Beranda / Romansa / Vonis Cinta Sang Hakim / 122. Membuat Batas

Share

122. Membuat Batas

Penulis: Cerita Tina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-24 20:21:48
Lino memarkir mobilnya di depan rumah pintu kos milik Tari. Begitu turun, Tari langsung menoleh cepat.

“Tunggu di sini,” ucapnya tegas.

Lino mengangkat alis, namun menahan komentarnya. Ia tetap berdiri bersandar di dinding teras.

Sementara itu, Tari masuk ke dalam rumah. Begitu pintu tertutup, pundaknya langsung jatuh. Ia ingin menghirup sedikit ketenangan.

Ia membiarkan tubuhnya berada di bawah shower dan guyuran air hangat yang menenangkan. Semalam terlalu banyak hal yang ia tahan sendiri.

Setelah selesai, ia segera mengenakan pakaian yang lebih nyaman. Lalu bergegas menyiapkan barang-barangnya untuk dibawa ke rumah Viona.

Namun saat mencoba menarik koper dari atas lemari, handuk basah yang ia lempar sembarangan tergeser karena terinjak oleh kakinya sendiri. Tubuh Tari langsung terpeleset.

Brukk!

Ia terjatuh ke ranjang, dan koper besar itu menyusul menimpa badannya.

“Aahhh!” pekiknya kencang.

Lino yang kaget mendengar itu, langsung menerobos masuk. “Tari!”

Pemand
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Vonis Cinta Sang Hakim   148. Akhir

    Beberapa waktu kemudian, Lino naik jabatan sebagai jaksa senior. Jabatan itu datang bersama tanggung jawab yang lebih besar.Tak lama setelah itu, Lino mendatangi Bahri sebagai pengganti ayahnya Tari yang sudah tiada. Ia melamar Tari secara langsung, dengan cara sederhana dan tegas.“Saya serius. Saya ingin menikahinya dan menjaganya,” ucap Lino.Bahri menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baiklah, Aku percayakan Tari padamu.”Pernikahan mereka dilaksanakan segera. Keluarga dan sahabat hadir. Bahkan Rio juga datang memberi selamat.Setelah prosesi, Rio menghampiri Lino lebih dulu. Ia menjabat tangannya.“Selamat,” ucapnya singkat.Lino merangkul pundaknya. “Terimakasih, bro.”Rio lalu berdiri di depan Tari. “Aku tunggu jandamu.”Pasangan itu terkejut sejenak.Rio langsung terkekeh. “Tenang. Aku tidak akan bilang begitu. Buatku kata-kata itu tidak keren sama sekali."Ia menatap mereka bergantian. “Aku di sini buat dukung kalian. Berbahagialah.”Tari mengangguk. “Terima kasih, Rio.”Viona

  • Vonis Cinta Sang Hakim   147. Kita Berhasil

    Dua hari kemudian, Viona dan kedua bayinya dinyatakan stabil dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit. "Selamat datang di rumah kita, anakku sayang,” ucap Varen pada kedua bayinya. Rumah kembali terasa hidup. Masing-masing nenek mengurus satu bayi. Theo tetap menempel pada maminya. Viona sengaja membiarkannya, ia tak ingin Theo merasa tersisih sedikit pun. Rio sudah pulang ke rumah, ia ingin melepas beban sejenak. Sudah lama ia tak berkumpul dengan teman-teman dan geng motornya. Namun sebelum itu, ia merasa bangga karena sudah ikut andil dalam memperjuangkan hukum yang adil. Tari pun pulang ke kosannya. Lino yang mengantarnya langsung. Ia juga membantu Tari membersihkan kos Tari yang sudah kacau balau sejak ditinggalkan beberapa waktu lalu. Mayang yang sudah mendarat dari tugasnya, langsung mampir kerumah Viona. Mayang sudah tak sabar ingin melihat keponakan kembarnya itu. "Hai, sayang, Auntie datang." ujarnya begitu datang dengan penuh percaya diri. Viona menepis tanga

  • Vonis Cinta Sang Hakim   146. Janji Telah Usai

    “Bajingan,” desis Rukmana saat melewati Bahri. Dadanya meradang saat mengetahui orang yang paling ia percaya justru yang menusuknya paling dalam. Ia bisa memahami Varen. Dendam karena kematian kakaknya adalah sesuatu yang masuk akal. Tapi tidak pada Bahri. Rukmana membuka rahasia, menitipkan jaringan, bahkan mempercayakan aliran kekayaan dan jalur gelap yang selama ini tak tersentuh hukum kepadanya. Semua diserahkan, namun bukan menolong, ia malah menyerahkan semuanya menjadi bukti yang menghancurkannya di akhir sidang. Kini tak ada lagi senyum tenang atau tatapan meremehkan. Tangan Rukmana terborgol, tubuhnya ditarik kasar oleh petugas. Tidak ada negosiasi yang bisa menawar keputusan yang diberikan oleh hukum. Ia digiring menuju penjara khusus untuk penjahat kelas kakap, tempat kekuasaan tak lagi berarti apa pun. Di sana, bukan soal melarikan diri. Untuk bertahan hidup saja, seseorang harus memiliki mental kuat. Dan untuk pertama kalinya, Rukmana sadar, permainan telah seles

  • Vonis Cinta Sang Hakim   145. Berbelok

    Majelis hakim masih berunding Semua orang menunggu termasuk Varen. Ia duduk tegak, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana.Sejak ancaman itu terucap pagi tadi, separuh jiwanya tertinggal di ruang bersalin bersama Viona. Di setiap detik yang berlalu, dadanya seperti diperas oleh kemungkinan terburuk.Ia membuka ponselnya. Pesan dari Radit tertera,“Ren, Viona aman.”Jantungnya berhenti sesaat. Pesan kedua menyusul. Varen menunduk, jari-jarinya gemetar saat menyentuh layar ponselnya."Kedua bayimu telah lahir, mereka baik-baik saja."Dunia seperti berhenti bergerak. Varen menarik napas dalam, seolah baru sekarang paru-parunya benar-benar terisi udara. Bahunya yang sejak pagi menegang, perlahan turun. Ia memejamkan mata, dan merasa sangat bersyukur kepada Tuhan yang sudah memberinya istri yang kuat.Nafasnya keluar panjang, seolah beban yang menindih dada sejak subuh akhirnya diangkat perlahan.Sidang sempat diskors singkat. Para hakim berdiskusi dengan wajah tegang. Seorang

  • Vonis Cinta Sang Hakim   144. Di Ujung Nafas

    Rumah sakit itu telah berubah menjadi kacau. Tari melangkah cepat memasuki gedung, wajahnya tegang. Di belakangnya, beberapa prajurit berseragam bergerak sigap, menyebar sesuai aba-aba singkat. Mereka berada di bawah komando pamannya “Titik sasaran lantai empat rawat bersalin,” ujar salah satu prajurit singkat. Tari mengangguk dan mempercepat langkah. Begitu keluar dari pintu lift darurat, matanya menangkap pemandangan yang membuat jantungnya hampir berhenti. Radit sudah setengah terdorong keluar balkon lantai empat. Seorang pria berusaha menjatuhkannya. Radit meronta dengan napasnya tersengal dan wajahnya pucat. Tangannya mengenggam baju pria itu untuk bertahan supaya tidak terjatuh. Tanpa berpikir panjang, Tari menyambar kursi kayu di dekat ruang tunggu. Buk! Kursi itu menghantam punggung pria penyerang dengan keras. Pria itu terhuyung, cengkeramannya terlepas. Tari menghantam sekali lagi hingga pria itu tersungkur tak bergerak. “Kau apakan adik iparku?!” b

  • Vonis Cinta Sang Hakim   143. Ancaman.

    Radit berlari masuk kerumah sakit, matanya menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Di hadapannya ada Rio yang sedang dihadang oleh empat pria berbadan besar. Tak ada satu pun sekuriti yang terlihat disana. Terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Rio pun sudah paham situasinya. Tanpa banyak pikir, ia melayangkan pukulan pertama. Rahang salah satu pria itu menghantam dinding. Tiga lainnya menyusul. Di sela perkelahian, Rio menoleh cepat ke arah Radit dan memberi isyarat tegas dengan dagunya untuk menyuruh Radit pergi. Radit tak membantah. Ia berlari ke dalam, menyusuri lorong menuju kamar Viona. Namun mereka sudah menyebar. Tiga orang muncul dari tikungan. Radit menghajar satu dengan siku, satu lagi tersungkur setelah tinju mendarat tepat di hidung dan satu lagi dengan tendangan ke arah ke arah selangkangan, titik lemah utama. Nafasnya terengah, langkahnya tak melambat. Ini bukan soal berani lagi, ini soal waktu. Rio yang sudah menyelesaikan di luar langsung men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status