Share

3. Rambut Suami dan Pembantuku Basah

Aku bangun kesiangan dan tidak menemukan su4miku di kam4r. Saat aku ke dapur, rambut pembantuku basah, rambut suamiku pun ikut basah juga. Apa mereka ...

***

Part 3

"Oh, i-itu, tadi kepalaku sakit banget. Terus tiba-tiba aja aku rasanya pengen. Tapi badan p4nas, kepala s4kit, jadi aku m4in sendiri he he he ..." Mas Galih menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Maaf ya, udah gak tahan, Sayang," katanya lagi sambil meraih tanganku yang sedang melipat di dada. Seprei kotor itu tergeletak di kamar karena aku masih merasa kesal.

"Mas, kalau kamu emang pengen, kamu bisa telepon aku. Aku pasti pulang."

"Ya, tapi namanya tiba-tiba lagi naik gitu, gimana bisa tahan nunggu kamu dari kantor ke sini sampai satu jam setengah. Bisa pecah kepalaku. Udah, mandi dulu sana, Sayang!"

"Bulan lalu kamu juga main solo. Apa enaknya coba? Padahal kamu tinggal telepon istri. Ck, ampun, deh!" Aku berdecak kesal. Kuambil kembali seprei itu dengan serampangan, lalu aku taruh kembali di dalam keranjang.

Selesai mandi, aku melihat Mas Galih sudah pulas. Tidurnya mendengkur dengan mulut setengah terbuka. Ia nampak lelah dengan lingkar hitam di bawah matanya. Aku belum bisa tidur memikirkan kelakuan suamiku yang aneh.

Ini kedua kalinya, padahal sebelumnya tidak pernah. Apa yang terjadi pada Mas Galih? Pria baik-baik yang sangat mencintaiku ini tidak mungkin main belakang. Aku pasti tahu apa yang ia lakukan di luar kantor.

Aku akhirnya tertidur dan terbangun saat alarm di ponselku berbunyi. Aku menoleh ke sebelah, maksud hati hendak mengecek keadaan Mas Galih, tetapi su4miku sudah tidak ada. Aku mengedarkan pandangan, lalu melihat ke dalam k4mar m4ndi yang kosong. Ini baru jam lima subuh, ke mana Mas Galih?

Aku berjalan keluar dari kamar. Rumah masih sepi, tetapi aku mendengar Esti dari dapur, seperti sedang mencuci piring.

"Esti, kamu lihat suamiku?" tanyaku. Di luar gerimis, tidak mungkin Mas Galih jalan pagi. Esti menoleh, lalu menggelengkan kepala.

"Gak lihat, Bu. Saya juga baru selesai m4ndi dan baru ini mencuci gelas susu coklat punya bapak. Apa mungkin bapak minum soesu sebelum keluar? Apa mungkin juga lagi beli sarapan, Bu." Kepalaku mendadak berputar. Esti saja tidak lihat di mana Mas Galih, apalagi aku. Rambut Esti bas4h. Entah kenapa belakangan ini, rambut bas4h Esti selalu membuat fir4satku tidak en4k.

"Esti, keranjang cucian di kamarku sudah penuh. Tolong masukkan ke mesin!"

"Baik, Bu." Esti mengikuti langkahku kembali ke kamar, lalu ia mengangkat keranjang cucian kotor keluar. Aku pun m4ndi agar kepala yang berat ini terasa sedikit lebih ringan. Lagi-lagi aku terlupa untuk menanyakan perihal obat kol3sterol itu milik Esti.

"Kamu sudah mandi, Sayang?" aku menoleh terkejut ke arah daun pintu kamar yang terbuka. Mas Galih berdiri di sana sambil tersenyum dan ia terlihat baru saja mandi.

"Aku kira kamu masih tidur," katanya lagi sembari berjalan santai masuk ke dalam kamar. Aku berbalik, tetapi tetap duduk di kursi rias.

"Kamu dari mana, Mas?" tanyaku benar-benar terheran. Bagaimana bisa suamiku mandi dan aku tidak terbangun? Biasanya aku selalu terbangun bila kudengar suara gemericik air di kamar m4ndi.

"Dari halaman belakang, olah r4ga," jawabnya santai sambil menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Olah raga? Tapi rambut kamu kok basah?" wajah suamiku mendadak tegang.

"Maksudnya aku habis olah raga, terus m4ndi, jadinya rambutku b4sah. Kenapa, Sayang?"

"Kamu gak lagi bohong'kan, Mas?" aku menelisik wajahnya untuk membaca pertanda kebohongan. Namun, Mas Galih bersikap santai seperti biasa.

"Untuk apa aku b0hong? Kamu yang aneh banget sejak kemarin. Banyak banget tanya, sampai aku pusing. Sayang, coba untuk berpikir positif ya. Biar keriput di wajah kamu tidak terlalu kentara. Udah, ah, bagaimana kalau kita sarapan di luar?"

"Mm ... sarapan di mana?" aku melirik jam dinding yang sudah jam setengah enam pagi.

"Di mana aja yang ada tempat makan khusus sarapan. Kayak yang di Cijantung, mau gak? Ajak aja Esti. Sesekali ajak pembantu sarapan di luar juga gak papa'kan?"

"Aku ganti baju dulu kalau gitu. Pakai baju olah r4ga aja. Nanti aku bilang Esti."

"Gak papa, aku aja yang sampaikan. Kalau nunggu kamu dandan, Eseti keburu kelar masak nasi goreng." Mas Galih sudah keluar dari kamar sebelum mulut ini mengeluarkan suara. Tumben su4miku mau bicara dengan Esti, bukannya sangat irit bicara dengan ART kami itu?

Aku keluar dari k4mar dengan cepat. Rupanya Esti sudah di mobil bersama Mas Galih. Tentu saja aku terkejut. Memang ia duduk di belakang, tetapi tetap saja hatiku langsung sewot.

"Loh, kamu malah udah di mobil, pintu rumah kunci dulu! Masa ART mendahului majikan? Ampun deh kamu ini, Esti!" Pekikku kesal.

"Ya, ampun, maaf, Bu, saya kelupaan." Esti menunduk malu dan bergegas keluar dari mobil.

"Sayang, Esti mungkin lupa, soalnya aku yang suruh dia buru-buru naik ke mobil. Maafin aku ya, Sayang. Kalau mau m4rah, m4rah sama aku aja gak papa." Mas Galih meny3ntuh pipiku, tetapi aku yang tengah kesal, malah semakin g0ndok mendengar ucapan Mas Galih.

"Kamu ngerasa kamu aneh gak, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba bela Esti? Jelas-jelas dia yang gak tahu adab, malah kamu bela! Yang istri kamu itu aku atau si Esti?"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status