Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
Cowok aneh!
Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.
Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?
"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."
Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mereka kebanyakan senior tapi ada juga yang seangkatan dengannya. Wajah-wajah asing yang belum pernah Vio lihat, kecuali empat orang yang tengah melambaikan tangan padanya.
Bagas, Arga, Bella dan Agata. Hanya mereka yang melemparkan tatapan ramah pada Vio. Sementara yang lain memandang Vio penuh curiga.
"Reva." Suara bariton itu menginterupsi Vio dan Reva.
Vio seketika berbalik dan menemukan seorang cowok berdiri di dekat pintu penghubung antara ruang tengah dan dapur. Wajah cowok itu terlihat dingin dan terkesan tidak bersahabat, terutama saat kedua matanya tanpa sengaja bertemu dengan mata Vio.
Menyeramkan!
Satu kata untuk mendeskripsikan cowok itu.
"Lo gabung sama yang lain aja, gue mau nemuin si Hulk dulu. Dia suka bawel kalo liat gue bawa temen baru." Reva mengedipkan sebelah matanya sebelum berlalu menghampiri cowok tadi.
Vio menghela napasnya, ia mendekati gerombolan Bella. Vio merasa risih ketika banyak sorot mata yang terus menatapnya. Apa mereka pikir Vio alien? Kenapa mereka menatap Vio dengan tatapan aneh? Seolah dirinya mahluk langka.
"Santuy aja, mereka emang gitu. Ntar juga biasa kalo udah kenal," celetuk Bagas, sadar akan keresahan yang melanda Vio.
Vio hanya mengangguk, ia memilih diam dan duduk di sebelah Bella. Mereka sedang duduk di sofa panjang di depan televisi yang menyala.
"Bukannya itu Keyla?" celetuk Agata saat layar televisi tengah menampilkan acara tentang dunia bisnis dan kebetulan papanya yang menjadi narasumber.
"Jadi dia anaknya Dimas Raharja yang punya Raharja Group, Daebak!" seru Bella tampak tercengang, ia begitu fokus menatap layar televisi sampai tak berkedip.
"Makanya gue ngincer dia," sahut Bagas.
Mereka terus membicarakan hal itu, sementara Vio tidak peduli. Hingga suara Reva menginterupsi.
"Vi, gue cabut dulu ya. Lo di sini aja, jangan ke mana-mana. Oke," kata Reva, dia terlihat buru-buru.
"Mau ke mana?" tanya Vio.
"Jemput Sam. Pokoknya lo aman di sini tenang aja." Vio ingin protes tapi Reva keburu pergi. "Levin, gue titip Vio sama lo. Pokoknya gue gak mau Vio sampai kenapa-napa," ucap Reva ketika berpapasan dengan Levin di depan pintu.
Levin tak menyahut, ia melangkah masuk ke rumah mengabaikan Reva yang terus mewanti-wanti dirinya. Langkah Levin terhenti ketika pandangannya bertemu dengn sorot mata Viona. Sejenak keduanya saling bertatapan, sebelum akhirnya Vio memalingkan wajahnya lebih dulu.
"Jadi dia putri tunggal Pak Dimas yang akan mewarisi Rajawali Group?"
Suara di layar televisi sukses memancing perhatian Vio. Anak tunggal? Vio tersenyum kecut, Orang-orang hanya tahu Keyla anak papanya. Sementara dirinya ....
Vio memang tidak pernah terekspos media. Ia selalu menutup diri dari dunia luar, bahkan di sekolahnya Vio dianggap anak yatim piatu karena tak pernah membawa orangtuanya ke sekolah.
"Anak tunggal?" beo Bella. "Lah terus
...." Bella mengatupkan bibirnya saat Agata menyikut lengannnya. "Apaaan si?"Agata mendelik, matanya melirik Viona. Begitupun dengan Bagas dan Arga yang memberikan tatapan tajam pada Bella yang bermulut lemes. Bella membungkam mulutnya, sadar akan kesalahannya. Ia menoleh, hendak menyentuh bahu Vio tapi Vio sudah lebih dulu berdiri.
"Ke mana?" tanya Levin saat tiba di depannya.
"Pulang," jawab Vio.
"Bukannya rumah lo lagi ada pemadaman bergilir?"
Vio mengabaikan pertanyaan Levin, ia beranjak dari tempatnya. Melangkahkan kakinya menuju pintu, tapi tangan Levin lebih gesit. Levin menahan pergelangan tangan Vio, menghentikan langkahnya.
"Lepas!" hardik Vio, matanya menatap tajam Levin.
"Gak. Reva udah nitipin lo ke gue. Jadi lo dalam pengawasan gue sekarang," tukas Levin.
"Gue gak peduli. Lepas!!" Vio berontak, berusaha menarik tangannya dari cengkraman Levin. Vio bahkan tak peduli jika dirinya jadi pusat perhatian, banyak pasang mata yang menatapnya termasuk empat orang yang duduk di sofa.
"Lo si Bell, makanya tuh mulut dizakatin," gerutu Bagas dengan suara rendah seperti bisikan.
"Ya, gue gak tahu. Gue lupa kalo Viona saudara tiri Keyla," sahut Bella, wajahnya tampak sangat bersalah.
"Tapi gue heran, kenapa presenternya bilang Keyla anak tunggal. Terus bokapnya juga gak ngeralat ucapan tuh presenter," ucap Agata, membuat teman-temannya juga berpikiran sama.
Meski mereka memelankan suaranya, Vio masih bisa mendengar jelas yang mereka bicarakan. Hatinya semakin sesak, amarahnya meluap tak lagi bisa Vio bendung. Rasa benci yang semakin dalam menggerogoti hati, menumpuk rasa sakit akan luka yang tak pernah terobati.
Satu-satunya yang ingin Vio lakukan hanya lari, ia ingin lari dari kenyataan yang menyakitkan ini dan Vio merealisasikannya. Setelah menghempas tangan Levin sekuat tenaga, Vio langsung berlari keluar dari rumah mewah itu.
"Vio!!!" teriak Levin.
Levin tak bisa membiarkan Vio pergi dalam keadaan seperti itu. Entah apa yang membuat Levin mengejar Viona, tapi hati kecilnya terus merongrong setiap kali melihat wajah Vio yang murung.
Levin sendiri bingung dengan perasaanya, ia selalu menyangkal jika perasaannya hanya sekedar empati saja karena mereka memiliki nasib yang sama.
"Viona, berhenti!" Levin berhasil meraih tangan Vio, keduanya kini sudah berada di tepi jalan raya.
"Lepas!" teriak Vio, air matanya sudah luruh membasahi pipi. Vio memalingkan wajah, ia tak mau Levin melihatnnya menangis. Vio benci saat orang lain melihatnya terpuruk, Vio tidak mau dikasihani.
"Gak. Gue gak akan lepasin lo." Levin menarik tangan Vio, menyeretnya ke suatu tempat.
Levin membawanya ke taman, mendudukkan Vio di atas rumput. Vio masih menangis, seberusaha apa pun ia meredam tangisnya. Air matanya akan menerobos keluar, membasahi kedua pipi.
Hati Vio sakit, dadanya nyeri seperti ditancap belati. Kata-kata presenter tadi terus terngiang di kepalanya. Apa begini rasanya tidak diakui? Sakit. Jika dulu Vio tidak peduli, tapi kenapa Vio seolah menyesalinya.
Vio terkesiap ketika merasakan sentuhan di pipinya. Ia seketika menoleh ke samping, di mana Levin duduk di sebelahnya. Cowok itu mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi.
"Jangan nangis, air mata lo gak bakal berubah jadi mutiara. Lo bukan mermaid," ucap Levin.
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu