Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.
Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Suara petir saling bersahutan, kilatnya masuk menembus kaca. Gadis kecil itu terbangun saat suara guntur kembali terdengar, matanya mengerjap berulang kali.Rasa takut mendominasi, tubuhnya gemetar. Ia melirik ke jendela yang terbuka, di luar sedang hujan deras disertai angin kencang."Mama!" pekik gadis itu bersamaan dengan suara petir yang menyambar.Ia bersembunyi dibalik selimut, merapalkan segala macam doa. Sesekali memanggil mamanya, berharap sang mama akan datang dan menenangkannya. Tapi sekian lama menunggu tak kunjung datang, sementara suara petir semakin kencang terdengar."Mama, Viona takut," cicit gadis kecil bernama Viona.Akhirnya Viona memutuskan untuk turu dari
Kabut pekat menyelimuti, hawa dingin menyergap. Pandangan Vio mengabur, tapi ia masih bisa melihat bayangan dua orang yang sangat dicintainya."Mama," panggil Vio. "Oma." Mata Vio berkaca-kaca, ia menerjang kabut menghambur ke arah dua orang itu.Tapi yang terjadi hanya angin yang berhasil Vio dekap. Vio mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari sosok keduanya yang tiba-tiba menghilang."Mama, Oma!" teriak Vio, suaranya bergema di tengah malam. "Jangan tinggalin Vio sendiri, Vio takut," cicitnya.Vio berputar, matanya terus mengedar mencari-cari sosok mama dan omanya. Tapi sepertinya sia-sia, mereka menghilang. Vio terduduk lemas, meratapi kesendiriannya."Mama, Vio takut. Oma jangan pergi. Kenapa kalian tega tinggal
Bayangan cowok tadi terus mengusik pikiran Vio. Seberusaha apa pun ia mengeluarkan bayangan itu dari otaknya, tetap saja bayangan itu terus berseliweran. Menari-nari tanpa permisi di dalam pikirannya.Mata elang, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tipis, kombinasi yang sempurna. Tak heran jika cowok itu terlihat tampan dan mempesona. Sayangnya dia berwajah dingin dan menyeramkan.Bodoh!Rutuk Vio, apa yang salah dengan otaknya? Kenapa bisa-bisanya ia terkesima dengan cowok aneh itu. Vio menepis semua pemikirannya tentang cowok bernama Levin, seniornya kelas XII.Sepanjang pelajaran berlangsung, Vio tidak bisa fokus karena Reva terus mendumel. Mengomentari apa pun yang diucapkan guru pelajaran. Hingga bel pulang berbunyi.
Vio terbangun ketika alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamarnya. Mata Vio perlahan terbuka, Vio mengedarkan pandangannya. Ia masih dalam posisi duduk bersandar di pintu.Vio bangun karena alarm terus berbunyi, Vio segera mematikannya. Vio melirik sekilas jam weker yang sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Ia segera masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.Tak butuh waktu lama untuk Vio mandi dan mengenakan seragamnya. Kini ia sudah berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diri. Vio terdiam memperhatikan wajahnya, lebih tepatnya mata Vio yang sembab karena semalaman menangis.Untuk menyamarkan itu Vio memakaichusiondan bedak, megoleskan sedikitliptintpada bibirnya yang tampak pucat. Vio tampak cantik dengan rambut panjan
Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian."Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar."Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba dis
Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan."Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba."Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara."Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya."Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando."Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.