Share

9. Bahagia

Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.

-Levin-

"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?"

"Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo."

"Lakukan apa pun yang  membuat lo bahagia."

Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.

Jika sedang tertawa lepas seperti itu, Levin tak terlihat menyeramkan, ia malah terlihat sangat tampan dan menggemaskan. Lihat saja, tanpa merasa malu Levin menggoyangkan pantatnya mengikuti goyangan badut mampang.

"Makasih, Bang." Levin melambaikan tangannya pada badut mampang setelah memberikan selembar uang seratus ribu. Ia menoleh pada Vio yang masih tertawa.

Levin terdiam, ia terpesona oleh tawa Vio. Matanya yang menyipit dengan pipi terangkat ke atas. Vio terlihat dua kali lipat lebih cantik.

"Cantik," gumam Levin.

"Ya?" Vio berhenti tertawa, menatap bingung Levin.

Levin yang sadar dari lamunannya, seketika menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salting, tapi dengan cepat Levin merubah sikapnya jadi seperti biasa. Ia duduk di samping Vio, memalingkan wajahnya menatap Vio.

"Gue baru tahu kalo lo bisa ketawa juga," kata Levin.

"Apa?" Vio berdehem, memalingkan wajahnya. Entah kenapa ia kembali merasa terintimidasi dengan tatapan Levin. Padahal cowok itu tidak menatapnya dengan tajam. "Bisalah, emangnya gue Limbad gak pernah ketawa."

Levin mendengus geli, merebahkan tubuhnya di atas rumput memandang langit yang penuh bintang. "Laper gak?" tanya Levin.

Vio menoleh, matanya terpaku pada wajah Levin yang terkena sinar lampu. Tentu saja Vio tidak menampik jika Levin tampan, tapi saat tenang seperti ini Levin terlihat jauh lebih tampan.

"Laper gak?"

Vio tersentak, matanya melotot karena Levin kini memiringkan tubuhnya. Menyangga kepalanya dengan sebelah tangan, cowok itu menatap Vio dengan ekspresi tak terbaca.

Vio merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya ia terpesona pada Levin dan sialnya malah kepergok. Bagaimana jika Levin berpikiran yang tidak-tidak? Bisa besar kepala dia?

"Laper gak?" ulang Levin, karena Viona tak kunjung memberikan jawaban.

Belum sempat Vio menjawab, perutnya lebih dulu bereaksi. Vio memejamkan matanya karena malu, sementara Levin mendengus geli. Pasti cowok itu tengah menahan tawa akibat suara perut Vio yang meraung seperti macan kelaparan.

"Ayo." Levin beranjak berdiri, mengulurkan tangannya ke depan Vio.

Vio mendongak, menatap Levin lalu beralih ke tangannya. Vio tampak ragu untuk menyambut tangan Levin. Menyadari hal itu, Levin langsung menarik tangan Vio. Sehingga tubuh Vio ikut terangkat berdiri. Vio hanya pasrah saat Levin menggenggam tangannya keluar dari taman dan berjalan  sepanjang trotoar.

Tanpa Vio tahu ke mana tujuan Levin.

Levin membawa Vio ke tempat kuliner malam yang tidak jauh dari taman. Di sana banyak berbagai stan makanan, baik lokal maupun luar negeri seperti makanan khas Korea yang banyak digemari.

"Mau apa?" tanya Levin, menolehkan kepalanya ke Vio.

"Apa aja," jawab Vio, matanya mengamati sekitar. Tempat ini sangat ramai dipenuhi pasangan muda mudi yang sedang malam mingguan.

"Nasi goreng mau?" Vio mengangguk, lalu keduanya berjalan ke penjual nasi goreng.

Tempat duduknya lesehan, sangat nyaman ditambah ada live musik dari penyanyi jalanan. Vio tampak antusias melihatnya, hingga ia terkesiap saat Levin meletakkan jaketnya di atas paha Vio.

"Biar gak dingin," kata Levin.

Vio hanya diam, memandang Levin. Setiap kali bersama Levin, Vio merasa ada sesuatu yang berbeda. Tapi Vio tidak tahu perasaan apa itu. Terkadang ia merasa takut juga nyaman di waktu yang bersamaan.

Malam semakin larut, Levin mengantarkan Vio dengan mengendarai motor kesayangannya. Setelah tiba di depan gerbang rumahnya, Vio segera turun. Ia melepaskan jaket Levin dan memberikannya pada cowok itu.

"Makasih," kata Vio.

Levin hanya mengangguk, mengambil jaketnya dan langsung memakainya karena udara malam ini cukup dingin.

"Orangtua lo kayanya belum pulang? Lo berani sendirian?" tanya Levin, memandang kediaman rumah Vio yang tampak sepi, untungnya listrik sudah menyala.

Vio mengangguk. "Lo bisa pergi sekarang."

"Ngusir nih?" sahut Levin.

"Bukan begitu, tapi———"

"Gue akan pergi kalau udah mastiin lo masuk ke dalem dengan aman," sela Levin.

Vio menghela napasnya, lalu mengangguk. "Gue masuk dulu."

Levin mengangguk, memandangi Vio sampai benar-benar masuk ke dalam. Setelah memastikan Vio masuk, Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Levin mengerutkan dahi saat melihat nama Reva di layar ponselnya.

"Halo," ucap Levin saat sambungan telepon diangkat. "Halo Rev, lo kenapa?" Levin tampak panik, mendengar suara Reva yang histeris dan ketakutan. "Oke, lo sharelok gue langsung meluncur ke sana." Levin bergegas memakai helmet, lalu menyalakan motor dan melajukannya dengan  kecepatan penuh.

—————————

Vio masih terjaga, ia tak bisa tidur karena memikirkan ucapan reporter tadi. Kata-kata reporter itu terus terngiang, memenuhi pikirannya. Vio berusaha untuk tidak peduli, tapi ia tidak bisa menyangkal perasaan sakit dan kecewa karena tidak diakui papanya sendiri.

Dadanya nyeri setiap kali Vio teringat fakta bahwa hanya Keyla yang diakui sebagai anak. Padahal Vio anak dari istri sah, bukankah harusnya Vio yang lebih berhak? Vio tak pernah marah saat papanya tak pernah ada untuknya, bahkan disaat hari ulang tahunnya sekalipun. Vio juga tidak menuntut papanya untuk selalu menyayanginya seperti dulu saat ia masih kecil. Tapi bolehkah Vio memohon untuk sebuah pengakuan?

Vio tidak suka ketika tatapan teman-teman Reva menatapnya dengan raut wajah kasian, Vio tidak ingin jika orang lain tahu akan kenyataan itu dan mengasihinya atau justru mencemooh dirinya. Vio tidak mau hal itu terjadi.

Suara mesin mobil mengalihkan  perhatian Vio, ia segera beranjak menuju balkon. Vio menatap ke bawah, di mana papanya baru saja pulang.

"Pa, besok-besok ajak aku lagi ya. Biar Keyla bisa ketemu Jefri Nichol kaya tadi," ucap Keyla setelah turun dari mobil.

"Iya, besok-besok kalau ada acara kaya tadi, papa ajak kamu."

Keyla langsung berseru kegirangan, ia berlarian masuk ke dalam sembari bersenandung. Vio tersenyum kecut melihat interaksi keduanya, bahkan  Vio bisa melihat senyum tulus yang ditunjukkan papanya. Hal yang tak pernah Vio dapatkan selama ini.

——————

Levin mengetatkan rahangnya, ia kini berada di rumah sakit. Suara tangisan Reva terus terdengar, keduanya duduk di kursi tunggu depan ruang operasi.

Levin bersumpah akan membuat pembalasan pada mereka semua. Tangannya terkepal erat, sorot matanya penuh dengan kebencian. Amarah Levin sudah mencuat ke ubun-ubun. Ia tidak terima jika sahabatnya diperlakukan seperti hewan.

"Vin."

Levin dan Reva menoleh, melihat kedatangan teman-temannya yang lain.

"Sam gimana?" tanya Arga.

"Masih di operasi," jawab Levin.

"Emang parah banget?" sahut Bagas.

Levin mengangguk, ia menoleh pada Bella dan Agata yang tengah menenangkan Reva. Baguslah mereka semua datang, jadi Levin bisa pergi.

"Lo semua temenin Reva, gue ada urusan bentar," kata Levin.

Arga dan Bagas mengangguk. Namun Reva menahan tangan Levin, hingga cowok itu berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Lo mau ke mana?" tanya Reva dengn suara bergetar karena menahan isakan. "Jangan ke sana," kata Reva saat tahu ke mana Levin akan pergi.

"Lo tenang aja, gue bakal bales perbuatan mereka. Kalau perlu lebih buruk dari yang mereka lakukan ke Sam," ucap Levin, melepaskan tangan Reva dari pergelangan tangannya.

"Kalau gitu gue ikut," kata Bagas.

"Gak perlu, lo di sini temenin mereka." Levin benar-benar pergi setelahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status