Home / Romansa / Virginity For Sale / 3. Tugas Pertama

Share

3. Tugas Pertama

Author: Black Aurora
last update Huling Na-update: 2024-07-01 16:25:07

Raven King... RAVEN KING???

Pria bersurai coklat gelap itu pun sedikit memiringkan kepalanya, kala melihat wajah cantik Maura yang tampak sedikit memucat ketika menatapnya.

"Apa kamu mengenalku?"

Leher Maura terasa kaku ketika mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Raven. Ia masih tampak shock, benar-benar tidak menyangka jika pria yang akan ia layani adalah sosok fenomenal dan sangat, sangat terkenal di dunia.

'Sial. Raven King? For real? Untuk apa pria setampan dan terkenal seperti dia menyewa jasa agensi Virginity For Sale??'

'Ya ampun... benar-benar tidak disangka jika pria ini mengincar keperawanan para gadis! Apa jangan-jangan dia memiliki semacam kelainan?!'

Ribuan pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiran Maura, tak pelak ikut tergambar pula di wajahnya meski tak jua ia ucapkan dari bibirnya.

Raven tampak menyeringai samar melihat bayang-bayang asumsi yang tampak dari ekspresi gadis bersurai hitam panjang ini.

Manik abu-abu pria itu sejenak mengamati keseluruhan tubuh Maura dengan intens.

Mengamati surai gelapnya yang lurus tergerai hingga menyentuh pinggang, kulitnya yang putih namun jenis putih khas Asia Tenggara, dadanya yang bulat penuh dan tampak padat, pinggangnya yang ramping dengan lekuk pinggul yang sensual.

Sepertinya Maura mendapatkan nilai yang nyaris sempurna di mata seorang Raven King yang telah terbiasa dikelilingi wanita-wanita cantik.

Tapi masalahnya...

Seringai yang semula samar kini tampak jauh lebih jelas terlukis di wajah tampan Raven, saat melihat helai-helai rambut hitam Maura yang berkilau, sehitam maniknya yang bening memukau.

Baru kali ini ia menginginkan seorang gadis dengan penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya, dengan surai dan bola mata yang sepekat malam seperti Maura.

Memang agak sedikit aneh, karena biasanya Raven lebih suka tipe gadis Amerika atau Eropa yang bersurai pirang terang dengan manik yang sebiru langit, seperti Rebecca dan juga para gadis sebelum Rebecca.

Ia pun teringat kala Madamme Jane si pemilik agensi Virginity For Sale memberikan beberapa foto gadis perawan kepadanya, dan foto Maura pun ada di antara mereka. Di antara gadis-gadis pirang bermata biru yang sejauh ini telah menjadi tipe idealnya.

Ah, mungkin juga dia hanya sedang bosan saja. Dan ingin mencoba sesuatu yang berbeda.

"Anda adalah Raven King," sahut Maura pelan, masih terpana dengan sosok yang sama sekali tidak ia sangka berdiri tegak di depannya.

"Seorang penulis genre thriller yang bukunya telah menjadi best seller versi The New York Times selama enam bulan berturut-turut," tutur gadis itu lagi.

Alis lebat kecoklatan Raven pun menukik naik, tak menyangka jika ada gadis muda dari negara lain ternyata juga mengenalnya.

"Apa kamu membaca bukuku?"

Maura mengangguk lagi. "Saya sudah baca 'The Librarian' sampai selesai," tukasnya, menyebutkan salah satu buku best seller Raven dengan senyuman manis yang tersemat di wajahnya.

"Oh ya? Aku sungguh tidak menyangka jika gadis semanis kamu ternyata menyukai seri genre tentang pembunuh berantai yang menyamar menjadi pustakawan."

"Karena ide itu sangat jenius!" sambar Maura, tanpa sadar telah melukiskan antusiasmenya yang tampak meluap-luap di wajahnya.

"Tak ada yang bisa menebak pemikiran Xavier si tokoh utama, dan bagaimana semua konflik rumit dapat disederhanakan di bagian akhir. Itu adalah buku pertama yang kubaca dan ditulis olehmu. Bahkan aku hendak membeli serial lainnya juga, sebelum... uhm..."

"Sebelum?" Raven kembali bertanya ketika Maura yang semula tampak menggebu-gebu bercerita, mendadak malah terdiam.

"Sebelum... aku memutuskan untuk mendaftar di Virginity For Sale," ringis Maura malu dan salah tingkah. Untuk sesaat tadi, ia benar-benar terlupa pada posisinya yang akan menjadi pemuas hasrat pria ini.

Dengan lugunya, Maura malah bersikap seperti penggemar berat yang baru saja bertemu idola.

Yah, itu memang benar sih. Raven King telah resmi menjadi idolanya saat Maura selesai membaca The Librarian sampai tuntas.

Tapi tidak seharusnya ia pun tidak ingat tujuan utamanya berada di sini, di Pulau aneh ini, dan berdiri depan pria yang tampak sangat tampan namun memiliki aura dingin dan sedikit menakutkan.

Raven menatap lekat gadis yang kini pipinya tampak merona menahan malu. Sejujurnya ia pun sedikit terhibur saat tadi melihat bagaimana sikap Maura yang mirip dengan fans-nya.

"Mendekatlah kemari, Moora."

Lagi-lagi Raven salah melafalkan namanya, namun Maura tidak bisa menyalahkannya juga. Namanya memang mirip "Moora" jika dilafalkan oleh orang asing.

Kaki jenjang Maura pun melangkah perlahan, mengikis jarak yang semula terentang cukup lebar di antara mereka.

Maura berhenti ketika jaraknya kini hanya tinggal selangkah dari Raven. Bisa berada sedekat ini dengan idolanya, rasanya seperti mimpi.

Namun Maura pun tak yakin lagi apakah ini mimpi indah ataukah mimpi buruk, mengingat tujuan utamanya berada di sini.

'Aargh... kenapa harus dia?!' rutuk merana Maura dalam hati.

Sial. Entah apakah ia masih bisa mengidolakan sosok ini lagi untuk seterusnya, jika ia harus melayani hasrat orang yang sama dengan yang membeli keperawanannya!

Raven mengamati raut campur aduk di wajah manis Maura dengan ekspresi tertarik. Ada bingung, muram, kesal, ragu dan takut.

Manik sehitam kopi milik gadis itu berlarian ke sana ke mari untuk menghindar tatapannya, wajahnya yang menjadi sedikit menunduk itu membuat Raven menyentuh dagu Maura, dan mendongakkan wajah gadis itu.

"Apa sekarang kita bisa kembali tujuan awal kenapa kamu di bawa ke rumahku?"

Maura menelan ludah saat mendapatkan sorot tajam dan dingin tak terbaca dari bola mata abu-abu Raven. "I-iyaa... tentu saja. Aku di sini karena kamu yang membeliku, Tuan Raven."

"Hm... kalau begitu, apakah kamu telah siap dengan tugas pertamamu, Moora?"

Meskipun lehernya terasa tegang, Maura pun memaksakan sebuah anggukan yang kaku.

"Jika boleh tahu, apa tugas pertamaku itu?" tanya Maura, meskipun ia sudah mengira-ngira jawabannya.

Bukankah keperawanannya telah dibeli? Jadi, rasanya jawaban Raven mungkin tak lebih dari urusan yang berkaitan dengan 'jasa' di atas ranjang yang harus ia berikan.

"Mandikan aku, Moora," sahut Raven, menyuarakan kalimat yang mengejutkan Maura.

"Itulah tugas pertamamu. Mandikan aku."

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Nama dari satu malam tertantang
goodnovel comment avatar
Jinlove Cha
Manja bgt raven...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Virginity For Sale    EXTRA PART

    Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m

  • Virginity For Sale    133. Rumah Untuk Kembali

    Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas

  • Virginity For Sale    132. Hidup

    Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena

  • Virginity For Sale    131. Pembuktian

    "Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka

  • Virginity For Sale    130. Kudeta

    Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m

  • Virginity For Sale    129. Yang Seharusnya Hanya Milikku

    Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status