Tenggorokan Retno seperti tercekat saat memutar video sang mertua mengolok-olok dirinya dalam acara keluarga suaminya. Parahnya, video itu dia lihat melalui grup WhatsApp keluarga suaminya yang diunggah adik iparnya dengan kalimat 'Suara hati mertua yang tersakiti'. Segala fitnah yang diucapkan mertuanya mendapat simpati dari para anggota keluarga sang suami. Hingga kemudian mereka serempak menghujat Retno dengan ujaran kebencian yang melampaui batas. Apa yang akan dilakukan Retno atas penghinaan secara terbuka dan berjamaah itu?
Lihat lebih banyakAsher’s POV
The cursor on my screen blinked impatiently, mocking my inability to focus. Three deadlines, two urgent emails, and one boyfriend who acted like I was a stranger. Welcome to my life, the glamorous world of Falls Magazine. "Damn it," I muttered, rubbing my eyes. The office had emptied hours ago. Only the hum of the air conditioning and the occasional ping from my laptop kept me company. The New York skyline glittered beyond the floor-to-ceiling windows, a beautiful view I barely noticed anymore. All I could see was the red notification bubble on our latest cover mock-up. Xander's face stared back at me from the screen. Those ocean blue eyes that once melted my heart now only reminded me of arctic ice. Cold. Distant. Unyielding. I reached for my coffee cup, finding only cold dregs at the bottom. A perfect metaphor for my relationship. My finger hovered over my phone. Was calling him a mistake? Probably. Did I care? Not anymore. After twelve months of loving someone who barely acknowledged my existence outside of work, my dignity had taken a permanent vacation. I tapped his contact and waited, my heart hammering against my ribs. One ring. Two rings. Three. "What do you want this time?" His voice cut through the line, sharp as a blade. No hello. No warmth. Just irritation, as if I'd interrupted something important. I swallowed the lump in my throat. "Hey, I was wondering if we could meet up tonight?" I tried to keep my voice casual, like I wasn't begging for scraps of attention from my own boyfriend. "What for?" Xander asked, the sound of voices and music in the background. Another party I hadn't been invited to. "I thought we could talk. About us." My voice cracked on the last word, betraying me. "We can talk over the phone. I'm busy." I gripped the edge of my desk. "Xander, I haven't seen you outside of work in two weeks. Don't you think that's a problem?" "We see each other every day at the office," he said flatly. "Is that not enough for you?" The dismissal hurt worse than outright anger would have. "It's not the same and you know it." "You're being selfish, Asher." His voice turned colder, if that was even possible. "You're trying to monopolize me like I'm some item you purchased. I have a life outside of you." The words hit like a physical blow. Selfish? For wanting to spend time with the person who supposedly loved me? "That's not fair and you know it," I whispered. "I miss you. I miss us." Silence stretched between us, populated by the sound of laughter in the background of his call. "I have to go," he said finally. "The layouts better be ready by morning." The call ended before I could respond. Just like that, from boyfriend to boss in the span of a conversation. I stared at my phone, the screen turning dark, reflecting my own stunned face back at me. Something hot and wet slid down my cheek, and I realized I was crying. Great. Crying at work. Again. The tears came freely now that I wasn't fighting them anymore. They splashed onto my keyboard as I tried to focus on the layouts again. Who was I kidding? The first few months with Xander had been cautious but promising. He'd been reserved but attentive, his cool exterior occasionally giving way to moments of genuine connection. But over time, those moments had become rarer, the ice forming layer by layer until I could barely recognize the man I'd fallen for. What had changed? What had I done wrong? I wiped my eyes with the back of my hand and forced myself to finish the work. Another hour passed as I meticulously checked every caption, every crop mark, every headline. Falls Magazine had a reputation to uphold, and Tasher Fauler, CEO of Falls Magazine, wouldn't accept anything less than perfection, especially when her son graced the cover. By the time I finished, my eyes burned and my back ached from hunching over the computer. The office was silent except for the gentle whir of the air conditioning. I packed my laptop and glanced one last time at the cover preview. Xander stared back at me, his perfectly sculpted face set in that trademark smoldering gaze that had launched a thousand magazine sales. The headline read: "The Man Behind the Face: Xander Fauler Reveals All." I snorted. If only they knew there was nothing to reveal. The real Xander was locked away behind walls I couldn't penetrate. The elevator ride to the ground floor felt eternal. My reflection in the polished metal doors showed a man I barely recognized. Dark circles underlined my eyes, and my coffee-brown hair stuck up at odd angles from running my hands through it in frustration. I paused at an intersection, waiting for the light to change. Above me, a billboard displayed yet another ad featuring Xander for some luxury watch brand. His face looked down on the city, those blue eyes following me everywhere. The train arrived with a screech of metal on metal. I boarded and found a seat easily. As the doors closed and the train lurched forward, I gazed out the window at the tunnel walls rushing by. I stared at them almost certain that they could grant me my most desired wishes. If there was ever anytime I needed to be heard it was now. "I wish you could see me," I whispered, picturing Xander's face. "Really see me. I wish you could love me the way I love you." The train rocked gently as it carried me home, the rhythm almost soothing. I closed my eyes again, feeling the weight of unshed tears behind my eyelids. "I wish you weren't so cold," I murmured, so quietly that no one could hear. "Just once, I want to know what it would be like if you truly loved me back." Little did I know, some wishes come at a terrible price.Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen