Home / Romansa / Virginity For Sale / 5. Kenapa Dia Menatapku Seperti Itu?

Share

5. Kenapa Dia Menatapku Seperti Itu?

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2024-07-08 08:31:04

'Huuft... akhirnya aku bisa bernapas dengan lega juga,' batin Maura dalam hati ketika Raven telah menghilang dari balik pintu.

Aura dominan pria itu telah membuatnya serasa tercekik dan sulit untuk menghirup udara, lalu bagaimana caranya Maura melayani Raven jika sikapnya malah begini??

"Relax, Maura," guman gadis itu kepada dirinya sendiri. Wajar saja jika dia gugup setengah mati kan? Bukan cuma karena Maura akan memberikan kesuciannya kepada pria itu, tapi juga karena dia adalah Raven King.

Desahan napas pelan kembali menguar dari bibirnya, untuk yang kesekian kalinya hari ini. Sebaiknya sekarang ia cepat mengenakan lingerie putih ini, sebelum Raven marah karena terlalu lama menunggu.

Gadis itu pun segera membuka gaun merahnya tanpa menanggalkan pakaian dalamnya yang senada dengan warna gaunnya.

Lingerie putih menerawang itu ternyata sangat pas di tubuhnya. Maura melangkah menuju ke arah cermin panjang yang memperlihatkan seluruh tubuhnya.

Bra yang ia gunakan adalah jenis yang tanpa tali, dan ternyata pilihan yang pas sekali karena bentuk kerah draperi lingerie itu hingga memperlihatkan kulit halus pundaknya yang telanjang.

Maura mengerjap, terkejut melihat pantulan dirinya yang kini terlihat sangat berbeda dari sebelumnya.

Ia tidak pernah mengenakan lingerie seksi sebelumnya, bahkan gaun terbuka merah seperti ini pun tidak pernah. Mungkin itu sebabnya ia merasa seperti bukan diri sendiri, karena Maura yang ada di cermin itu bukanlah dirinya.

Maura yang itu tampak terlalu sensual dan menggoda, tapi... rasanya itu bagus kan? Semoga saja ia bisa menyenangkan Raven agar semua pengorbanannya ini tidaklah sia-sia.

"Semangat, Maura. Demi impianmu untuk pergi menjauh dari keluarga dan pindah ke Grindelwald," gumannya sambil tersenyum membayangkan kota kecil di Swiss yang indah dalam kenangannya.

Semua uang yang akan ia terima setelah menyerahkan keperawanannya, akan ia gunakan untuk pergi ke Kota impiannya, dan memulai hidup baru di sana.

Huuft...

Maura berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar keras, sembari mengikat rambut panjangnya membentuk bun di atas kepala. Menyisakan helai-helai halus yang jatuh dengan lembut di pipi dan lehernya.

Ayunan kaki gemetarnya kini bergerak menuju kamar mandi, dimana Raven tengah menunggu dirinya. Tanpa sadar, Maura pun mengetuk pintunya, sebelum kemudian meringis malu sendiri.

Kenapa pula ia harus mengetuk pintu? Ish. Itu terlalu sopan untuk wanita jalang yang menjual tubuhnya sendiri.

Seharusnya Maura justru masuk ke dalam dengan penuh percaya diri dengan sikap yang seksi, bukannya malah seperti karyawan yang hendak bertemu dengan bosnya di kantor!

Lagipula, bukankah kehadirannya memang sudah dinanti?

Maura pun memutuskan untuk mendorong pintu itu dengan perlahan, dan seketika gadis itu pun tertegun.

"Akhirnya kamu datang juga," ucap suara berat yang sedang berdiri tepat di depan pintu, dan juga tepat di depannya.

Dengan mendongakkan kepalanya untuk bertatapan langsung dengan pria itu, Maura pun meneguk ludah.

Raven yang sebelumnya telah membuka bagian atas bajunya, yang terdiri dari kaus hitam tanpa lengan dan kemeja flanel di atasnya, menyisakan sebentuk tubuh kokoh dengan otot-otot luar biasa.

Pria ini tampak sangat kuat dengan tubuh yang tinggi, berbanding terbalik dengan tubuh Maura yang hanya sebatas dadanya.

Maura bersyukur karena pria itu ternyata belum membuka celana jeans-nya, namun pipi Maura pun mendadak merah muda ketika melihat kancing bagian atas celananya telah dilepas.

Raven mengamati lingerie putih yang membalut tubuh mungil namun sensual gadis di hadapannya. "Warna putih sangat cocok untukmu, Moora," komentarnya penuh kepuasan.

"Kemarilah."

Maura hanya diam dan menurut ketika Raven menarik tangannya dan menuntunnya menuju ke arah bath tub yang telah terisi air dan busa mandi.

Aroma tajam kayu-kayuan dan rerumputan bercampir musk dan citrus menyapa hidungnya, yang berasal dari buih sabun yang terapung di atas air.

Raven melepaskan tangan Maura, untuk membuka risleting celananya, lalu menurunkan material jeans itu hingga ke bawah kakinya.

Kini Raven hanya mengenakan pakaian dalam boxer brief, dan pipi Maura pun semakin menghangat dan diam-diam meringis takut, kala tatapannya secara tidak sengaja tertuju pada gundukan besar di baliknya.

Ya ampun. Pasti akan sangat menyakitkan jika dimasuki oleh entitas sebesar itu!

Raven tiba-tiba saja duduk di bagian pinggir bath tub, membuat Maura menatapnya bingung.

"Ayo, Moora. Mandikan aku sekarang."

Hah? Mandikan? Tapi... bagaimana caranya? Jujur saja Maura belum pernah memandikan seseorang sebelumnya, apalagi seorang pria!

'Tak bisakah Raven langsung meniduriku saja alih-alih menyuruhku melakukan tugas yang tidak jelas seperti ini??' Erang Maura dalam hati.

Tapi pekerjaan tetaplah pekerjaan, dan Maura pun bertekad untuk sesegera mungkin menyelesaikannya. Semakin cepat, semakin baik.

"Uhm, apa kamu bisa masuk saja ke dalam air?" Kali ini Maura memutuskan untuk lebih berinisiatif dan tidak lagi pasif seperti sebelumnya, dengan memberikan saran.

"Bisa, tapi aku harus memelukmu terlebih dulu," sahut Raven, yang membuat Maura lagi-lagi menatapnya bingung.

Namun belum juga ia bertanya lebih lanjut tentang korelasinya, tiba-tiba saja Raven sudah mendekapnya dengan erat!

Dan Maura pun memekik kaget, ketika merasakan kakinya yang tidak lagi menjejak lantai dingin kamar mandi. Ternyata Raven bukan hanya memeluknya, tapi juga telah menggendongnya!

Maura pun kembali menelan ludahnya yang terasa berat saat wajahnya berada begitu dekat dengan Raven.

Pria ini benar-benar tampan dan bugar. Ia tampak sama sekali tidak kesulitan menggendong Maura, dan membawanya masuk ke dalam bath tub berisi air hangat penuh busa.

Manik abu-abu gelap itu seperti memiliki daya magis yang dapat menghipnotis, membuatmu patuh dan tunduk serta tak berani bergerak bahkan hanya satu jari sekali pun.

Rasanya Maura masih tak percaya jika ia akan memandikan seorang Raven King, si novelis idola yang sama misteriusnya dengan karya-karyanya.

Kini tubuh Maura telah diturunkan oleh Raven hingga mereka berdua sama-sama tenggelam di dalam lautan busa putih yang lembut.

Raven memposisikan dirinya duduk di dasar bath tub, sementara Maura berada tepat di hadapannya.

Bath tub itu cukup lebar dengan bentuk sepertiga lingkaran yang menempel di dinding. Air hangat yang menyapa kulitnya seharusnya membuat Maura rileks, namun tidak demikian halnya yang dirasakan oleh gadis itu.

"Tunggu apa lagi? Mulailah, Moora."

"Uhm, iya." Maura pun semakin gugup karena manik Raven yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip sedikit pun, dengan tatapan yang sangat tajam namun sulit diartikan.

'Argh, kenapa dia harus menatapku seperti itu sih??' keluh Maura dalam hati.

Alih-alih seperti seorang pria yang berhasrat, Raven lebih mirip seperti seorang guru yang sedang mengawasi muridnya yang sedang mengerjakan soal ujian, memastikan tak ada kesalahan bodoh yang akan Maura perbuat.

Intensitas tatapan dari manik abu-abu itu terlalu kuat, terlalu mengintimidasi, namun juga sangat memukau di saat yang bersamaan.

Maura sendiri merasa takut, gugup tapi juga sekaligus terpesona pada bola mata berkilau yang serupa kabut asap itu.

Gadis itu lalu mengubah posisinya menjadi setengah berlutut, sehingga ia pun kini lebih tinggi dari Raven yang masih duduk di dasar bath tub.

"Aku akan mulai dengan mencuci rambutmu," ucap Maura pelan.

Gadis itu meraih shower yang posisinya terletak tak jauh dari kepala Raven, lalu menyalakan keran air hangatnya. Dengan perlahan, ia pun mulai membasahi rambut coklat gelap pria itu.

Maura sedikit terkejut ketika merasakan jemarinya menyusuri rambut pria itu, dan menyadari bahwa ternyata helai-helainya sangatlah halus. Tanpa sadar bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis, yang tak lepas dari perhatian Raven.

"Kenapa kamu tersenyum?" Tanya pria itu tiba-tiba, yang telah memindahkan tatapannya dari mata Maura ke lengkung indah bibir gadis itu.

"Hm? Oh, tidak apa-apa... aku cuma... sangat menyukai tekstur rambutmu," sahut Maura sedikit gelagapan karena dipergoki oleh Raven.

"Apa kamu bisa berciuman, Moora?"

Maura mengerjap kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba yang tak disangka itu. Pasti Raven bertanya karena statusnya yang masih perawan, maka pria itu pun berasumsi bahwa ia pum tidak mahir berciuman.

Dan itu pun bukanlah praduga yang salah.

Maura menggelengkan kepalanya dengan kaku. Ia hanya pernah berciuman satu kali dan rasanya sangatlah payah.

Sebaiknya ia berkata jujur saja kepada Raven daripada pria itu berharap terlalu tinggi dan kecewa pada akhirnya.

"Kalau begitu, aku yang akan mengajarimu."

Suara rendah yang mengalun di telinganya itu membuat Maura merinding. Dan sedetik kemudian, gadis itu pun tak bisa mengelak ketika dua tangan kekar merengkuh dan mencengkram kuat pinggangnya, lalu menarik tubuhnya dengan kasar.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Kang Ade
bagus aku sangat suka
goodnovel comment avatar
Ellen Porloy
bagus , aku sangat suka
goodnovel comment avatar
Sulinda Aritonang
baca dulu lebih lanjut nnt komentat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Virginity For Sale    EXTRA PART

    Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m

  • Virginity For Sale    133. Rumah Untuk Kembali

    Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas

  • Virginity For Sale    132. Hidup

    Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena

  • Virginity For Sale    131. Pembuktian

    "Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka

  • Virginity For Sale    130. Kudeta

    Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m

  • Virginity For Sale    129. Yang Seharusnya Hanya Milikku

    Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status