Bab 7
POV Radit
Seli muntah lagi, semalam dia juga muntah. Tapi memang saat ku mengerik punggungnya, warnanya menjadi merah. Berarti dia memang masuk angin, karena memang perjalanan Bandung-Bogor memang melelahkan.
"Dia masuk angin, Dek. Mas tau karena semalam dia juga muntah," kataku.
Tak lama Seli datang, dia menyambung pernyataanku.
"Iya, Mas Radit mengerik punggungku. Lihat saja sendiri hasilnya, Kania." Seli memperlihatkan punggungnya pada Kania. Aku tak sempat melarangnya, takutnya Kania cemburu lagi.
Kania melihatku dengan sorot matanya yang tajam, matanya membulat. Tapi ia tak mau mengatakan apapun saat ini.
"Seli, katanya kamu sudah masak. Mana masakanmu? Kita makan bareng saja," ucapku.
"A, kok panggilnya nama? Katanya mau panggil Neng," timpal Seli padaku.
'Duh, Seli kenapa sih. Banyak tingkah saat ada Kania,' batinku.
"Eh, iya. Aku lupa soalnya udah terbiasa panggil nama, jadi aku butuh adaptasi," ucapku sambil membawanya ke belakang.
Di dapur aku menegurnya agar tak banyak tingkah di depan Kania.
"Kasian Kania sedang hamil, dia jangan dibebankan pikiran yang aneh-aneh!" Aku menasehati istri keduaku ini.
"Iya, Aa. Maaf."
"Ya sudah. Sini aku bantu, apa yang mesti ku bawa?" Aku menawarkan bantuan padanya.
"Sudah siap semua di meja makan," katanya.
"Oke. Oya sini kamu, Neng. Galonnya kamu buka dulu, lalu angkat saja langsung." Aku membimbingnya memasang galon, tapi belum kuangkat galon itu. Biar Seli yang mencoba mengangkatnya.
"Aku yang angkat?"
"Iya," jawabku.
Seli mengangkatnya, tapi dia kehilangan keseimbangan. Akhirnya dia terjatuh, menindihku yang ada di depannya. Airnya tumpah, ruangan menjadi becek. Kami basah semua.
Saat posisi aku seolah bermesraan dengan Seli, Kania datang. Ia langsung menjerit dan meninggalkan dapur. Ia lari, aku mengejarnya.
"Kania, tunggu! Kamu salah paham. Tunggu aku, jangan lari, kasian bayi kita," cegahku melihatnya berlari lumayan kencang.
Aku dapat menangkapnya. Matanya sudah basah, aku menghapus air mata istriku.
"Maaf, Sayang. Kamu salah pengertian. Tadi saat kuajarkan Seli pasang galon, ia kehilangan keseimbangan saat mengangkatnya. Lalu menubrukku, Kania."
"Aku nggak apa-apa, Mas. Aku mau pulang saja, takutnya aku mengganggu kalian," ucapnya.
Aku tetap memberi pengertian pada Kania, jangan terlalu membawa perasaan.
"Sayang, kamu nggak usah baper, ya! Itu hanya kecelakaan. Lihat saja di dapur, pasti becek semua. Seli pasti sedang mengepelnya." Aku meyakinkan Kania untuk kembali ke kontrakan Seli.
"Iya, Mas. Aku mengerti." Akhirnya Kania mau ikut denganku kembali.
Benar saja Seli sedang membersihkan air yang menggenang. Tapi perutnya kesakitan.
"Kamu sih nggak hati-hati, Neng! Kamu nggak apa-apa?" tanyaku.
"Nggak, A. Cuma sakit aja perutnya," kata Seli. "Kania, kamu kalau sudah laper, makan duluan aja!" Seli menyarankan pada Kania.
"Nggak ah, aku nunggu kamu aja," jawab Kania.
Aku menoleh pada Istriku yang memang sudah mengajakku makan sejak perjalanan ke sini.
"Dek, kita makan duluan saja. Biar Seli beres-beres dulu," ajakku pada Kania yang sepertinya ia menahan rasa laparnya. Aku tau kalau wanita berbadan dua pasti lebih cepat lapar.
"Iyaa, nggak apa-apa kalian duluan saja."
Sebenarnya kasihan juga Seli harus membersihkan sendiri. Aku tak tega juga melihatnya, tapi ada Kania, aku takut perhatianku jadi melukainya nanti. Biarlah Seli sibuk sendiri, nanti aku kan minta maaf padanya.
***
"Radit, kamu harus menikahi Seli! Aku hanya percaya padamu. Hanya kamu yang bisa membahagiakannya," ucap Angga saat memintaku menikah dengan mantan kekasihku dulu.
Aku sudah tak ada perasaan dengan Seli. Saat ini hanya mencintai Kania. Tapi, saat itu sangat darurat, hingga akhirnya aku menyetujui usul sahabatku itu.
Walau Angga dan Seli sudah mengkhianatiku dulu, akhirnya aku melepaskan Seli untuk Angga dan tetap berhubungan baik dengan keduanya. Menurutku, cinta tak bisa dipaksakan. Jika Seli memang lebih mencintai Angga, kenapa tidak?
Bab 8Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya."Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya."Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund
Bab 10Rencana nanti akan kucek perputaran modal di bagian keuangan.Saat bergumam sendiri, tiba-tiba ingat kalau sekarang sudah awal bulan."Mas, mana gajimu bulan ini?" Pagi-pagi di awal bulan aku sudah bertanya mengenai gaji bulanannya."Sebentar ku transfer, ya!" Katanya sambil duduk di sampingku.Dia mentransfer gaji yang didapatnya sebagai pimpinan toko. Lalu aku mengecek m-bankingku.Aku memicingkan mataku ketika melihat angka yang tertera di m-bankingku."Aku dapat segini, Mas?Jangan dikurangi banyak gini dong, Mas! Harusnya Mas cari saja tambahan lain buat nafkahin Seli, bukannya memotong jatahku." Aku kecewa dibuatnya."Maaf, Dek. Kan tau sendiri, kemarin sudah terpakai buat sewa rumah dan beli isi rumah. Aku pinjam sebagian ke toko, makanya sekarang tinggal sisanya." "Duh, Mas. Pokoknya bulan depan jatahku harus sama. Nggak boleh dikurangi. Kalau buat Seli, pakai saja jatahmu. Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku dan anakku, Mas!""Kamu nggak memikirkanku?""Masih, ha
Aku kenal suara yang datang. Ternyata Ibu Mertua yang datang. Dia datang sendiri diantar sopir. Ibu mertuaku kaya, suka sombong, tapi pelit. Makanya Mas Radit selalu nampak sederhana. Tak pernah menggunakan uang darinya.Orang tua Seli pun dulu tak percaya kalau Radit anak orang kaya, karena penampilan dia selalu sederhana. Taunya Angga yang kaya, sehingga hubungan mereka tak direstui."Assalamualaikum. Radit, Kania. Aku datang ini." Ibu Mertua selalu terlihat rempong."Iya, Bu. Sebentar." Radit membukakan pintu untuknya."Owalah kamu, Nak. Lama sekali bukanya. Mana Kania menantu Ibu yang cantik dan baik hati?" "Ini, Bu. Ibu gimana kabarnya, sehat?""Alhamdulillah sehat. Kamu gimana kehamilanmu?""Alhamdulillah sehat juga, Bu."Terlihat ibu sejak datang tak menyapa Mas Radit. Dia malah mencariku. Entah apa yang dipikirannya.Bu Rani, nama Ibunya Mas Radit. Sekarang Ibu duduk di sebelahku. Dia mengelus kandunganku. "Duh, ibu sudah nggak sabar nunggu kelahiran bayi ini. Mudah-mudahan
"Kamu sakit kepala gara-gara Ibuku kan?"Aku mengangguk. Mas Radit memelukku. "Maaf ya, Sayang. Ibuku memang gitu selalu saklek. Nanti kucoba komunikasikan lagi padanya.""Baik, Mas." Aku menyetujuinya."Sekalian Mas mau bilang pada Ibu kalau Mas sudah menikah lagi. Takutnya Ibu tau dari orang, nanti malah marah padaku.""Ya udah, Mas. Gimana baiknya saja." Aku setuju.Kuberharap Ibu Mertua menolak pernikahan kedua suamiku.***Malam ini, kami sedang bercengkrama di ruang TV. Mas Radit akan memulai percakapan serius dengan Ibunya."Bu, maaf Radit mau jujur sama Ibu.""Ada apa, Nak?""Radit sudah menikah lagi, Bu."Ibu yang terlihat sudah mengantuk, tiba-tiba matanya terbuka lebar kembali. Ia memandang anaknya dengan tatapan tak percaya."Kenapa bisa seperti itu? Ibu nggak setuju! Dimana muka ibu simpan nanti kalau orang-orang tau anak Ibu poligami?"Radit menelan salivanya. Ia gugup untuk melanjutkan bicaranya, tapi ia mengumpulkan semua kekuatannya."Bu, poligami yang Radit lakukan
Siang ini, Ibu Mertua mengajakku ke rumah Seli. Lalu aku mengantarnya ke sana. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam, walau sama-sama Bogor, tapi perjalanan dari Kota ke Kabupaten cukup jauh.Di sini, Bu rumahnya. Yang cat warna kuning itu." Aku menunjuk salah satu rumah tak jauh dari kami. "Eh, udah ada mobil Mas Radit. Kok jam segini sudah pulang aja dari toko?" Aku melihat jam yang masih menunjukkan pukul dua siang."Keterlaluan ya Radit! Memangnya tokonya dekat dari sini, Kania?"Iyaa, dekat. Mungkin Mas Radit langsung ke sini.""Yuk, kita turun!" ajak Ibu.Ibu Mertua membukakan pintu mobilku untuk segera turun. Sebenarnya aku tak mau berurusan dengan Seli, apalagi ada Mas Radit di sana, mereka pasti sedang bermesraan. Tapi berhubung Ibu memaksaku, aku ikut mengetuk rumahnya."Assalamualaikum." Kami mengucapkan salam di depan, tak ada jawaban."Sepertinya di dalam, suamimu sedang bercanda dengan perempuan itu," sahut Ibu sambil memasang kuping di tembok rumah Seli.Kami pun mencoba
"Mas, kamu tega menceritakan semua pada Seli. Apa maksudmu menceritakannya pada dia? Kamu puas, Mas?" Aku bicara pada Mas Radit yang memperlihatkan wajah marahnya.Aku melihat ke arah ibu."Bu, Kania tak bermaksud membohongi Ibu. Ini semua rencana Mas Radit. Kemarin saat ibu bertanya, Kania sudah mau menjawab jujur kalau hasil USG anak kami perempuan. Tapi, Mas Radit yang meyakinkan Ibu kalau anak kami laki-laki. Maafkan Kania, ya, Bu!"Ibu masih diam mematung. Aku menghampirinya, lalu berjongkok di hadapan Ibu. Ibu tetap bergeming."Jika memang Ibu tak mau menerima anakku sebagai cucu, maka mulai saat ini aku akan mengajukan cerai padamu, Mas! Bolehkah?"Mas Radit mengambil kedua tanganku untuk berdiri. Aku tak mau, tetap berjongkok, meminta maaf pada Ibu agar Ia memaafkanku.Kemudian posisi kami sejajar, ia menatapku dalam. Aku pun demikian."Tidak, aku takkan pernah menceraikanmu!"Aku tak terima, aku pun berlari ke luar. Mas Radit belum bisa mengejarku. Ia harus berpakaian dulu. S
"Bang Haris." Aku memanggilnya. "Iya, Kania. Ini aku. Selamat ya, anakmu cantik. Aku sudah lihat tadi di ruang bayi. Ini kubawakan buah-buahan untukmu biar cepat sehat." Bang Haris menyimpan buah-buahannya di atas nakas."Terima kasih, Bang. Nggak usah repot-repot.""Aku bersalah padamu. Maaf aku tak lihat-lihat saat itu." Bang Haris menarik kursi untuk ia duduki di samping ranjang."Iya, Bang. Nggak apa-apa. Sudah semestinya terjadi." Kukatakan apa yang ada dalam pikiranku saat ini.Bang Haris seperti mencari sesuatu. Matanya menyapu ke semua sudut ruangan."Kenapa, Bang?" Aku bertanya karena penasaran dengan sikapnya. Ia mencari apa kira-kira?"Suamimu mana, Kania?" tanyanya. Ternyata ia mencari Mas Radit. Mungkin ia kasihan padaku saat ini."Nggak tau, Bang. Mungkin sedang keluar," jawabku."Kamu sedih? Harusnya senang karena mendapat seorang putri yang cantik." Bang Haris berceloteh.Aku mengulas senyum. Tak mungkin kuceritakan kalau aku tak bahagia. Bisa-bisa orang tuaku tau dar