Home / Romansa / Virginity For Sale / 4. Jangan Membuatku Menunggu

Share

4. Jangan Membuatku Menunggu

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-07-04 03:13:38

Suara maskulin yang mengalun berat dan maskulin itu serta merta membuat Maura merinding.

Untuk sejenak, manik gelapnya menatap lekat bola mata abu-abu berkilau dengan efeknya yang seolah mampu menghipnotis itu.

Memandikan? Ya ampun, apa dia anak kecil yang belum bisa mandi sendiri?

Tapi Maura pun segera kembali menyadari posisinya di hadapan pembelinya, dan merasa tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala.

"Ikuti aku," titah Raven sembari membalikkan tubuhnya dan berjalan mendahului Maura.

Pria itu mendekato sebuah pintu yang terletak di dinding di samping salah satu lemari buku, lalu membukanya.

Manik Maura pun spontan mengerjap. 'Oh, ternyata itu adalah connecting door,' pikir gadis itu.

Sebuah pintu yang langsung menghubungkan antara ruang kerja dan... kamar pribadi Raven, sepertinya.

Maura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan bernuansa gelap aesthetic itu. Dindingnya dicat dengan warna taupe yang menimbulkan efek kilau redup.

Bahkan gorden raksasa yang melapisi jendela kaca besar serta karpet lembut di lantai kayu ini pun memilliki warna yang senada.

Hanya penutup ranjang, beberapa kursi di samping jendela, sofa, serta nakasnya saja yang berwarna lebih terang : coklat muda.

Lampu kristal besar yang tergantung di atas ranjang juga tampak elegan dan menambah nuansa mahal pada dekorasinya.

"Pakai baju ini."

Maura yang tadi berdiam diri asyik memandangi sekelilingnya, mendadak kaget saat Raven menyodorkan sebuah kain berwarna putih ke hadapannya.

Ia meraih benda lembut dan ringan itu, lalu meringis dalam hati kala menyadari bahwa benda itu adalah lingerie yang sangat seksi dan rasanya hampir tak ada guna karena nyaris tak ada yang bisa ditutupinya.

Raven mengulum senyum samar saat memandangi sekujur tubuh Maura dari atas ke bawah. Madamme Jane memang sangat tahu seleranya, yang menyukai wanita bergaun merah seksi dengan dandanan yang elegan.

Namun Raven merasa bahwa Maura tidak terlalu cocok mengenakan warna merah seperti ini. Dan entah kenapa, ia yakin sekali jika Maura akan lebih pantas untuk mengenakan warna putih.

Pasti sangat sesuai di kulitnya yang halus dan tampak bersinar itu, dan akan semakin mempertegas warna pekat rambutnya yang panjang itu.

"Aku akan menunggumu di kamar mandi," ucap Raven sembari meraup helai-helai halus rambut hitam Maura, lalu menggesekkannya di antara jemarinya.

"Kenapa aromamu seperti es krim?" Tanya Raven dengan pandangan yang lekat dari abu-abu maniknya tertuju kepada Maura, tanpa melepaskan jarinya dari rambut gadis itu.

"Aaah... itu... sepertinya aroma parfumku," sahut Maura salah tingkah karena wajah mereka yang kini sangat dekat, bahkan kurang dari sejengkal.

Gadis itu bahkan bisa melihat bintik-bintik gelap yang mewarnai iris abu-abu Raven yang aneh itu. Uhm, tapi mungkin 'aneh' bukanlah kata yang tepat.

'Menggelisahkan', mungkin itu adalah kata jauh lebih tepat.

"Jadi aroma es krim ini berasal dari parfummu ya?" Cetus Raven sambil menggelengkan kepala heran. "Memangnya usiamu berapa, Moora? Empat belas tahun?"

Maura pun hanya diam, tak merasa perlu menjawab ledekan terselubung pertanyaan tersebut.

Namun diam-diam ia menambahkan catatan untuk diri sendiri, yaitu harus mencari cara untuk menghilangkan aroma parfum ini, karena tampaknya Raven sama sekali tidak suka.

Kepuasan pembeli adalah nomor satu, begitulah yang diajarkan oleh Madamme Jane padanya.

Sebagai 'produk' yang dijual, Maura pun sadar bahwa ia harus mampu 'mengemas' dirinya dengan baik agar pembelinya pun tidak kecewa.

Meskipun awalnya Maura sempat berharap pembelinya bukanlah Raven King penulis idolanya, namun sekarang ia pun harus menerima kenyataan itu, dan bersikap semaksimal mungkin agar jangan sampai Raven malah membatalkan pembeliannya.

Karena semakin cepat ia mendapatkan uang, maka semakin cepat pula ia dapat menjauh dari keluarganya untuk memulai kehidupan yang baru.

Raven menghembuskan napas tajamnya ke udara. Padahal gadis di hadapannya ini sangat cantik dan sensual, tapi kenapa parfumnya malah seperti gadis remaja sih?

"Ganti parfummu," titah pria itu kemudian.

"Baik, Tuan Raven." Maura menyahut cepat. Tak masalah juga sih, toh dia datang ke Pulau ini tanpa diijinkan untuk membawa apa pun, kecuali pakaian yang saat ini melekat di tubuhnya.

"Aku akan tunggu di dalam kamar mandi. Tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama, Moora," ucap pria itu sebelum membalikkan badannya, lalu melangkah dengan tegas menuju ke arah pintu yang Maura yakin adalah sebuah kamar mandi.

Namun manik legam Maura pun membeliak lebar, saat Raven menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar mandi, hanya untuk... perlahan melucuti pakaiannya sendiri.

'Ya ampun, bahkan caranya membuka kemeja flanelnya saja tampak sangat seksi,' ringis Maura dalam hati, yang kemudian seolah tak mampu melewatkan pemandangan indah sekaligus membuat gadis itu tersipu.

Gadis itu pun sontak membuang pandangannya dengan wajah yang merona, saat tak ada lagi selembar benang pun yang menutupi tubuh Raven.

"Ingat, Moora. Aku sangat tidak suka menunggu." Raven pun berucap, sebelum pria itu memasuki kamar mandi dan meninggalkan Maura sendiri dengan benaknya yang berkecamuk penuh antisipasi.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
fantasy yang ada dalam pikiran
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Virginity For Sale    EXTRA PART

    Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m

  • Virginity For Sale    133. Rumah Untuk Kembali

    Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas

  • Virginity For Sale    132. Hidup

    Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena

  • Virginity For Sale    131. Pembuktian

    "Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka

  • Virginity For Sale    130. Kudeta

    Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m

  • Virginity For Sale    129. Yang Seharusnya Hanya Milikku

    Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers

  • Virginity For Sale    128. Belum Selesai

    Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya ha

  • Virginity For Sale    127. Pengakuan

    “Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau

  • Virginity For Sale    126. The Bigger Plan

    "Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status