Share

Kamar Nomor 13

3

Ndoro Putri mengantarku ke mess karyawan dengan berjalan kaki bersama. Letaknya dua ratus meter di belakang vila. Kami melewati sebuah kebun di mana terdapat danau yang cantik.  

Saking cantiknya, aku tak berhenti menengok ke danau tersebut. Air jernih dan ikan-ikan kecil melompat di permukaan. Lamat kutatap, kurasakan pikiran ini terhisap. Kupijat pelipis berkali-kali, berusaha menormalkan diri. Namun tak berhasil ... malah sesuatu yang lain terjadi. Ruhku merontak dan berusaha memisah dari raga ini. Ruhku ingin sekali masuk ke danau itu tapi ragaku tak menyetujuinya.

Ah, danau itu sepertinya bukan danau sungguhan. Sisi lainku melihat kalau airnya adalah ubin kaca yang berkepul uap. Sementara pada ujungnya, berdiri sebuah pintu megah. Berwarna keemasan dengan ukiran yang rumit.

Itu lebih mirip sebuah gerbang. 

Ya, gerbang menuju dimensi lain.

"Uhuk, uhuukk, uhuuk." Aku terbatuk tiba-tiba. Tenggorokanku serasa terhimpit. Seperti ada ular yang barusan melilit leherku. 

"Kamu kenapa?" Ndoro Putri menghentikan langkahnya. Mengamati diriku yang tak berhenti membatuk. Batuk kering yang menggeliatkan kerongkongan. 

"Tolong,  Ndoro. Ini gatel banget di tenggorokan," ucapku menggaruk leher. Wanita itu pun segera mendekatiku.

"Keluaarr!!" sentak Ndoro Putri sembari menepuk keras punggungku. Aku terpental ke depan bersamaan dengan memuntahkan lendir kehijauan. 

Ya ampun, malu sekali rasanya. Tak tunggu lama, aku langsung berjongkok, meraup tanah lalu menutup cairan dekil  itu.

"Bangun, Arini." Ndoro membantu menegakkan badanku. "Lain kali, pergunakanlah mata batinmu dengan baik. Kalau tidak, kamu bakal mencelakakan diri sendiri."

What?! Bagaimana dia tahu bahwa aku punya mata batin? Padahal aku sendiri belum paham tentang ilusi yang kerap kualami.

'Mata batin?' gumamku pada Ndoro Putri yang kini nampak mempercepat langkahnya. Aku terpaksa berlari kecil agar kami sejajar.

"Kamu belum tahu tentang mata batin?" tanyanya saat langkah kami bersisian. 

"Belum, Ndoro."

Ia mengulum senyum mendengar kepolosanku. Namun, senyum itu seperti bukan miliknya. Kudapati ada sosok lain yang tersenyum di balik raga Ndoro Putri.

"Huufftt ...." Aku menarik napas dan membuangnya kasar. Membingungkan! Bukankah barusan ilusiku bermain lagi? Terjadi di luar kendali dan melintas begitu cepat. 

"Barusan mata batinmu terbuka lagi, 'kan?" Dia bertanya datar.

"Apa? Apa Ndoro tahu yang saya alami?" tanyaku gemetar. 

"Sudahlah, Arini. Nanti kamu paham dengan sendirinya." Ia memegang lenganku. Terasa dingin. Seketika napasku lebih tenang dan mata ragaku kembali normal.  "Mess sudah dekat, istirahatlah sejenak karna kamu akan bertugas nanti malam." 

"Baik, Ndoro. Kalau gitu gausah antar sampai mess, nanti Ndoro capek," ucapku prihatin. "Berikan aku kunci kamarnya."

"Kamu gak pa pa kan? Bisa sendiri lah ya?" 

"Bisa, Ndoro. Jangan khawatir," tegasku sembari menatap mess yang sudah di depan mata.

"Ya wess, ini kuncinya. Kamar kamu yang di tengah, nomor tiga belas." Dia menyodorkan kunci berwarna keemasan. "Ndoro pamit kembali ke Vila, ya! Semua peralatan masak juga bahan makanan ada di dapur umum. Jangan sungkan."

"Baik, makasi banyak, Ndoro." Aku sedikit menunduk, memberi hormat pada wanita misterius pemilik vila ini. Ia membalas dengan tersenyum ramah.

Ndoro Putri berbalik lagi ke vila, sementara aku meneruskan langkah ke  mess karyawan. Rasa senang dan khawatir mendominasi diri ini. Senang mendapat pekerjaan, tapi juga khawatir apa yang akan terjadi. Ah, itulah hidup, di dalamnya setiap rasa sudah ditakarkan Sang Pencipta. Kita belum jadi manusia sempurna jika belum mengalami semua rasa. 

Saat tiba di mess, kutatap kunci di genggaman sebelum membuka pintu kamar. Kunci nomor 13. 

Jemariku gemetar, pikiran campur aduk. Sejenak bergumul, mungkinkah ini hanya kebetulan? Banyak yang bilang, tiga belas itu angka sial juga keramat. 

Fakta yang mendukung di mana banyak gedung perkantoran dan perhotelan tidak lagi memakai nomor 13. Mereka sengaja melupakannya dan langsung loncat ke angka 14. Bukan tidak beralasan, sebab banyak kisah telah terbukti. Tentang kematian misterius di kamar hotel bernomor 13. Tentang kesurupan masal dan teror mistis di lantai 13 berbagai perkantoran. 

Kini, pintu kamar di depan mata dan kunci sudah di genggamanku. Haruskah aku tinggal di dalamnya? Di kamar bernomor tiga belas ini?

"Hai ...," Seseorang menyapa saat aku tengah memasukkan kunci ke lubang pintu. Aku menoleh sebentar.

Dia wanita sekiranya seusiaku yang baru saja keluar dari kamarnya. Kamar bernomor 14, tepat di samping kamarku. Memakai seragam batik karyawan dengan riasan wajah yang masih segar, ia terlihat panik. Menilikku dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu meringis saat pandangannya beralih ke nomor 13 yang tertaut di pintu kamar.

"Hai," balasku. "Perkenalkan namaku Arini. Karyawan baru di Vila Melati."

"Selamat bergabung, Arini. Tapi, siapa yang memberimu kunci kamar itu?" tanyanya sembari menutup mulut dengan satu tangan.

"Ndoro Putri. Memangnya ada apa dengan kamar ini?" Aku menatapnya tajam.

"Tidak ada apa-apa. Hanya saja kamar itu telah lama ditutup. Konon katanya ...." Dia tidak meneruskan kalimat. Menunduk dan sibuk mengelap sepatunya dengan sepotong kain. 

"Aku berangkat kerja dulu, ya. Hari ini aku bertugas di shift siang," ucapnya setelah mengenakan kedua sepatu  lantas terburu-buru pergi. Sesekali ia menengok ke belakang, semacam khawatir jika kumasuki kamar ini.

Masa bodoh, yang penting dapat pekerjaan. Kalau semua hal harus ditakuti maka kapan suksesnya? Lebih baik sekarang aku istirahat agar sore nanti bisa semangat bertugas.

Kudorong pintu kamar hingga terbuka nyata. Tak ada penampakan mistis. Biasa saja, kecuali hawa pengap yang menguar karena lama tak terjadi pertukaran udara. Aku melangkah masuk. Menyimpan tas di atas meja, lalu membuka semua jendela.

Untuk beberapa saat lamanya, aku membersihkan debu dan menyapu lantai kamar hingga mengkilap. Tidak banyak perabot dalam kamar ini. Cuman satu set furniture, yang terdiri dari tempat tidur, meja kursi dan lemari. 

Baru saja selesai saat seorang karyawan pria mendatangiku. Berdiri di depan pintu, ia memikul galon air dan menenteng sebuah bungkusan. 

"Sugeng siang, Mbak Arini. Saya disuru Ndoro, nganterin air mineral dan seragam kerja buat Mbak." 

"Mangga pinarak, Bang." Aku mempersilahkannya masuk.

"Saya Satro, Mbak! Saya petugas keamanan komplek vila," ucapnya setelah menurunkan galon dari bahunya dan diletakkan di atas meja.

"Ya kadang-kadang saya merangkap juga, Mbak. Bantu-bantu Ndoro untuk urusan beginian." Dia tertawa kecil sembari mengulurkan bungkusan. Segera kubuka, isinya adalah setelan seragam kerja.

"Nggeh, matur nuwun, Bang!" 

(Baik, makasi, Bang!)

"Sami-sami, Mbak. Uda tugas saya kok." Dia menyilangkan tangan di depan paha. "Makan minum di sini bebas. Nanti Mbak pergi aja ke dapur umum. Di sana ada Mbok Inem. Dia yang masakin konsumsi tamu dan karyawan."

"Neng endi pawone, Bang?" 

(Di mana dapurnya, Bang?)

"Teng wengkeng sisih kiwa, Mbak." Dia keluar dari kamar dan menunjuk.

(Di paling ujung, sebelah kiri).

"Ya wes nanti pas laper saya ke sana." Aku tertawa kecil. Setelahnya Bang Satro pun berpamitan.

Mungkin baru tiga langkahnya berlalu, aku teringat sesuatu yang tadi ingin sekali kutanyakan. Tentang seberapa besar gaji karyawan di sini.

Aku menyusulnya keluar, sebab kuyakin dia belum jauh. "Bang Satro ...." panggilku cepat.

Deg! 

Tak ada siapa-siapa di luar sana. Bang Satro pun tak terlihat lagi. Secepat itukah langkahnya? Padahal belum ada lima detik. Aneh sekali.

Whusssss ....

Sss ... Sss ... Sss ...

Tiba-tiba sebuah bayangan melintas cepat di belakangku. Tepatnya dari dalam kamar. Desisannya terdengar jelas, mirip desis ular.

Aku mencari sumber suara. Kuperiksa sekitaran kamar, mulai dari kolong tempat tidur, balik pintu serta sisi lemari.

Nihil, tak kudapati apa pun. Mungkinkah hanya ilusi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status