti balkon. Tempat itu lebih terlihat seperti hunian mewah daripada sebuah kantor.

  

Dan juga terdapat ruang pertemuan, di mana sudah ada beberapa pejabat Counterbrand yang menunggu kedatangan pimpinan baru perusahaan.

  

Viona berhenti sesaat sebelum masuk ke ruangan rapat, seperti ingin mengingatkan Victor akan sesuatu.

  

“Tolong jangan berkata apa-apa nanti sebelum aku memintamu untuk bicara,” katanya.

  

“Lho kenapa? Jangan bilang kalau ayahku menempatkanku di sini hanya sebagai boneka?” balas Victor beretorika.

  

“Aku sudah bilang padamu. Aku bukan lagi pengasuhmu. Tapi tolong, kita tidak punya cukup waktu untuk membicarakan hal itu saat ini!” jawab Viona sebelum membuka pintu.

  

Semua mata tertuju pada mereka bahkan sebelum mereka memasuki ruangan. Karena hanya ada dinding kaca yang memisahkan ruangan itu dengan ruang utama.

  

Wajah orang-orang itu terlihat tak bersemangat saat menyadari kedatangan Viona dan Victor. Jelas sekali mereka sudah sangat lelah dan bosan karena sudah menunggu begitu lama.

  

Semua orang di ruangan itu tidak mengenali Victor sama sekali, dan menatapnya dengan rasa ingin tahu. Tentu saja reaksi mereka berubah saat Viona memperkenalkan Victor kepada mereka sebagai CEO baru.

  

Viona bermaksud bercerita banyak tentang segala pencapaian besar dan rekam jejak Victor selama ini. Namun kenyataannya, hampir tidak ada yang bisa dia katakan mengenai hal itu.

  

“Lulus dari Purdue University dengan catatan tidak ada yang istimewa, kecuali pengalamannya menjalankan tugas keliling kota mengantarkan pizza selama 5 tahun. Tapi mulai sekarang, dia adalah Presiden di Counterbrand ini.”

  

Beberapa dari mereka tampak mampu menjaga ketenangannya sebagai profesional. Namun beberapa dari mereka mengerutkan kening. Beberapa juga menggelengkan kepala. Bahkan ada yang terang-terangan menyuarakan ketidaksenangannya.

  

“Hei, Viona! Apakah Anda sedang berstand-up comedy di sini?” tanya seorang pria.

  

“Apakah menurut Anda itu lucu, Tuan Liam?” balas Viona dingin. “Jika iya, Anda tidak perlu menahan tawa. Aku yakin dia tidak akan marah meskipun Anda menertawakannya.”

  

Tapi yang tertawa justru adalah seorang pria lain, pria bongsor bernama Morgan Camilo, berambut klimis hitam mengkilat model slick back seperti kebanyakan pebisnis kaya, yang saat ini duduk di barisan sebelah kanan Viona. Ia bahkan mengiringi tawanya dengan tepuk tangan yang berlebihan.

  

“Apakah ini lelucon dari Charles William? Hei, aku tidak menyia-nyiakan 5 tahunku di perusahaan ini hanya untuk menonton sirkusmu ini. Apa kau serius dengan semua ini, Viona?”

  

“Ya!” jawab Viona dengan tenang

  

Tiba-tiba pria itu mengangkat tangannya seperti ingin menggebrak meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status