Aku bangun kesiangan dan tidak menemukan su4miku di kam4r. Saat aku ke dapur, rambut pembantuku basah, rambut suamiku pun ikut basah juga. Apa mereka ...
***Part 3"Oh, i-itu, tadi kepalaku sakit banget. Terus tiba-tiba aja aku rasanya pengen. Tapi badan p4nas, kepala s4kit, jadi aku m4in sendiri he he he ..." Mas Galih menggaruk rambutnya yang tidak gatal."Maaf ya, udah gak tahan, Sayang," katanya lagi sambil meraih tanganku yang sedang melipat di dada. Seprei kotor itu tergeletak di kamar karena aku masih merasa kesal."Mas, kalau kamu emang pengen, kamu bisa telepon aku. Aku pasti pulang.""Ya, tapi namanya tiba-tiba lagi naik gitu, gimana bisa tahan nunggu kamu dari kantor ke sini sampai satu jam setengah. Bisa pecah kepalaku. Udah, mandi dulu sana, Sayang!""Bulan lalu kamu juga main solo. Apa enaknya coba? Padahal kamu tinggal telepon istri. Ck, ampun, deh!" Aku berdecak kesal. Kuambil kembali seprei itu dengan serampangan, lalu aku taruh kembali di dalam keranjang.Selesai mandi, aku melihat Mas Galih sudah pulas. Tidurnya mendengkur dengan mulut setengah terbuka. Ia nampak lelah dengan lingkar hitam di bawah matanya. Aku belum bisa tidur memikirkan kelakuan suamiku yang aneh.Ini kedua kalinya, padahal sebelumnya tidak pernah. Apa yang terjadi pada Mas Galih? Pria baik-baik yang sangat mencintaiku ini tidak mungkin main belakang. Aku pasti tahu apa yang ia lakukan di luar kantor.Aku akhirnya tertidur dan terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Aku menoleh ke sebelah, maksud hati hendak mengecek keadaan Mas Galih, tetapi su4miku sudah tidak ada. Aku mengedarkan pandangan, lalu melihat ke dalam k4mar m4ndi yang kosong. Ini baru jam lima subuh, ke mana Mas Galih?Aku berjalan keluar dari kamar. Rumah masih sepi, tetapi aku mendengar Esti dari dapur, seperti sedang mencuci piring."Esti, kamu lihat suamiku?" tanyaku. Di luar gerimis, tidak mungkin Mas Galih jalan pagi. Esti menoleh, lalu menggelengkan kepala."Gak lihat, Bu. Saya juga baru selesai m4ndi dan baru ini mencuci gelas susu coklat punya bapak. Apa mungkin bapak minum soesu sebelum keluar? Apa mungkin juga lagi beli sarapan, Bu." Kepalaku mendadak berputar. Esti saja tidak lihat di mana Mas Galih, apalagi aku. Rambut Esti bas4h. Entah kenapa belakangan ini, rambut bas4h Esti selalu membuat fir4satku tidak en4k."Esti, keranjang cucian di kamarku sudah penuh. Tolong masukkan ke mesin!""Baik, Bu." Esti mengikuti langkahku kembali ke kamar, lalu ia mengangkat keranjang cucian kotor keluar. Aku pun m4ndi agar kepala yang berat ini terasa sedikit lebih ringan. Lagi-lagi aku terlupa untuk menanyakan perihal obat kol3sterol itu milik Esti."Kamu sudah mandi, Sayang?" aku menoleh terkejut ke arah daun pintu kamar yang terbuka. Mas Galih berdiri di sana sambil tersenyum dan ia terlihat baru saja mandi."Aku kira kamu masih tidur," katanya lagi sembari berjalan santai masuk ke dalam kamar. Aku berbalik, tetapi tetap duduk di kursi rias."Kamu dari mana, Mas?" tanyaku benar-benar terheran. Bagaimana bisa suamiku mandi dan aku tidak terbangun? Biasanya aku selalu terbangun bila kudengar suara gemericik air di kamar m4ndi."Dari halaman belakang, olah r4ga," jawabnya santai sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri."Olah raga? Tapi rambut kamu kok basah?" wajah suamiku mendadak tegang."Maksudnya aku habis olah raga, terus m4ndi, jadinya rambutku b4sah. Kenapa, Sayang?""Kamu gak lagi bohong'kan, Mas?" aku menelisik wajahnya untuk membaca pertanda kebohongan. Namun, Mas Galih bersikap santai seperti biasa."Untuk apa aku b0hong? Kamu yang aneh banget sejak kemarin. Banyak banget tanya, sampai aku pusing. Sayang, coba untuk berpikir positif ya. Biar keriput di wajah kamu tidak terlalu kentara. Udah, ah, bagaimana kalau kita sarapan di luar?""Mm ... sarapan di mana?" aku melirik jam dinding yang sudah jam setengah enam pagi."Di mana aja yang ada tempat makan khusus sarapan. Kayak yang di Cijantung, mau gak? Ajak aja Esti. Sesekali ajak pembantu sarapan di luar juga gak papa'kan?""Aku ganti baju dulu kalau gitu. Pakai baju olah r4ga aja. Nanti aku bilang Esti.""Gak papa, aku aja yang sampaikan. Kalau nunggu kamu dandan, Eseti keburu kelar masak nasi goreng." Mas Galih sudah keluar dari kamar sebelum mulut ini mengeluarkan suara. Tumben su4miku mau bicara dengan Esti, bukannya sangat irit bicara dengan ART kami itu?Aku keluar dari k4mar dengan cepat. Rupanya Esti sudah di mobil bersama Mas Galih. Tentu saja aku terkejut. Memang ia duduk di belakang, tetapi tetap saja hatiku langsung sewot."Loh, kamu malah udah di mobil, pintu rumah kunci dulu! Masa ART mendahului majikan? Ampun deh kamu ini, Esti!" Pekikku kesal."Ya, ampun, maaf, Bu, saya kelupaan." Esti menunduk malu dan bergegas keluar dari mobil."Sayang, Esti mungkin lupa, soalnya aku yang suruh dia buru-buru naik ke mobil. Maafin aku ya, Sayang. Kalau mau m4rah, m4rah sama aku aja gak papa." Mas Galih meny3ntuh pipiku, tetapi aku yang tengah kesal, malah semakin g0ndok mendengar ucapan Mas Galih."Kamu ngerasa kamu aneh gak, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba bela Esti? Jelas-jelas dia yang gak tahu adab, malah kamu bela! Yang istri kamu itu aku atau si Esti?"BersambungPart 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa