1
Sudah seminggu aku mondar-mandir mencari pekerjaan, tapi belum juga berhasil. Hampir semua tempat yang kudatangi tidak membutuhkan karyawan, malah mereka memberhentikan sebagian akibat wabah korona.
Sejenak melepas lelah, aku duduk di bawah pohon beringin di sebuah taman kota. Kedua kaki terasa begitu pegal usai berjalan puluhan kilometer. Belum lagi haus kian menyiksa tenggorokan ini. Namun, ada yang lebih berat yaitu tuntutan hidup. Bagaimanapun, aku harus mulai bekerja, sebab hari ini genap sebulan diriku ditinggal mati Ayah dan Ibu.
Kupandangi daun beringin yang jatuh berguguran di taman ini. Berserakan menutupi tanah sekitarnya. Angin datang mendayu, lalu menumpukkan dedaunan itu di satu titik.
Menit berselang ... sayup kudengar bunyi gamelan dimainkan dengan amat syahdu. Melenakan pendengaran juga merasuki kalbu.
Aku menguap ... terus menguap ... hingga kepala menempel sempurna di sandaran bangku taman. Kantuk ini sulit kulawan, semacam ada kekuatan aneh yang memaksaku untuk tidur. Belum lagi buaian angin serta alunan gamelan yang mendukung suasana. Tanpa sadar aku terlelap
"Arini ...." Sebentuk suara nan lembut menyapa di telinga.
Aku berusaha bangun, tapi sulit sekali. Kelopak mata ini terasa sangat berat, seperti memakai bulu mata berlapis-lapis saja.
"Arini ...." Suara itu kembali menyapa. Halus dan sopan bak wanita keraton.
Samar, kulihat seorang wanita duduk gemulai di ujung bangku. Rambutnya disanggul rapi dan memakai kebaya hijau berkilau. Di kepalanya, terselip kupluk kencana emas berukuran sedang.
Ia tersenyum kala aku terbata-bata, "Ka--ka--kamu siapa?"
Hening.
Senyumnya pudar, berganti menatap beku. Wajah mulusnya pun berangsur memucat bersamaan dengan bunyi gendang yang berubah nyaring. Menusuk pendengaran!
Aku meringis tertahan. Namun ia malah bergeser mendekatiku. Sumpah aku sangat gemetar tapi anehnya tubuh serasa terkunci. Tak mampu bergerak. Dengan terpaksa aku menyerah ... pasrah menghirup aroma bunga melati yang menguar dari tubuhnya.
"Jangan lupa datang," ucapnya seraya menyentuh tanganku. Seketika, terasa aliran energi mistis merayapi sekujur syaraf. Aku memekik tapi suaraku hanya menggema dalam rongga tubuh ini. Tak keluar sedikit pun di sela bibir. Aku tahu sebab orang-orang yang barusan lewat sama sekali tak menoleh saat kupanggil.
Ya, Allah ... apa aku terhipnotis? Siapa wanita jadul di sampingku ini? Mohon bantulah agar kudapati diriku kembali.
"Aarrgghhh!!!!" teriakku terkejut. Langsung bangkit dan lari berhamburan saat suara berhasil keluar.
Tatapan aneh orang-orang tertuju padaku. Membuatku bingung, apalagi saat sadar kalau wanita itu sudah menghilang. Pengalaman apa yang barusan kualami?
Baru saja hendak pulang, tapi tertegun menemukan secarik kertas di tanganku. Entah sejak kapan itu kugenggam.
Sepotong kertas yang lebih mirip brosur lowongan pekerjaan. Aku mengernyit, berusaha membaca apa yang tertulis di atasnya.
"VILA MELATI"
Jl. Mangunkusumo, no.13 Pasuruan.Membutuhkan karyawan untuk semua divisi.Ah, sontak aku meloncat kegirangan. Senang bukan main ternyata masih ada tempat yang membuka lowongan kerja. Alhamdulilah, besok aku akan melamar ke sana.
***
Pagi-pagi betul, aku telah selesai bersiap. Mengapit map lamaran pekerjaan sembari menunggu bus yang menuju Pasuruan. Tidak lupa, kubawa pula kertas brosur kemarin sebagai panduan alamat.
Situasi terminal tidaklah ramai, sebab PSBB masih berlaku. Aku membuka tas dan cepat mengambil masker ketika petugas terminal memulai razia social distancing. Siapa yang tak mengikuti aturan protokol, maka akan dikenai sanksi.
Satu jam kemudian, muncul juga bus yang ditunggu. Beberapa orang naik ke dalamnya lantas duduk berjarak-jarak. Aku berfokus ke arah depan saat bus melaju meninggalkan terminal. Tak ada percakapan antar sesama penumpang, hanya bola mata yang saling mewaspadai pergerakan tubuh orang lain. Jika lengah, korona bisa saja menjangkit.
Ngantuk berat mulai mendera kala bus mencapai kecepatan stabil. Angin sepoi-sepoi menyisir masuk lewat kaca bus, sukses melenakan semua penumpang.
Aku merasakan hal ganjil terjadi lagi. Seseorang yang tak asing, terpantul lewat kaca spion di atas kepala supir. Wanita berkebaya hijau dengan rambut disanggul membundar tinggi.
"Ka--ka--mu ...." Aku berucap ngeri, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Wanita itu ternyata duduk di bangku kosong di sampingku. Bangku bertanda X yang seharusnya tidak boleh diduduki karena aturan jaga jarak.
Di titik ini, aku pun sadar bahwa dia bukanlah manusia biasa. Bisa jadi siluman atau lelembut dari dimensi lain. Lalu untuk apa dia mengusikku?
Teringat penuturan mendiang Ayah, bahwa berkomunikasi dengan makhluk halus tidak harus lewat ucapan bibir, tapi juga melalui bahasa batin. Memberanikan ruh dalam diri kita untuk terkoneksi dengan mereka.
Kubiarkan ragaku dibuai kantuk sepenuhnya. Di sisi lain, aku sibuk memusatkan batin untuk menyapa wanita astral ini. Semakin batinku terfokus, semakin jelas wujud aslinya.
Dia adalah wanita anggun rupawan dengan badan setengah ular. Ekornya menjuntai, berkelok-kelok memenuhi isi bus. Sisik-sisiknya terbuat dari emas tulen.
"Maaf, kamu siapa?" batinku mencoba menegurnya.
Ia tersenyum penuh kharisma. Menatapku lekat, seakan ingin bicara sesuatu. Aku menanti gerak bibirnya, penasaran siapa gerangan dirinya sebenarnya.
Astafirullah! Kini ia mulai menyinden. Melantun untuk dirinya sendiri, dan tiap nadanya sukses membangkitkan buku kudukku.
Aku menikmati alunan syair-syair kuno yang ia dendangkan. Sesekali matanya mendelik tajam tapi tetap cantik. Jemarinya melakukan tarian-tarian kecil mengikuti lantunan suaranya.
"Neng!"
"Neng!"
"Bangun, ini uda nyampe!" Kernet menepuk-nepuk pundakku.
Aku kaget terbangun dan mendapati bus telah kosong. Semua penumpang sudah pada turun.
"Wah maaf ya, Bang! Aku ketiduran," ucapku lalu segera turun dan membayar ongkos.
"Emang mau ke mana? Neng baru pertama ke sini, 'kan?"
"Lha kok tahu?" ketusku sembari menerima uang kembalian.
Kernet itu tertawa santai, "Wong aku hapal wajah-wajah orang Pasuruan yang biasa mudik. Neng ini wajah baru loh."
"Iyaa, sebenernya aku mau ngelamar kerja di sini," jelasku sembari memperlihatkan kertas brosur di tangan.
"Wah wah, wong kota kok nyari kerjanya sampe ke ndeso sih?" Ia menyondongkan kepala, menengok kertas di tanganku.
Dahinya berkerut, matanya melebar, "Oh ... vila melati toh?"
"Betul, Bang. Aku mau ke sana. Bisa bantu panggilkan ojek gak?" Aku begitu gembira ternyata vila itu memang populer di sini.
"Bukannya vila tersebut udah lama ditutup, 'kan?" Ia menatap curiga.
"Kagaklah, Bang. Kalau udah tutup, ngapain mereka sebar brosur segala?" Aku meyakinkan si kernet atau lebih tepatnya meyakinkan diriku sendiri.
"Ya udah, aku panggilkan ojek ya, Neng." Si kernet berbalik dan melambaikan tangan ke arah pangkalan ojek di mana beberapa pria duduk di atas motor yang terparkir.
Seorang ojek dengan cepat menghidupkan motor dan menghampiriku.
"Antar ke sini ya, Bang!" Aku memperlihatkan alamat vila pada kertas brosur.
"Asiiapp, monggo naik, Neng!" Bang ojek memutar motornya dengan gesit.
Tanpa berpikir macam-macam, aku segera duduk dan mengucap terima kasih pada kernet yang entah apa terlihat sedih. "Makasih, Bang, udah membantu!"
Bab 32Berdasarkan struktur sosial masyarakat Jawa, keluargaku tergolong ningrat. Sudah menjadi tradisi turun temurun bagi kami untuk menyembah Nyi Roro Kidul. Kami memanggilnya dengan sebutan 'Ibu Ratu'.Beberapa ritual sering dilakukan seperti upacara sedekah laut, tarian Bedaya ketawang, ritual Satu Suro dan penyembahan Jumat Kliwon.Tari Bedaya Ketawang adalah favoritku. Di situ aku menjadi penari yang diberkahi. Saat tarian berlangsung, aku dirasuki ruh Nyi Roro Kidul. Lewat ragaku ia menyampaikan berbagai pesan pada masyarakat.Terobsesi pada sosok Nyi Roro Kidul, kuputuskan melakukan ritual khusus yaitu berpuasa dan bersemedi agar bisa berjumpa langsung dengannya. Senang sekali, dia akhirnya berkenan muncul. Orang lain tentu akan meminta keberhasilan karir, tapi aku beda. Aku bertanya, dengan cara apa aku bisa mengabdi padanya. Ia lalu menyuruhku membangun sebuah vila dengan ketentuan yang ditetapkannya. Bahwa vila itu haruslah berada di puncak, bergaya keraton dan menjadi te
Bab 31Nyi Roro Kidul duduk santai di kursi kebesaran. Aku dan seorang dayang mengipasi tubuhnya menggunakan kipas berukuran besar. Dua dayang lainnya sibuk memijat kaki si wanita iblis. Walau telah menjadi dayang dalam istana gaib ini, hati mengkhawatirkan tubuhku yang tergeletak di loteng rumah. Bagaimana jika Hektor tidak menemukanku? Terbengkalai sudah jasadku itu.Nyi Roro Kidul menyuruh kami berganti tugas. Dari mengipasi beralih memijati, begitu sebaliknya. Aku bersujud lalu memijati betis Nyi Roro Kidul, tapi jiwaku sungguh tak tenang. Dalam dilema jiwa ini, kumendengar suatu lantunan lagu rohani. Semacam puji-pujian kepada Tuhan. Kemudian terdengar suara laki-laki memanjatkan doa.Aku seperti terhisap, lalu hilang dari hadapan Nyi Roro Kidul. Sempat kudengar bagaimana Nyi Roro Kidul memekik keras. Memintaku agar kembali, sayangnya kekuatan yang menarikku jauh lebih kuat.Aku muncul di halaman rumahku. Banyak orang sedang berkumpul termasuk tetangga dan keluarga besarku. Apa
Bab 30Dua jam kemudian, aku kembali ke rumah Arini bersama Pastor pembimbing rohaniku. Dibantu oleh para tetangga, Ayah telah menurunkan Arini dari loteng. Ia dipindahkan ke sofa ruang tamu. Lukisan, peti perhiasan dan keris perjanjian juga diturunkan. Bahkan semua benda yang berkaitan dengan penyembahan, telah dikumpulkan. Pastor mendoakan Arini untuk membersihkan kutuk iblis yang mengikatnya. Setelah itu menumpangkan tangan ke seluruh benda yang sebentar akan dikembalikan ke laut selatan. Bertujuan mematahkan kuasa kegelapan yang bersemayam di dalam benda itu."Pastor, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya salah satu tetangga usai berdoa. "Kami sudah curiga kalau Pak Karman dulunya menyembah Nyi Roro Kidul," terangnya sembari bergidik menatap lukisan-lukisan Nyi Roro Kidul yang nampak seram. "Arini ini melanjutkan penyembahan yang dulu dilakukan Bapaknya. Namun bukan atas kemauannya. Dia bertindak dibawah kendali perempuan iblis Nyi Roro Kidul. Tuhan mengasihi Arini dan ingin meny
Bab 29Pernah dengar istilah 'dosa keturunan'? Terkadang kesalahan yang kita lakukan, bukan sepenuhnya milik kita tapi melanjutkan apa yang sudah ada.Aku, Hektor Aleksander. Dengan terpaksa, pernah melanjutkan asmara gaib yang sebelumnya terjalin antara Ayahku dan Nyi Roro Kidul. Tumbuh menjadi pemuda tampan tidak selalu menyenangkan. Ketampananku membuat Nyi Roro Kidul dimabuk kepayang. Ia melepaskan Ayahku, lalu berganti menginginkan diriku. Menentang pun sama saja! Toh aku seperti terhipnotis dan berada di bawah kendali wanita iblis itu. Dia kerap muncul di saat tak terduga. Mengintipku layaknya wanita sedang jatuh cinta. Aktivitas mandi, mengenakan pakaian dan tidur merupakan hal yang disukai Nyi Roro Kidul dari diriku. Menurutku dia tak bisa memilah, yang mana cinta dan yang mana nafsu. Hari paling nahas sekaligus titik balik, terjadi di suatu malam keramat yang sering disebut Malam Satu Suro. Di bawah kendali mistisnya, aku dituntun menuju sebuah vila di daerah Pasuruan. A
Bab 28Aku melangkah menyusuri lorong kecil yang diapit tembok tinggi pertokoan. Lumut hijau tumbuh subur di beberapa bagian dinding. Lorong ini cukup panjang hingga tersambung ke sebuah area sempit di mana terdapat tiga buah rumah. Termasuk rumahku. Rumahku terbilang sederhana, padahal Ayah menyembah Nyi Roro Kidul semasa hidup. Seharusnya kami sukses dan kaya raya seperti para pengikut lain. Mungkin Ayah kurang bijak atau aku salah menilai.Dengan rasa yang sulit dijelaskan, aku memutar gagang pintu. Mendorongnya pelan, hingga nampak jelas isi dalam rumah. Tak ada yang berubah, tetap rapi kecuali debu menempel di sana sini. Melangkah masuk, pertama kuletakkan tas di atas meja kemudian mencolek debuh oleh telunjuk. Sangat tebal, jadi kuputuskan untuk langsung mengepel tanpa menyapu agar debu tak beterbangan. ***Asyik mengepel, hal yang kutakutkan muncul. Terdengar suara tangis yang menyayat hati. Amat pilu bahkan cenderung seram. Aku berusaha bangkit, lalu bersandar pada dinding
Bab 27Sabtu.Matahari belum terbit saat Ndoro Putri mendatangi mess karyawan. Kicauan burung-burung di ranting pepohonan menyamarkan bunyi langkahnya.Wajah muram. Bola matanya berkeliaran tak tentu arah. Seperti ada yang tak beres. Kututup kembali gorden jendela yang kusibak saat mengamati kedatangannya. "Sugeng enjing, tulung kumpul. Ono sing pengin tak omongno." Suaranya menggema sempurna di beranda mess.Terdengar pintu-pintu kamar berdecit dibuka. Kami keluar dengan ekspresi entah. Antara masih mengantuk dan rasa takut menghantui. Dalam hati bertanya, apa perhiasannya dicuri lagi atau bagaimana? Seharusnya Ndoro tak boleh mengganggu kami hingga besok. Ia sendiri yang mengatakan bahwa tubuh kami perlu dipulihkan selama beberapa hari, usai ritual meraga sukma kemarin."Maaf, mengganggu istirahat kalian. Apa kalian mendengar tangisan Nyi Roro Kidul?" tanyanya getir.Kami melongo keheranan lalu saling melempar tatapan. Satu per satu mengangkat bahu, kecuali Bang Kutut. "Beneran k