Bab 8
Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.
Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya.
"Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.
Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.
Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya.
"Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.
Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.
Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga. Aku selalu di samping Seli untuk menguatkannya.
Malam pertama kami tak ada artinya untukku. Aku memikirkan istriku di rumah. Tapi, aku kasihan pada Seli yang masih menangis di tempat tidur. Aku terus menghiburnya dan menceritakan momen lama kami, sehingga aku teringat lagi masa-masa bersama Seli.
"Terima kasih, Radit. Entah jika tidak ada kamu. Aku pasti sangat terpuruk." Seli memelukku malam itu. Hingga akhirnya kami tertidur dengan saling berpelukan.
***
Pagi-pagi sekali saat aku akan kembali ke Bogor.
"Radit, aku ikut kamu ke Bogor, ya! Aku kan sudah menikah denganmu. Kalau tetap di sini, aku pasti ingat terus pada Angga." Pernyataan Seli membuatku tersadar, aku sudah menikahinya dan aku harus bertanggung jawab terhadap kehidupannya juga.
"Radit, gimana?"
"Eh, iya. Iya, kamu di Bogor saja. Nanti aku carikan kontrakan untukmu."
"Baiklah, hari ini kita minta izin dulu pada orang tuaku, ya."
"Iya."
Setelah berbicara dengan kedua orang tua Seli, mereka mengizinkan Seli ikut denganku. Kami bersiap menuju Bogor. Wajah Seli terlihat semringah, berbeda saat kemarin kehilangan Angga.
***
Sesampainya di Bogor, kulihat wajah Kania berbeda dari biasanya. Aku curiga ia telah mengetahui pernikahanku dari Lia. Aku sengaja tak menceritakannya dulu saat membawa Seli ke rumah.
Aku meminta izin padanya untuk mengantar Seli mencari kontrakan. Setelah diberi pengertian, ia menerimanya. Kania memang istri yang baik, aku sangat beruntung memilikinya.
"Radit, antar aku dulu ke rumah saudaraku, ya!"
"Jangan sekarang, kita kan mau cari kontrakan," kataku pada Seli.
"Setelah dari sana saja, ya!"
"Ya sudah."
Aku menurutinya, ternyata di rumah saudaranya sangat lama. Aku dan Seli dijamu sedemikian rupa, karena kami pengantin baru.
Setelah itu kami baru mencari kontrakan, ternyata sulit mencari yang dimau Seli. Ia mau rumah yang besar. Tak mau kalau hanya kontrakan berpetak.
Dapatlah kontrakan dekat dengan tokoku, jaraknya lumayan dekat. Seli pun setuju di rumah ini.
Kami langsung membersihkannya, membeli yang bisa dibeli saat itu. Hingga kami kecapean bersama.
"Radit, kamu nginep di sini saja, ya. Bilang saja pada Kania, malam ini jatahku."
Iya juga, lagian udah malam. Aku pun menurutinya dan menghubungi Kania malam itu.
Seli merayuku, ia minta malam pertamanya denganku. Sebagai seorang suami, akhirnya aku memenuhi permintaan Seli.
***
"Radit, mulai saat ini, aku akan memanggilmu dengan sebutan Aa, kamu panggil aku Neng ya!" katanya.
"I-iya." Aku gugup saat menjawabnya.
"Aa ada apa? Mulai sekarang Neng akan cinta sama Aa seorang. Aa sudah jadi pengganti almarhum Angga yang sama-sama Neng cintai. Makasih ya, A!"
"Seli, kamu sekarang istriku. Kamu harus selalu jujur dan menurut padaku, jangan ada yang ditutupi," kataku pagi itu.
"Iya, A. Aku akan jujur, terbuka dan menurut padamu dengan semua yang terjadi padaku, A!"
"Baiklah, kamu memang istri yang baik. Terima kasih, ya," aku mengacak pucuk kepalanya.
Aku takkan melepaskan Kania, aku sangat mencintainya, tapi aku juga bahagia bisa bersama dengan Seli saat ini. Keduanya memiliki arti penting bagiku. Semoga aku bisa menjadi suami yang adil bagi keduanya.
Bersambung
Bersambung
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund
Bab 10Rencana nanti akan kucek perputaran modal di bagian keuangan.Saat bergumam sendiri, tiba-tiba ingat kalau sekarang sudah awal bulan."Mas, mana gajimu bulan ini?" Pagi-pagi di awal bulan aku sudah bertanya mengenai gaji bulanannya."Sebentar ku transfer, ya!" Katanya sambil duduk di sampingku.Dia mentransfer gaji yang didapatnya sebagai pimpinan toko. Lalu aku mengecek m-bankingku.Aku memicingkan mataku ketika melihat angka yang tertera di m-bankingku."Aku dapat segini, Mas?Jangan dikurangi banyak gini dong, Mas! Harusnya Mas cari saja tambahan lain buat nafkahin Seli, bukannya memotong jatahku." Aku kecewa dibuatnya."Maaf, Dek. Kan tau sendiri, kemarin sudah terpakai buat sewa rumah dan beli isi rumah. Aku pinjam sebagian ke toko, makanya sekarang tinggal sisanya." "Duh, Mas. Pokoknya bulan depan jatahku harus sama. Nggak boleh dikurangi. Kalau buat Seli, pakai saja jatahmu. Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku dan anakku, Mas!""Kamu nggak memikirkanku?""Masih, ha
Aku kenal suara yang datang. Ternyata Ibu Mertua yang datang. Dia datang sendiri diantar sopir. Ibu mertuaku kaya, suka sombong, tapi pelit. Makanya Mas Radit selalu nampak sederhana. Tak pernah menggunakan uang darinya.Orang tua Seli pun dulu tak percaya kalau Radit anak orang kaya, karena penampilan dia selalu sederhana. Taunya Angga yang kaya, sehingga hubungan mereka tak direstui."Assalamualaikum. Radit, Kania. Aku datang ini." Ibu Mertua selalu terlihat rempong."Iya, Bu. Sebentar." Radit membukakan pintu untuknya."Owalah kamu, Nak. Lama sekali bukanya. Mana Kania menantu Ibu yang cantik dan baik hati?" "Ini, Bu. Ibu gimana kabarnya, sehat?""Alhamdulillah sehat. Kamu gimana kehamilanmu?""Alhamdulillah sehat juga, Bu."Terlihat ibu sejak datang tak menyapa Mas Radit. Dia malah mencariku. Entah apa yang dipikirannya.Bu Rani, nama Ibunya Mas Radit. Sekarang Ibu duduk di sebelahku. Dia mengelus kandunganku. "Duh, ibu sudah nggak sabar nunggu kelahiran bayi ini. Mudah-mudahan
"Kamu sakit kepala gara-gara Ibuku kan?"Aku mengangguk. Mas Radit memelukku. "Maaf ya, Sayang. Ibuku memang gitu selalu saklek. Nanti kucoba komunikasikan lagi padanya.""Baik, Mas." Aku menyetujuinya."Sekalian Mas mau bilang pada Ibu kalau Mas sudah menikah lagi. Takutnya Ibu tau dari orang, nanti malah marah padaku.""Ya udah, Mas. Gimana baiknya saja." Aku setuju.Kuberharap Ibu Mertua menolak pernikahan kedua suamiku.***Malam ini, kami sedang bercengkrama di ruang TV. Mas Radit akan memulai percakapan serius dengan Ibunya."Bu, maaf Radit mau jujur sama Ibu.""Ada apa, Nak?""Radit sudah menikah lagi, Bu."Ibu yang terlihat sudah mengantuk, tiba-tiba matanya terbuka lebar kembali. Ia memandang anaknya dengan tatapan tak percaya."Kenapa bisa seperti itu? Ibu nggak setuju! Dimana muka ibu simpan nanti kalau orang-orang tau anak Ibu poligami?"Radit menelan salivanya. Ia gugup untuk melanjutkan bicaranya, tapi ia mengumpulkan semua kekuatannya."Bu, poligami yang Radit lakukan
Siang ini, Ibu Mertua mengajakku ke rumah Seli. Lalu aku mengantarnya ke sana. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam, walau sama-sama Bogor, tapi perjalanan dari Kota ke Kabupaten cukup jauh.Di sini, Bu rumahnya. Yang cat warna kuning itu." Aku menunjuk salah satu rumah tak jauh dari kami. "Eh, udah ada mobil Mas Radit. Kok jam segini sudah pulang aja dari toko?" Aku melihat jam yang masih menunjukkan pukul dua siang."Keterlaluan ya Radit! Memangnya tokonya dekat dari sini, Kania?"Iyaa, dekat. Mungkin Mas Radit langsung ke sini.""Yuk, kita turun!" ajak Ibu.Ibu Mertua membukakan pintu mobilku untuk segera turun. Sebenarnya aku tak mau berurusan dengan Seli, apalagi ada Mas Radit di sana, mereka pasti sedang bermesraan. Tapi berhubung Ibu memaksaku, aku ikut mengetuk rumahnya."Assalamualaikum." Kami mengucapkan salam di depan, tak ada jawaban."Sepertinya di dalam, suamimu sedang bercanda dengan perempuan itu," sahut Ibu sambil memasang kuping di tembok rumah Seli.Kami pun mencoba
"Mas, kamu tega menceritakan semua pada Seli. Apa maksudmu menceritakannya pada dia? Kamu puas, Mas?" Aku bicara pada Mas Radit yang memperlihatkan wajah marahnya.Aku melihat ke arah ibu."Bu, Kania tak bermaksud membohongi Ibu. Ini semua rencana Mas Radit. Kemarin saat ibu bertanya, Kania sudah mau menjawab jujur kalau hasil USG anak kami perempuan. Tapi, Mas Radit yang meyakinkan Ibu kalau anak kami laki-laki. Maafkan Kania, ya, Bu!"Ibu masih diam mematung. Aku menghampirinya, lalu berjongkok di hadapan Ibu. Ibu tetap bergeming."Jika memang Ibu tak mau menerima anakku sebagai cucu, maka mulai saat ini aku akan mengajukan cerai padamu, Mas! Bolehkah?"Mas Radit mengambil kedua tanganku untuk berdiri. Aku tak mau, tetap berjongkok, meminta maaf pada Ibu agar Ia memaafkanku.Kemudian posisi kami sejajar, ia menatapku dalam. Aku pun demikian."Tidak, aku takkan pernah menceraikanmu!"Aku tak terima, aku pun berlari ke luar. Mas Radit belum bisa mengejarku. Ia harus berpakaian dulu. S
"Bang Haris." Aku memanggilnya. "Iya, Kania. Ini aku. Selamat ya, anakmu cantik. Aku sudah lihat tadi di ruang bayi. Ini kubawakan buah-buahan untukmu biar cepat sehat." Bang Haris menyimpan buah-buahannya di atas nakas."Terima kasih, Bang. Nggak usah repot-repot.""Aku bersalah padamu. Maaf aku tak lihat-lihat saat itu." Bang Haris menarik kursi untuk ia duduki di samping ranjang."Iya, Bang. Nggak apa-apa. Sudah semestinya terjadi." Kukatakan apa yang ada dalam pikiranku saat ini.Bang Haris seperti mencari sesuatu. Matanya menyapu ke semua sudut ruangan."Kenapa, Bang?" Aku bertanya karena penasaran dengan sikapnya. Ia mencari apa kira-kira?"Suamimu mana, Kania?" tanyanya. Ternyata ia mencari Mas Radit. Mungkin ia kasihan padaku saat ini."Nggak tau, Bang. Mungkin sedang keluar," jawabku."Kamu sedih? Harusnya senang karena mendapat seorang putri yang cantik." Bang Haris berceloteh.Aku mengulas senyum. Tak mungkin kuceritakan kalau aku tak bahagia. Bisa-bisa orang tuaku tau dar
Kemudian kuambil gawai itu. Ternyata panggilan dari Seli. Kubuka pesan di aplikasi hijau.[Aa cepat. Aku sudah nggak sabar menunggumu. Jadi kan kita ke toko Mas?]Jadi mereka janjian akan ke toko Mas? Aku skroll pesan sampai ke bawah. Ternyata Seli minta dibelikan pengganti mas kawin. [Saat akad kemarin kan Aa hanya memberikan uang tunai seratus ribu rupiah. Aku ingin tambahan mas kawin.][Mau dibeliin apa, Sayang?][Seperangkat perhiasan emas. Kalung, cincin dan anting, Aa Sayang.][Banyak amat, Neng?][Sebanyak cinta Neng buat Aa. Jadi Aa pun harus ngasih banyak buat Neng.][Tapi nanti ya Neng, Kania harus pulang dulu sekarang.][Pokoknya Aa janji, setelah mengantar Kania pulang, Aa harus ajak Neng ke toko mas. Neng selama ini belum minta macem-macem ke Aa. Tapi Aa udah Neng kasih semua.][Iya deh, Neng. Aa bakal bahagiain Neng seperti Aa bahagiain Kania. Kalian berdua sama-sama berharga di hati Aa.][Iya, A. Neng percaya. Ditunggu ya, A. Neng cinta sama Aa.]Sungguh, Seli sudah ke