LOGINVaren, seorang hakim muda harus mengurus Theo keponakannya yg ditinggal oleh kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan misterius. Dia mencoba membesarkan Theo dengan penuh kasih sayang. Namun, tiba-tiba Theo memanggil seorang wanita bernama Viona dengan sebutan Mami. Viona hadir tanpa sengaja dan mengetuk hidupnya tanpa permisi. Apakah Varen bisa menguak kebenaran dibalik kecelakaan kakaknya dan membuka pintu untuk masa depan yang tidak direncanakan?.
View MoreHujan turun ringan di luar jendela apartemen Varen. Langit kota Amsterdam yang kelabu tampak menggantung rendah, seolah tahu bahwa pagi ini bukan pagi yang biasa.
Ponselnya dari tadi bergetar beberapa kali namun ia tidak melihatnya segera. Tangannya masih sibuk merapikan dokumen dari kantornya yang sebentar lagi akan membuka pintu ke sebuah kontrak kerja permanen. Impian hidupnya perlahan hampir tergenggam. Ponselnya bergetar lagi. Ia mengangkat kepala. "Mama" Ia mengernyit. Biasanya ibunya tidak pernah menelepon sepagi ini. Beliau tidak terlalu akrab dengan perbedaan waktu. Lima jam lebih cepat dari Indonesia ke Belanda, biasanya ibunya baru menelepon saat petang di sana. Ia menjawab. “Ma...?” Tidak ada suara. Hanya nafas tersendat. Seperti seseorang mencoba bicara, tapi ada sesuatu yang lebih berat dari kata-kata menahan di tenggorokan. “Ma?” Varen Kembali memanggil. “Thania...” suara itu akhirnya muncul. Parau. Rapuh. “Thania dan suaminya udah nggak ada, Ren...” Deg. Dunia di sekitar Varen seperti berputar saat mendengar itu. Dia masih tak percaya apa yang didengar dari ibunya itu. “Thania kecelakaan waktu perjalanan pulang dengan suaminya.” Ibunya menangis. Tidak teratur, seperti napasnya diikat dan ditarik paksa keluar dari tubuh. “A..apa? bagaimana dengan Theo?” Tanya Varen panik. “Dia ditinggal dirumah, sekarang dia sendirian Ren.”Jawab ibunya dengan isaknya yang tersendat. Pagi itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar duka. Ia kehilangan kakaknya, satu-satunya orang yang selalu berkata bahwa Varen boleh memilih jalannya sendiri. Dia langsung bergegas, Kini, Theo tak punya siapa pun kecuali mereka. Varen memandang ke luar jendela. Amsterdam terasa semakin dingin. Dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik, “Apa yang kau kejar, Ren. Mereka membutuhkanmu sekarang.” Varen langsung mengajukan cuti panjang. Ia tahu hidupnya sedang bergeser, namun ia belum tahu bahwa semua ini bukan sekadar musibah. *** Disisi lain. Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di perbukitan desa kecil di Jawa Barat. Viona berdiri di teras rumah dinas sederhana yang sudah tiga tahun ia tempati. Di sanalah ia belajar banyak hal, melayani pasien dengan peralatan seadanya, menenangkan ibu-ibu muda yang panik, sampai menertawakan tingkah anak-anak yang sering bermain di halaman klinik kecil itu. Di mejanya berkas-berkas perpindahan sudah tersusun rapi. Tangannya bergetar ringan saat menutup map cokelat terakhir. “Sudah selesai,” gumamnya, meski hatinya terasa berat. “Bu Suster, beneran mau pergi?” suara seorang anak laki-laki memecah lamunannya. Rian, bocah kelas tiga SD yang sering membantunya mengantar obat, berdiri sambil menggaruk kepala. Viona tersenyum lembut. “Iya. Kakak harus pindah ke Tangerang, dekat sama orang tua. Di sini sudah ada bidan baru yang akan gantikan tugas Kakak.” Rian manyun. “Tapi Kakak beda… Kakak suka cerita sama kami, suka bawain permen dan roti juga.” Tiba-tiba beberapa anak lain ikut mendekat. Lala, gadis kecil berambut kepang, memeluk kaki Viona. “Kakak jangan pergi. Kalau sakit, siapa yang kasih obat?” Viona berjongkok, merangkul mereka. Matanya berkaca-kaca. “Tenang, ada Bu Rini nanti. Beliau baik, kan? Dan Kakak janji, kalau libur, Kakak akan mampir. Kalian harus tetap semangat sekolah, jangan malas belajar, ya?” “Janji ya Kak? Jangan lupa!” seru anak-anak hampir bersamaan. Viona mengangguk sambil tertawa kecil. “Janji.” Tak lama, beberapa ibu datang, membawa nasi liwet, ikan asin, dan lalapan. Mereka ingin makan siang bersama sebelum Viona benar-benar berangkat. “Suster, maaf kalau selama ini suka cerewet ya,” kata Bu Wati sambil menyodorkan piring. “Tapi kami semua berterima kasih. Suster sabar banget ngadepin kami, walau kadang suka panik berlebihan.” “Betul, Sus,” sambung yang lain. “Saya nggak akan lupa waktu anak saya demam tinggi tengah malam, Suster langsung datang tanpa mengeluh. Padahal hujan deras.” Viona tersenyum, menahan haru. “Itu memang sudah tugas saya, Bu. Saya justru belajar banyak dari ibu-ibu semua. Kalian kuat, saling bantu, saling dukung. Saya kagum.” Suasana makin hangat ketika kepala desa ikut hadir. Lelaki tua berpeci hitam itu berkata. “Kamu sudah jadi bagian dari desa ini, Nak. Jangan pernah merasa sendiri. Kalau kapan-kapan butuh tempat pulang, desa ini rumahmu juga.” Viona menunduk hormat. “Terima kasih banyak, Pak. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan bapak dan warga desa.” Azan dzuhur berkumandang dari mushola kecil di ujung jalan. Semua orang terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Seolah suara itu menjadi tanda perpisahan. Setelah shalat, saat mobil jemputan dari puskesmas kecamatan tiba, Viona berdiri di depan rumah dinas untuk terakhir kalinya. Anak-anak melambai, beberapa ibu menyeka air mata. “Selamat jalan, Suster Viona! Jangan lupakan kami!” teriak mereka bersamaan.Viona membalas dengan senyum lebar dan mata yang berkaca-kaca. “Jaga diri kalian baik-baik, ya. Kakak sayang kalian semua.” Mobil perlahan melaju meninggalkan desa menuju stasiun. Dari kaca belakang, Viona melihat wajah-wajah yang sudah menjadi keluarganya selama bertahun-tahun. Hatinya berdesir berat, tapi juga penuh syukur. Di kepalanya, satu kalimat berulang-ulang, ini bukan akhir, hanya babak baru. Dan babak itu akan dimulai di Tangerang, di rumah orang tuanya, tempat ia harus menata ulang hidupnya dari awal. Kereta melaju dengan kecepatan sedang, sesekali berguncang ringan di atas rel. Viona duduk dekat jendela, dagunya bertumpu pada telapak tangan. Matanya menatap keluar, mengikuti pemandangan yang terus berganti. Ponsel Viona berdering pelan dan bergetar di genggamannya. Ia segera menggeser layar, terdengar suara ibunya dari seberang. “Nak, sudah di kereta? Kami di rumah sudah menunggu. Ayahmu sebentar lagi berangkat ke stasiun.” “Iya, Ma. Baru saja kereta berangkat. Mungkin satu jam lagi sampai. Rasanya aneh ya, akhirnya benar-benar pulang.” “Pulanglah. Rumah ini terasa sepi tanpamu.” Viona tersenyum, “Aku juga rindu sekali. Nanti kita makan malam bareng ya. Aku kangen masakan rumah.” “Tentu. Semua sudah Mam siapkan. Hati-hati di perjalanan, ya. Jangan tertidur sampai kelewatan stasiun.” sahut ibunya. “Hehe, siap. Sampai ketemu sebentar lagi, Ma.” Sambungan telepon terputus, menyisakan rasa hangat di dada Viona. Kereta melewati jembatan, sungai di bawahnya berkilau terkena cahaya matahari. Perjalanan ini seperti garis penutup sebuah tugas, sekaligus pembuka kisah baru dalam hidupnya.Hari ulang tahun Varen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Viona merasa lega karena rahasia yang ia pendam selama beberapa minggu terakhir akan menjadi kejutan manis untuk suaminya. Pagi itu, ia bangun lebih cepat dari biasanya. Wajahnya tampak segar, ada semangat yang sulit disembunyikan. Sambil menyiapkan sarapan, ia bersenandung riang. Ia sempat melirik jam dinding. Rencananya, sore nanti begitu Varen pulang, Viona, ibu dan mertuanya, mereka akan menyambut dengan kejutan kecil yang sudah disiapkan diam-diam. Viona tersenyum membayangkan wajah terkejut Varen nanti. Namun pagi ini ia harus tetap bersikap biasa saja, agar tidak mencurigakan. Setelah sarapan terhidang, mereka duduk berhadapan di meja makan. Viona menatap lama pada Varen. “Sayang, kamu belum cukuran ya? Kumis kecilmu mulai kelihatan,” kata Viona sambil tersenyum. Varen mengerutkan alis, “Oh ya? Hmm…” Ia melirik jam tangannya. Masih ada waktu. “Sebentar ya,” katanya, lalu masuk ke kamar mandi untuk bercukur. Seme
Varen tiba di rumah, Ia langsung memeluk Theo “Ini untuk anak baik yang selalu jaga maminya,” ucap Varen seraya menyerahkan kotak kecil berisi miniatur mobil kesukaan Theo. Bocah itu melonjak gembira dan langsung memeluk papinya.Setelah menidurkan Theo, Varen menghampiri Viona di kamar. Ia ingin menggoda istrinya dengan sedikit liar seperti biasanya. Ia mendekat, menautkan pelukannya dari belakang, mencium bahu Viona dengan lembut. Ia sudah tak tahan untuk melepaskan hasrat yang tertahan. “Aku kangen..” bisiknya. Varen membalikkan tubuhnya dan membawa istrinya ke pelukan penuh, Viona hanya bisa menatapnya antara ingin dan takut.Sayang, jangan dulu,” kata Viona pelan.Namun Varen sudah terlanjur tenggelam dalam dekapnya. Ia menindih lembut tubuh Viona, namun baru sesaat, Viona memejam, menarik napas pendek ada sesak yang tak bisa dijelaskan.Varen segera menghentikan gerakannya.“Kenapa? Aku menyakitimu?” tanyanya cepat, wajahnya panik.Viona menggeleng pelan, “Enggak… cuma, aku m
Disisi lain, Lino baru saja tiba di bandara. Udara sore yang padat oleh deru kendaraan. Ia menepikan mobil ke area parkir bandara. Ia menatap layar ponselnya, ada pesan terakhir dari Varen semalam. Mereka memang sudah sepakat untuk bertemu hari ini, lalu bersama-sama menuju tempat Pak Jaya untuk memeriksa dan membahas perkembangan kasus para napi sopir yang dulu mereka tangani. Namun begitu ia hendak turun dari mobil, matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya tertahan. Sebuah mobil yang sangat ia kenal. Mobil Varen baru saja melintas di depan matanya dan berhenti tak jauh dari situ. Kening Lino berkerut. “Mobil Varen dibawa siapa?” batinnya curiga. Ia menyipitkan mata, mencondongkan badan sedikit, mencoba mengintip di sela kaca deoan mobil. Tapi begitu melihat siapa yang turun dari sana, napasnya nyaris tercekat. “Viona?” gumamnya pelan, tak percaya. Ia memperhatikan perempuan itu yang kini berdiri dengan wajah berseri, menenteng tas kecil dan melangkah cepat men
Siang itu Radit pulang dr kantornya lebih cepat. Ia telah memesan tiket dan bersiap-siap ke bandara untuk menuju ke Surabaya menyesuaikan penerbangannya dengan Mayang. Setelah menyiapkan tas kecil, ia berangkat ke bandara. Semua terasa begitu cepat. Check in, pemeriksaan tiket, hingga akhirnya suara panggilan terdengar. “Kepada seluruh penumpang tujuan Surabaya, silakan menuju ke pintu keberangkatan...” Ia dan penumpang lainnya berjalan masuk ke koridor menuju pintu pesawat yang sudah ditentukan. Radit sudah mempersiapkan diri, ia memakai kacamata hitam, jaket dan masker, ia tak ingin mayang mengenalinya begitu saja. Dan benar saja, dipintu pesawat, Mayang sudah berdiri dengan pakaian pramugarinya, rambut yang disanggul sempurna dan senyumannya yang lembut menyambut para penumpang yang satu persatu masuk kedalam pesawat itu. Radit sangat deg-degan saat ia hampir dekat dengan kekasihnya. Begitu mereka berhadapan, "Selamat datang." Ujar mayang lembut. Radit hanya tersenyum
Hari itu Viona bangun lebih cepat. Ia bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Ia tak ingin sang mertua mendahuluinya, karena Viona benar-benar tak ingin merepotkan mertuanya. Begitu sampai ke dapur, ia langsung menyiapkan bahan-bahan yang akan di masak. Ia mengeluarkan telur, susu, dan sedikit keju. Rencananya, pagi ini ia akan membuat omelette Tapi begitu adonan telur mulai dituangkan ke wajan panas, perutnya tiba-tiba terasa mual hebat. “Uh…” Ia berlari menutup mulut, hampir tak sempat mematikan kompor. Tubuhnya gemetar menahan rasa tidak nyaman itu. “Uuuk… uuuk…” Tapi tak ada apa pun yang keluar selain air liur dan air mata kecil di ujung matanya. Kebetulan Kartika melihat Viona berlari dengan seolah-olah menahan mual. Ia pun langsung mengambil alih masakan di dapur. Setelah siap, Kartika menghampiri Luna. Ia berseru di pintu toilet "Nak, kau baik-baik saja?" Tak lama Viona keluar dengan wajah pucat, dan sedikit bekas air mata disudut matanya. "Vio tidak apa
Malamnya, Lino baru saja pulang dari futsal, keringatnya masih menempel di pelipis. Tapi entah kenapa, mobilnya melaju ke arah kosan Tari. Hanya sekadar iseng. Mungkin karena pikirannya belum selesai tentang obrolan tadi siang dengan Radit dan tentang seseorang yang kini terus muncul di benaknya.Begitu hampir sampai di depan gerbang, pandangannya menangkap sosok Tari. Gadis itu baru turun dari mobil. Ia tampak rapi, dengan kemeja longgar berwarna lembut. Sebelum masuk, Tari sempat berbincang dengan seseorang di dalam mobil. Terdengar dari suaranya itu seperti Laki-laki. Tawa kecil Tari terdengar samar di antara deru mesin.Lino berhenti melangkah.“Siapa dia?” gumamnya pelan, matanya menatap lama ke arah mereka.Senyum Tari yang biasanya membuatnya tenang kini terasa mengusik. “Senyumnya itu… menyebalkan,” ujarnya lirih, nyaris seperti orang yang sedang cemburu tapi belum berani mengakuinya bahkan pada dirinya sendiri.Ia menghela napas, lalu memilih segera memutar balik mobilnya,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments