3
Ndoro Putri mengantarku ke mess karyawan dengan berjalan kaki bersama. Letaknya dua ratus meter di belakang vila. Kami melewati sebuah kebun di mana terdapat danau yang cantik.
Saking cantiknya, aku tak berhenti menengok ke danau tersebut. Air jernih dan ikan-ikan kecil melompat di permukaan. Lamat kutatap, kurasakan pikiran ini terhisap. Kupijat pelipis berkali-kali, berusaha menormalkan diri. Namun tak berhasil ... malah sesuatu yang lain terjadi. Ruhku merontak dan berusaha memisah dari raga ini. Ruhku ingin sekali masuk ke danau itu tapi ragaku tak menyetujuinya.
Ah, danau itu sepertinya bukan danau sungguhan. Sisi lainku melihat kalau airnya adalah ubin kaca yang berkepul uap. Sementara pada ujungnya, berdiri sebuah pintu megah. Berwarna keemasan dengan ukiran yang rumit.
Itu lebih mirip sebuah gerbang.
Ya, gerbang menuju dimensi lain."Uhuk, uhuukk, uhuuk." Aku terbatuk tiba-tiba. Tenggorokanku serasa terhimpit. Seperti ada ular yang barusan melilit leherku.
"Kamu kenapa?" Ndoro Putri menghentikan langkahnya. Mengamati diriku yang tak berhenti membatuk. Batuk kering yang menggeliatkan kerongkongan.
"Tolong, Ndoro. Ini gatel banget di tenggorokan," ucapku menggaruk leher. Wanita itu pun segera mendekatiku.
"Keluaarr!!" sentak Ndoro Putri sembari menepuk keras punggungku. Aku terpental ke depan bersamaan dengan memuntahkan lendir kehijauan.
Ya ampun, malu sekali rasanya. Tak tunggu lama, aku langsung berjongkok, meraup tanah lalu menutup cairan dekil itu.
"Bangun, Arini." Ndoro membantu menegakkan badanku. "Lain kali, pergunakanlah mata batinmu dengan baik. Kalau tidak, kamu bakal mencelakakan diri sendiri."
What?! Bagaimana dia tahu bahwa aku punya mata batin? Padahal aku sendiri belum paham tentang ilusi yang kerap kualami.
'Mata batin?' gumamku pada Ndoro Putri yang kini nampak mempercepat langkahnya. Aku terpaksa berlari kecil agar kami sejajar.
"Kamu belum tahu tentang mata batin?" tanyanya saat langkah kami bersisian.
"Belum, Ndoro."
Ia mengulum senyum mendengar kepolosanku. Namun, senyum itu seperti bukan miliknya. Kudapati ada sosok lain yang tersenyum di balik raga Ndoro Putri.
"Huufftt ...." Aku menarik napas dan membuangnya kasar. Membingungkan! Bukankah barusan ilusiku bermain lagi? Terjadi di luar kendali dan melintas begitu cepat.
"Barusan mata batinmu terbuka lagi, 'kan?" Dia bertanya datar.
"Apa? Apa Ndoro tahu yang saya alami?" tanyaku gemetar.
"Sudahlah, Arini. Nanti kamu paham dengan sendirinya." Ia memegang lenganku. Terasa dingin. Seketika napasku lebih tenang dan mata ragaku kembali normal. "Mess sudah dekat, istirahatlah sejenak karna kamu akan bertugas nanti malam."
"Baik, Ndoro. Kalau gitu gausah antar sampai mess, nanti Ndoro capek," ucapku prihatin. "Berikan aku kunci kamarnya."
"Kamu gak pa pa kan? Bisa sendiri lah ya?"
"Bisa, Ndoro. Jangan khawatir," tegasku sembari menatap mess yang sudah di depan mata.
"Ya wess, ini kuncinya. Kamar kamu yang di tengah, nomor tiga belas." Dia menyodorkan kunci berwarna keemasan. "Ndoro pamit kembali ke Vila, ya! Semua peralatan masak juga bahan makanan ada di dapur umum. Jangan sungkan."
"Baik, makasi banyak, Ndoro." Aku sedikit menunduk, memberi hormat pada wanita misterius pemilik vila ini. Ia membalas dengan tersenyum ramah.
Ndoro Putri berbalik lagi ke vila, sementara aku meneruskan langkah ke mess karyawan. Rasa senang dan khawatir mendominasi diri ini. Senang mendapat pekerjaan, tapi juga khawatir apa yang akan terjadi. Ah, itulah hidup, di dalamnya setiap rasa sudah ditakarkan Sang Pencipta. Kita belum jadi manusia sempurna jika belum mengalami semua rasa.
Saat tiba di mess, kutatap kunci di genggaman sebelum membuka pintu kamar. Kunci nomor 13.
Jemariku gemetar, pikiran campur aduk. Sejenak bergumul, mungkinkah ini hanya kebetulan? Banyak yang bilang, tiga belas itu angka sial juga keramat.
Fakta yang mendukung di mana banyak gedung perkantoran dan perhotelan tidak lagi memakai nomor 13. Mereka sengaja melupakannya dan langsung loncat ke angka 14. Bukan tidak beralasan, sebab banyak kisah telah terbukti. Tentang kematian misterius di kamar hotel bernomor 13. Tentang kesurupan masal dan teror mistis di lantai 13 berbagai perkantoran.
Kini, pintu kamar di depan mata dan kunci sudah di genggamanku. Haruskah aku tinggal di dalamnya? Di kamar bernomor tiga belas ini?
"Hai ...," Seseorang menyapa saat aku tengah memasukkan kunci ke lubang pintu. Aku menoleh sebentar.
Dia wanita sekiranya seusiaku yang baru saja keluar dari kamarnya. Kamar bernomor 14, tepat di samping kamarku. Memakai seragam batik karyawan dengan riasan wajah yang masih segar, ia terlihat panik. Menilikku dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu meringis saat pandangannya beralih ke nomor 13 yang tertaut di pintu kamar.
"Hai," balasku. "Perkenalkan namaku Arini. Karyawan baru di Vila Melati."
"Selamat bergabung, Arini. Tapi, siapa yang memberimu kunci kamar itu?" tanyanya sembari menutup mulut dengan satu tangan.
"Ndoro Putri. Memangnya ada apa dengan kamar ini?" Aku menatapnya tajam.
"Tidak ada apa-apa. Hanya saja kamar itu telah lama ditutup. Konon katanya ...." Dia tidak meneruskan kalimat. Menunduk dan sibuk mengelap sepatunya dengan sepotong kain.
"Aku berangkat kerja dulu, ya. Hari ini aku bertugas di shift siang," ucapnya setelah mengenakan kedua sepatu lantas terburu-buru pergi. Sesekali ia menengok ke belakang, semacam khawatir jika kumasuki kamar ini.
Masa bodoh, yang penting dapat pekerjaan. Kalau semua hal harus ditakuti maka kapan suksesnya? Lebih baik sekarang aku istirahat agar sore nanti bisa semangat bertugas.
Kudorong pintu kamar hingga terbuka nyata. Tak ada penampakan mistis. Biasa saja, kecuali hawa pengap yang menguar karena lama tak terjadi pertukaran udara. Aku melangkah masuk. Menyimpan tas di atas meja, lalu membuka semua jendela.
Untuk beberapa saat lamanya, aku membersihkan debu dan menyapu lantai kamar hingga mengkilap. Tidak banyak perabot dalam kamar ini. Cuman satu set furniture, yang terdiri dari tempat tidur, meja kursi dan lemari.
Baru saja selesai saat seorang karyawan pria mendatangiku. Berdiri di depan pintu, ia memikul galon air dan menenteng sebuah bungkusan.
"Sugeng siang, Mbak Arini. Saya disuru Ndoro, nganterin air mineral dan seragam kerja buat Mbak."
"Mangga pinarak, Bang." Aku mempersilahkannya masuk.
"Saya Satro, Mbak! Saya petugas keamanan komplek vila," ucapnya setelah menurunkan galon dari bahunya dan diletakkan di atas meja.
"Ya kadang-kadang saya merangkap juga, Mbak. Bantu-bantu Ndoro untuk urusan beginian." Dia tertawa kecil sembari mengulurkan bungkusan. Segera kubuka, isinya adalah setelan seragam kerja.
"Nggeh, matur nuwun, Bang!"
(Baik, makasi, Bang!)"Sami-sami, Mbak. Uda tugas saya kok." Dia menyilangkan tangan di depan paha. "Makan minum di sini bebas. Nanti Mbak pergi aja ke dapur umum. Di sana ada Mbok Inem. Dia yang masakin konsumsi tamu dan karyawan."
"Neng endi pawone, Bang?"
(Di mana dapurnya, Bang?)"Teng wengkeng sisih kiwa, Mbak." Dia keluar dari kamar dan menunjuk.
(Di paling ujung, sebelah kiri)."Ya wes nanti pas laper saya ke sana." Aku tertawa kecil. Setelahnya Bang Satro pun berpamitan.
Mungkin baru tiga langkahnya berlalu, aku teringat sesuatu yang tadi ingin sekali kutanyakan. Tentang seberapa besar gaji karyawan di sini.
Aku menyusulnya keluar, sebab kuyakin dia belum jauh. "Bang Satro ...." panggilku cepat.
Deg!
Tak ada siapa-siapa di luar sana. Bang Satro pun tak terlihat lagi. Secepat itukah langkahnya? Padahal belum ada lima detik. Aneh sekali.Whusssss ....
Sss ... Sss ... Sss ...Tiba-tiba sebuah bayangan melintas cepat di belakangku. Tepatnya dari dalam kamar. Desisannya terdengar jelas, mirip desis ular.
Aku mencari sumber suara. Kuperiksa sekitaran kamar, mulai dari kolong tempat tidur, balik pintu serta sisi lemari.
Nihil, tak kudapati apa pun. Mungkinkah hanya ilusi?
Bab 32Berdasarkan struktur sosial masyarakat Jawa, keluargaku tergolong ningrat. Sudah menjadi tradisi turun temurun bagi kami untuk menyembah Nyi Roro Kidul. Kami memanggilnya dengan sebutan 'Ibu Ratu'.Beberapa ritual sering dilakukan seperti upacara sedekah laut, tarian Bedaya ketawang, ritual Satu Suro dan penyembahan Jumat Kliwon.Tari Bedaya Ketawang adalah favoritku. Di situ aku menjadi penari yang diberkahi. Saat tarian berlangsung, aku dirasuki ruh Nyi Roro Kidul. Lewat ragaku ia menyampaikan berbagai pesan pada masyarakat.Terobsesi pada sosok Nyi Roro Kidul, kuputuskan melakukan ritual khusus yaitu berpuasa dan bersemedi agar bisa berjumpa langsung dengannya. Senang sekali, dia akhirnya berkenan muncul. Orang lain tentu akan meminta keberhasilan karir, tapi aku beda. Aku bertanya, dengan cara apa aku bisa mengabdi padanya. Ia lalu menyuruhku membangun sebuah vila dengan ketentuan yang ditetapkannya. Bahwa vila itu haruslah berada di puncak, bergaya keraton dan menjadi te
Bab 31Nyi Roro Kidul duduk santai di kursi kebesaran. Aku dan seorang dayang mengipasi tubuhnya menggunakan kipas berukuran besar. Dua dayang lainnya sibuk memijat kaki si wanita iblis. Walau telah menjadi dayang dalam istana gaib ini, hati mengkhawatirkan tubuhku yang tergeletak di loteng rumah. Bagaimana jika Hektor tidak menemukanku? Terbengkalai sudah jasadku itu.Nyi Roro Kidul menyuruh kami berganti tugas. Dari mengipasi beralih memijati, begitu sebaliknya. Aku bersujud lalu memijati betis Nyi Roro Kidul, tapi jiwaku sungguh tak tenang. Dalam dilema jiwa ini, kumendengar suatu lantunan lagu rohani. Semacam puji-pujian kepada Tuhan. Kemudian terdengar suara laki-laki memanjatkan doa.Aku seperti terhisap, lalu hilang dari hadapan Nyi Roro Kidul. Sempat kudengar bagaimana Nyi Roro Kidul memekik keras. Memintaku agar kembali, sayangnya kekuatan yang menarikku jauh lebih kuat.Aku muncul di halaman rumahku. Banyak orang sedang berkumpul termasuk tetangga dan keluarga besarku. Apa
Bab 30Dua jam kemudian, aku kembali ke rumah Arini bersama Pastor pembimbing rohaniku. Dibantu oleh para tetangga, Ayah telah menurunkan Arini dari loteng. Ia dipindahkan ke sofa ruang tamu. Lukisan, peti perhiasan dan keris perjanjian juga diturunkan. Bahkan semua benda yang berkaitan dengan penyembahan, telah dikumpulkan. Pastor mendoakan Arini untuk membersihkan kutuk iblis yang mengikatnya. Setelah itu menumpangkan tangan ke seluruh benda yang sebentar akan dikembalikan ke laut selatan. Bertujuan mematahkan kuasa kegelapan yang bersemayam di dalam benda itu."Pastor, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya salah satu tetangga usai berdoa. "Kami sudah curiga kalau Pak Karman dulunya menyembah Nyi Roro Kidul," terangnya sembari bergidik menatap lukisan-lukisan Nyi Roro Kidul yang nampak seram. "Arini ini melanjutkan penyembahan yang dulu dilakukan Bapaknya. Namun bukan atas kemauannya. Dia bertindak dibawah kendali perempuan iblis Nyi Roro Kidul. Tuhan mengasihi Arini dan ingin meny
Bab 29Pernah dengar istilah 'dosa keturunan'? Terkadang kesalahan yang kita lakukan, bukan sepenuhnya milik kita tapi melanjutkan apa yang sudah ada.Aku, Hektor Aleksander. Dengan terpaksa, pernah melanjutkan asmara gaib yang sebelumnya terjalin antara Ayahku dan Nyi Roro Kidul. Tumbuh menjadi pemuda tampan tidak selalu menyenangkan. Ketampananku membuat Nyi Roro Kidul dimabuk kepayang. Ia melepaskan Ayahku, lalu berganti menginginkan diriku. Menentang pun sama saja! Toh aku seperti terhipnotis dan berada di bawah kendali wanita iblis itu. Dia kerap muncul di saat tak terduga. Mengintipku layaknya wanita sedang jatuh cinta. Aktivitas mandi, mengenakan pakaian dan tidur merupakan hal yang disukai Nyi Roro Kidul dari diriku. Menurutku dia tak bisa memilah, yang mana cinta dan yang mana nafsu. Hari paling nahas sekaligus titik balik, terjadi di suatu malam keramat yang sering disebut Malam Satu Suro. Di bawah kendali mistisnya, aku dituntun menuju sebuah vila di daerah Pasuruan. A
Bab 28Aku melangkah menyusuri lorong kecil yang diapit tembok tinggi pertokoan. Lumut hijau tumbuh subur di beberapa bagian dinding. Lorong ini cukup panjang hingga tersambung ke sebuah area sempit di mana terdapat tiga buah rumah. Termasuk rumahku. Rumahku terbilang sederhana, padahal Ayah menyembah Nyi Roro Kidul semasa hidup. Seharusnya kami sukses dan kaya raya seperti para pengikut lain. Mungkin Ayah kurang bijak atau aku salah menilai.Dengan rasa yang sulit dijelaskan, aku memutar gagang pintu. Mendorongnya pelan, hingga nampak jelas isi dalam rumah. Tak ada yang berubah, tetap rapi kecuali debu menempel di sana sini. Melangkah masuk, pertama kuletakkan tas di atas meja kemudian mencolek debuh oleh telunjuk. Sangat tebal, jadi kuputuskan untuk langsung mengepel tanpa menyapu agar debu tak beterbangan. ***Asyik mengepel, hal yang kutakutkan muncul. Terdengar suara tangis yang menyayat hati. Amat pilu bahkan cenderung seram. Aku berusaha bangkit, lalu bersandar pada dinding
Bab 27Sabtu.Matahari belum terbit saat Ndoro Putri mendatangi mess karyawan. Kicauan burung-burung di ranting pepohonan menyamarkan bunyi langkahnya.Wajah muram. Bola matanya berkeliaran tak tentu arah. Seperti ada yang tak beres. Kututup kembali gorden jendela yang kusibak saat mengamati kedatangannya. "Sugeng enjing, tulung kumpul. Ono sing pengin tak omongno." Suaranya menggema sempurna di beranda mess.Terdengar pintu-pintu kamar berdecit dibuka. Kami keluar dengan ekspresi entah. Antara masih mengantuk dan rasa takut menghantui. Dalam hati bertanya, apa perhiasannya dicuri lagi atau bagaimana? Seharusnya Ndoro tak boleh mengganggu kami hingga besok. Ia sendiri yang mengatakan bahwa tubuh kami perlu dipulihkan selama beberapa hari, usai ritual meraga sukma kemarin."Maaf, mengganggu istirahat kalian. Apa kalian mendengar tangisan Nyi Roro Kidul?" tanyanya getir.Kami melongo keheranan lalu saling melempar tatapan. Satu per satu mengangkat bahu, kecuali Bang Kutut. "Beneran k