Share

Ndoro Putri

2

Lima belas menit perjalanan motor, membuatku gemetar karena cuaca Pasuruan yang terbilang dingin. Sialnya lagi aku lupa membawa jaket. Cuma bawa tiga pasang pakaian sebagai jaga-jaga sekiranya aku diterima dan langsung bekerja.

Ojek memasuki area perkebunan teh yang subur. Makin ke puncak makin terlihat vila yang dicari. 

Vila Melati adalah bangunan bergaya keraton dengan atap menggunakan tumpukan ilalang kering dan lantai berupa vernisan kayu jati. Sepintas terlihat seram, tapi pemandangan asrinya memang cocok sebagai tempat menenangkan diri dari kepenatan kota. Bahkan bagus untuk bermeditasi alam.

Memasuki gerbang vila, kulihat seorang wanita berpakaian ala penari tengah meliuk-liukan badannya di pinggir kolam pancuran. Ia seorang diri dengan wajah pucat pasi. Begitu serius menikmati lenggokan badannya, hingga tak menoleh saat motor kami lewat di sampingnya.

"Siapa nama penari tadi?" tanyaku pada Abang ojek saat berhenti tepat di halaman depan vila.

"Penari? Di mana, kok aku gak liat?!" Si Abang ojek tertawa bingung.

"Yang itu!" ucapku sembari menunjuk ke arah si penari.

Deg!

Ya, ampun ....

Aku terhenyak. Hampir tak percaya menyaksikan bagaimana si Penari berubah menjadi seekor ular besar, berwarna hijau mirip piton raksasa. 

Ular itu merayap cepat lalu berbelok masuk ke dalam kolam pancuran. Beberapa saat kemudian, ia tak terlihat lagi. Mungkin bersemayam di dasar kolam atau bisa jadi merupakan makhluk penunggu di vila ini.

"Kamu lihat ular barusan, 'kan?" tanyaku pada si Abang ojek yang kini nampak ketakutan.

"Iya, Neng," ucapnya gugup. "Eneng yakin mau ngelamar kerja di sini?" 

Aku terdiam sesaat. Pertanyaan si Abang ojek semacam cambuk bagiku. Vila ini pasti menyimpan hal gaib. Apa ini keputusan yang tepat? Akankah aku nyaman nantinya atau malah sebaliknya?

"Ah, aku yakin kok ngelamar di sini," jawabku datar. "Makasih uda mengantar, kembaliannya diambil aja." Kusodorkan selembar uang lima puluh ribu.

"Ya sudah, hati-hati ya, Neng. Jangan lupa banyak sembahyang." Si ojek memasukkan uang ke saku jaket. Memutar motornya,  ia lalu menarik full gass saat melewati kolam pancuran tadi. 

Astafirullah, sekarang aku sendirian di depan vila. Perasaanku sungguh tak nyaman. Bantulah aku ya, Allah. Aku cuma ingin bisa bekerja. Setidaknya cukup 'tuk membiayai diri sendiri, tapi melihat beranda vila ini, mengapa detak jantungku berpacu tak karuan?

Setelah menarik napas dalam-dalam, aku melangkah naik ke lobi vila. Di sana tampak sepi. Tak ada tamu yang duduk bersantai seperti vila lain pada umumnya.

Kumelangkah lebih jauh, mencari bagian resepsionis agar menyerahkan surat lamaranku. Biasanya akan ada meja khusus petugas yang menangani itu. Namun di sini berbeda, yang nampak di lobi hanyalah pot-pot berisikan tanaman melati, dipajang di setiap sudut. 

Aku akan berbelok ke sisi lain saat sebuah suara menyapa parau, "Kamu siapa?"

Glek!

Aku berbalik ke arah asal suara. Seorang wanita berseragam batik tersenyum ramah, menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Khas menyambut tamu.

"Aku, Arini," jawabku sopan.

"Ada yang bisa saya bantu?" Dia menatapku intens.

"Ah, kemarin aku menemukan selembar brosur. Apa benar di sini masih membutuhkan karyawan?"

Wanita di hadapanku sesaat bergeming. Tatapannya terkunci pada ujung sepatuku yang berwarna hijau dongker. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Selamat, kamu beruntung!" sahutnya kemudian. "Kamu memang diundang untuk bekerja di sini."

"Benarkah? Tapi aku membawakan berkas lamaran." 

"Tidak perlu," ucapnya sembari menebar pandangan ke sekeliling vila. "Mari ikut aku," ajaknya kemudian.

Aku mengikuti langkah-langkah gemulainya. Tidak sulit sebab aku pun seorang yang gemulai. Sejak di sekolah dasar, aku aktif dalam sanggar menari. Bahkan saat SMA sering memenangkan festival tarian tunggal.

Dia berhenti tepat di sebuah ruangan lalu menungguku beberapa detik di situ.

"Ayo," ujarnya diikuti menarik lembut tanganku. "Ini ruangan Ndoro Putri, pemilik Vila Melati. Bicaralah yang sopan dengannya. Aku akan kembali bekerja."

Aku mengangguk, lantas melangkah masuk seorang diri. Aroma bunga melati bercampur asap dupa, menebar di seantero ruangan. Seharusnya napas jadi sesak, tapi aku malah menyukainya. Kuhirup dalam-dalam dan badanku terasa lebih segar.

Terdapat lukisan kejawen kuno yang tergantung di beberapa bagian dinding. Aku terkagum. Sebab bagiku, seni kontemporer selalu mengandung estetika mistis yang mampu menembusi batin penikmatnya.

"Selamat siang, Ndoro Putri ...." Kucoba menyapa setelah tak menemukan siapa-siapa dalam ruangan ini.

"Kamukah itu, Arini?" Seorang wanita menyahut dari sudut yang remang. Kupicingkan mata agar dapat melihatnya. Ia nampak bangun dari duduk bersila di lantai, meraba-raba dinding lalu ruangan menjadi terang usai saklar ditekannya.

"Ya, aku Arini. Tapi aku belum memperkenalkan diri, bagaimana Ndoro bisa tahu namaku?" Kutatap wanita di hadapanku. Usianya mungkin sekitar 55 tahun. Memakai busana ala keraton dengan rambut disanggul membundar besar dan perhiasan emas memenuhi tubuhnya.

Di belakang meja kerjanya, terdapat sebuah lukisan berukuran 2×2 meter. Lukisan seorang wanita berkebaya hijau dengan badan setengah ular yang bertahta di atas gelombang lautan. Konon dialah penguasa laut selatan, tapi aku lupa namanya. Bisa jadi Nyi Roro Kidul atau Nyi Blorong?

"Arini, gak usah dipikir gimana aku tahu namamu. Kamu sudah memperoleh pekerjaan sekarang. Bekerjalah dengan baik." Suaranya begitu lembut tapi juga berkharisma.

"Kapan aku mulai bekerja, Ndoro?" tanyaku gembira tanpa merasa sungkan. 

"Sore ini sudah bisa.  Kamu akan tinggal di mess bersama semua karyawan karena vila ini jauh dari pemukiman. Sistem kerja di sini berupa pembagian shift."

"Baik, Ndoro. Tapi hanya tiga pasang pakaian yang kubawa. Bolehkah aku pulang sebentar untuk mengambil perlengkapan pribadi lainnya?"

"Pulang sebentar?" tanyanya dengan mata berubah aneh. Sepintas berkilat kekuningan mirip lensa reptil. Aku melangkah mundur lalu menundukkan wajah.

"Jangan sekarang, Arini. Lusa saja pas hari Minggu. Sekarang lagi banyak tamu sementara kami masih kekurangan tenaga," bujuknya pelan.

"Baik, Ndoro." Kuangkat wajah dan memberanikan diri menatap matanya. 

Matanya normal. Apakah yang kulihat sebelumnya hanyalah ilusi? Ah, hidupku memang penuh ilusi. Sedari kecil, banyak hal di luar nalar kerap menghantuiku. 

Jika ada tetangga meninggal, kulihat arwah mereka berkeliaran selama empat puluh hari. Mereka menyambangiku setelah menyadari bahwa hanya akulah yang peka akan keberadaan mereka. Arwah mereka tidaklah tenang, karena semasa hidup ada kepahitan yang belum terselesaikan. Semuanya tentang amarah, sakit hati, kekecewaan dan kebencian.

Hal yang paling sering kualami ialah memergoki jin tengah berganti wujud. Makhluk jelek bermata merah serta berekor panjang itu kerap menyerupai pria tampan yang ada dalam pikiran wanita. Jadi, jika kalian mengagumi aktor Korea dan bermimpi dicumbui oleh sang idola, maka waspadalah! Kalian ditipu oleh bangsa jin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status