"Benar Ji, kamu keren banget. Masih muda, karier cemerlang, tampan, berkharisma. Kalau Tante seusia kamu pasti sudah klepek-klepek terpesona. Hahaha, tentu banyak wanita cantik dan sukses di luar sana yang suka sama kamu."Ucapan Tante Santi terdengar sebagai pujian hebat untuk suamiku, sekaligus terasa sebagai 'teguran' untukku supaya aku sadar diri dan insecure, bahwa ada banyak perempuan yang lebih pantas untuk suamiku. Tapi tak apa, aku cuek. Sejak awal, pandangan Tante Santi sama sekali tidak mempengaruhi pikiran dan perasaanku.Namun, hal berbeda ditunjukkan suamiku. Dalam diamnya kini, aku membaca raut kemarahan di wajahnya.Dan benar.Usai meletakkan cangkir kosong yang sebelumnya diisi teh oleh Susan, Mas Aji melontarkan kalimat yang terdengar begitu sarkas."Tante Santi, lama tidak bertemu, aku lihat Tante semakin tua. Wajah Tante mulai dipenuhi kerutan. Jadi, alangkah baiknya jika Tante lebih bijak dalam berkata ataupun bersikap."Mas Aji menutup tuturannya dengan senyum pu
Setibanya kami di rumah, Mas Aji langsung duduk dan bersandar di sofa ruang tamu. Dia memejamkan mata dengan senyum yang terukir di wajah."Capek, Mas? Aku pijitin ya," ujarku.""Tidak usah, Sayang. Kamu pasti capek juga."Aku berjalan ke belakang sofa. Tanpa mengindahkan larangan Mas Aji, aku langsung memijat kepalanya. "Enak?""Hem, kamu memang ... luar biasa." Senyum Mas Aji semakin lebar.Dari otot-otot di pelipisnya yang berdenyut kuat, aku tahu Mas Aji sedang pening. Pikirku, mungkin dia lelah memikirkan sikap ibu dan adiknya."Mau aku buatkan teh hangat, Mas?"Mas Aji menggeleng dan menarik kedua tanganku hingga kini aku terlihat seperti memeluknya dari belakang. "Jangan pergi."Dahiku mengernyit. "Apa?""Berjanjilah, apa pun yang terjadi, jangan pernah pergi dariku.""Jangan berlebihan Mas, aku hanya akan ke dapur sebentar lalu kembali lagi. Apa yang membuatmu berpikir aku bisa meninggalkanmu lebih lama?"Mas Aji mengecup pipiku lembut. "Pokoknya jangan pernah berpikir untuk p
"Tapi apa, Sayang?""Entahlah, aku merasa ... Mama dan Mawar sengaja ingin mempermalukanku. Aku meminta kesempatan untuk membeli kado, tetapi Mama tidak mengizinkan. Katanya, kado darinya akan diatasnamakan dariku juga. Memang benar, itu dilakukan Mama. Tapi setelah semua orang merendahkanku. Mama bahkan memberikan kado atas nama kamu, Mas. Mengapa tidak memberikan kado itu padaku saja sehingga aku bisa menyelamatkan harga diri dengan kado itu? Untung saja, aku telah menyiapkan kado sebelumnya.""Retno, kenapa kamu berbicara seperti itu?""Mama, asal Mama dan Mawar tahu, sebenarnya aku hanya pura-pura belum membeli kado untuk melihat apakah mereka sudah berubah sepenuhnya atau belum. Ah, sudahlah, kalau Mas Aji mendengar lebih banyak cerita versi kacamataku sebagai 'korban' bully, kamu akan makin marah nanti."Mertua dan iparku menggertakkan gigi mendengar penuturanku. Mereka mungkin mengira perkataanku akan meringankan tuduhan yang diberikan Mas Aji. Enak saja! Sejak aku melihat vid
22. Gelagat Mencurigakan Retno berjingkat mendengar alarm yang ada di meja dekat bantal tempatnya berbaring berbunyi. Kedua pupilnya membesar melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam."Gawat! Aku kesiangan." Dengan hati-hati dia melepaskan tangan sang suami yang selalu mendekapnya sepanjang tidur. Namun, ketika dia telah berhasil duduk di pinggir ranjang selagi menguncir rambut dengan buru-buru, tangan suaminya kembali menahannya untuk beranjak."Sayang, mau ke mana? Tidur sini di sampingku.""Tidak, Mas. Aku kesiangan. Mama bisa marah besar kalau saat bangun tidak ada hidangan di meja makan.""Gampang. Nanti pesan makanan jadi saja. Sudah, tidur lagi sini."Retno mendengkus kesal atas celoteh sang suami yang masih setengah sadar dengan mata terpejam. Dia yang gemas ingin sekali menggigit tangan suaminya biar kapok dan terbangun seketika. Namun, jelas itu tidak mungkin. Alih-alih menggigit atau mencubit, Retno justru mengelus-elus rambut Aji supaya suaminya itu terlelap nyenyak la
Sontak saja reaksi perempuan itu membuat Aji mematung. Dia tentu tidak merasa begitu tenar hingga dirinya dikenal banyak orang. Kemudian dia pun berkata dengan terbata, "M-mbak ta-tahu nama saya?"Dari matanya, terlihat si perempuan menyunggingkan senyum. Dia lantas melepas maskernya. "Ya, jelaslah. Aku 'kan mantan kamu!" "Siska?!" Aji semakin terkejut melihat wajah perempuan yang duduk di jok belakang mobilnya ternyata adalah orang yang dulu pernah mengisi ruang di hatinya."Iya, ini aku, Siska, mantan kamu." Perempuan itu terbahak. "Gila aku, malu banget. Gosipin kamu ke kamu. Ya ampun! Malu banget rasanya. Pertemuan pertama setelah lama nggak ketemu kok gini banget sih Ji!"Aji menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sendiri tidak bisa membayangkan sebesar apa rasa malu yang menyerang mantannya itu. "Hehehe, dunia sempit ya, Sis. Kamu pulang sejak kapan?" "Banget. Aku pulang belum ada seminggu. Please kamu jangan ilfeel ya Ji. Duh, meski udah jalan ke mana-mana, mulutku ini seper
Aji menghela napas panjang sebelum tersenyum. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Siska. Tapi, aku pikir, lebih bijak kalau aku bekerja di tempat lain saja.""Kenapa? Kamu maunya kerja di perusahaan yang udah gede ya? Kalau gitu, kerja di perusahaan papaku saja. Aku akan minta ke papa kalau kamu mau."Aji melambaikan tangannya sambil tersenyum kikuk. "Bukan, bukan, bukan seperti itu. Sebenarnya ...." Dia menggaruk kepalanya, bingung memilih kata-kata yang pas untuk menyampaikan isi hatinya."Sebenarnya?" Siska mencondongkan tubuhnya ke depan menanti kata berikutnya dari Aji. "Apa Aji? Kamu ngomong aja nggak usah sungkan," imbuhnya lantaran Aji tidak lekas bicara juga.Sebuah napas kabur dari mulut Aji, seolah hal yang hendak dia katakan memang sulit untuk disampaikan."Siska, sebelumnya aku minta maaf. Aku harap apa yang akan aku katakan ini tidak membuatmu tersinggung."Siska menelan ludah. Karena tidak memiliki gambaran tentang apa yang sebenarnya ingin dikatakan mantannya itu, di
Aku sedang duduk manis di depan laptop, menjalankan hobi yang telah menjadi pekerjaan menyenangkan, menulis novel. Sesekali aku menyeruput kopi hitam untuk melancarkan ide yang berkembang dan berjubel di kepalaku. Entahlah, tapi mencium aroma dari asap kopi saja bisa membuatku tersenyum."Selesai juga!" Aku tersenyum lebih lebar setelah mampu menyelesaikan bab yang kutulis sejak tadi. Kuregangkan punggung yang kaku sebelum meletakkannya dengan perlahan ke sandaran kursi. "Alhamdulillah ..." ucapku sambil memejamkan mata. Namun, baru sejenak mata ini tertutup, aku berjingkat bangkit dan duduk tegak kembali untuk melihat jam di layar laptop. "Udah jam setengah tiga aja! Pantes mataku perih. Ternyata udah berjam-jam melototin lepi. Keasyikan nulis sampe lupa WA Mas Aji."Dengan tangkas tanganku meraih ponsel yang berada tidak jauh dari laptop. Sejak pagi tadi aku belum mengirim pesan pada suamiku.Biasanya, aku selalu rajin menanyakan keadaan Mas Aji. Dan pertanyaan yang tidak pernah
Pukul setengah empat sore Mas Aji telah pulang. Wajahnya tampak cemas dan langsung menemui Mama di kamar. Sementara aku, aku berusaha keras menahan mulutku untuk tidak mengatakan segala sesuatu yang mengusik hati."Mama, kenapa bisa seperti ini?"Mertuaku menghela napas panjang. "Mama syok dengar kabar dari adikmu," jawab mertuaku yang masih terbaring di atas tempat tidur. Lima belas menit lalu dia baru siuman.Mas Aji melihat ke arahku, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Lantas dia kembali menatap ibunya. "Mawar di mana, Ma?" Mungkin Mas Aji bermaksud menanyakan apa yang dikatakan Mawar hingga membuat ibunya pingsan."Retno bilang dia keluar dari kamar Mama tadi setelah dokter pergi. Mungkin adikmu istirahat di kamarnya..""Istirahat? Bisa-bisanya.""Sudahlah Mas. Yang terpenting sekarang Mama sudah membaik.""Iya kamu benar. Alhamdulilah Mama sudah sadar. Sekarang Mama gimana rasanya? Ada yang sakit?"Mertuaku menggeleng. Matanya berkaca saat bertanya, "Aji, apa benar kamu sekarang