Share

Kinan yang jahil

WAJAH ASLI KELUARGA SUAMIKU

(ketika aku pura-pura bangkrut) 

BAB 5

"Aku gak sangka kamu memiliki watak yang tega, Kinan. Sungguh selama ini aku pikir kamu adalah istri yang penurut, yang lugu dan …."

"Dan yang gampang kamu bodoh-bodohi. Begitu kan maksudmu? Aku gak peduli ya kamu atau kalian mau ngomong apa. Di sini aku yang dirugikan, memangnya apa fungsiku sebagai kepala keluarga Mas Fatih? Kerjamu hanya meminta-minta pada suamiku. Bukankah kau tahu kalau dia hanyalah pengangguran berat? Sadar diri seharusnya. Setidaknya kalau mendompleng hidup sama orang lain itu mulut harus dijaga. Bukannya sok seolah-olah kami adalah pengendali segalanya. Kalian pikir aku sapi perah kalian apa? Sudah cukup ya selama setahun ini aku kalian jadikan mesin atm berjalan. Sungguh bodoh kukira awalnya kebaikan kalian adalah ketulusan nyatanya hanyalah modus belaka. Cuih!" 

"Udah gak usah banyak cingcong, buruan mana uangnya. Kalau gak mau bayar silahkan angkat kaki dari rumah ini. Aku bukan penampungan orang-orang bermental pengemis seperti kalian! Pergi sana!" lanjutku lagi terus menyerocos dengan kekuatan super 2500 volt. 

Mas Fatih dan mbak Eka rahangnya terlihat mengeras. Mungkin saja mereka merasa harga diri mereka telah terkoyak oleh ucapanku barusan. Hah, bodo amat peduli setan. 

"Awas kamu kalau aku dan suamiku sudah kaya jangankan mulutmu yang kurang ajar itu bahkan rumahmu yang disita bank pun sanggup aku beli." 

Aku menyunggingkan senyuman sinis mendengar ucapan jumawa mbak Eka. 

"Terus gue harus bilang waw gitu? Gak usah banyak bacot! Buktikan saja toh segala sesuatu tanpa bukti itu hoaks. Dengar ya hoaks! Sudah sana pergi! Empet aku lihat muka kalian. Dan kamu, Mas, kalau mau ikut mereka pergi ya silahkan. Siapa tau kamu juga gak tega membiarkan saudaramu menjadi gembel. Gih sana ikuti jejak mereka dengan begitu aku bisa dengan mudah menggugat cerai kamu ke pengadilan."

"Kok cerai? Maksudnya kamu mau pisah sama aku?" 

"Menurutmu? Satu tahun lho kita menikah dan selama itu kamu gak pernah kasih aku nafkah. Dalam buku nikah selama tiga bulan berturut-turut kamu gak nafkahin aku saja aku berhak menggugatmu ke pengadilan. Masih baik aku masih mau bertahan sama pecundang sepertimu."

Mas Andra hanya diam dan aku bergegas kembali ke dapur karena pekerjaanku mencuci piring yang belum selesai.

"Mas, Mbak, sebaiknya kalain ke kontrakannya Ibu dulu saja. Biar nanti aku bujuk Kinan. Atau nanti biar aku minta Kinan untuk menambah uang bulanan yang ia jatah buat Ibu. Kan nanti kalian bisa minta ke Ibu uangnya. Gimana?"

"Janji ya? Awas kalau bohong! Ingat Andra hutang budimu sama aku itu banyak! Kamu hutang nyawa juga sama aki jadi sudah kewajibanmu sekarang untuk membalasnya karena hutang nyawa juga dibawa sampai mati. Harap kamu paham itu."

"Iya, Mas, aku paham. Sudah ya kalian ke rumah Ibu duku. Biar aku bujuk si Kinan dulu. Ini ada sedikit uang untuk pegangan kalian di jalan." 

"Kok cuma segini? Mana cukup buat naik taksi."

"Naik angkot saja dulu kan bisa. Aku gak ada uang lagi. Kan kalian tahu kalau istriku baru saja bangkrut."

"Ck! Yaudah aku tunggu janji kamu."

 Masih dapat kudengar dengan telingaku pembicaraan mereka karena rumah ini hanya berukuran 10x9 meter yang artinya hanya 90 meter saja luas dari rumah ini. Sudah kebayang bukan betapa kecilnya rumah yang aku tempati saat ini. Meskipun mereka berbicara lirih tetap saja telingaku masih dapat menangkap percakapan itu. 

Laras memang sengaja membeli rumah seukuran segini karena target pasarnya adalah masyarakat menengah yang hanya sanggup membayar uang sewa yang tidak terlalu tinggi. Beruntunglah Laras memiliki rumah model begini lumayan banyak sehingga bisa kupakai salah satunya untuk melancarkan sandiwaraku ini. 

"Ngapain ngeliatin aku begitu?" tegurku pada mas Andra yang kini sudah duduk di kursi makan yang ada di dapur ini. Satu set meja dan kursi makan itu juga Laras yang menyiapkannya. 

"Sayang, kamu kenapa sih kok tiba-tiba berubah drastis begitu? Keluargaku kan keluargamu juga. Gak sepatutnya lah kamu seperti itu. Kalau gak ada Mas Fatih mungkin kamu gak akan pernah ketemu dan menikah sama aku. Jasa dia dalam hidupku itu besar. Seharusnya kamu hargai itu." 

Aku menghentikan pergerakan tanganku yang sudah mulai membilas beberapa piring kotor yang tadi sempat tertunda aku cuci karena kedatangan tamu tak diundang. 

"Dia berjasa dalam hidupmu kan? Bukan hidupku jadi ngapain aku berbasa-basi sama mereka? Kalau mau minta balas nasa ya sama kamu lah ngapain kamu ikutin aku serta? Kalau seandainya kamu hilang nyawa karena gak ditolong sama Masmu dan gak ketemu aku malah yang ada aku bersyukur. Kamu mau tau penyesalan terbesarku adalah aku menerima pinanganmu terlalu cepat tanpa tahu seluk beluk keluargamu hanya karena aku percaya kalau kamu adalah orang baik. Sayangnya semua itu kamu manfaatin aku untuk kamu jadikan sapi perah keluargamu."

"Ya bukan begitu maksudnya. Apa salahnya kamu tolong aku untuk balas budi sama Masku itu. Kamu kan istriku kalau bukan sama kamu lalu sama siapa lagi?" 

"Heh, Mas! Balas budi juga ada aturannya keles. Enggak semua yang mereka minta dan mereka inginkan langsung dituruti. Kamu pikir cari duit gampang? Nyatanya kamu aja disuruh kerja juga gak mau kan? Alasanmu yang inilah yang itulah dan ujung-ujungnya aku juga kan yang berjuang?" 

"Ya seharusnya kamu itu bersyukur karena mendapatkan suami tampan sepertiku. Kalau aku mau banyak lho yang mau menikah sama aku bahkan yang gadis sekalipun."

"Oh jadi menurutmu begitu? Yaudah sana carilah gadis lain dan aku akan dengan senang hati menyerahkanmu secara sukarela sama gadis bodoh itu."

"Ck! Dahlah percuma ngomong sama kamu gak ada benarnya aku di mata kamu. Mending aku lanjut tidur lagi."

"Cari kerja sana kalau mau nolongin orang! Sok berlagak dermawan tapi uangnya hasil merampas hak istri. Giliran disuruh kerja banyak banget alesanmu! Dasar parasit!" 

Tidak ada jawaban dari mas Andra. Mungkin saja dia sudah kembali ke kamar dan kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu karena kedatangan mas Fatih dan istrinya tadi. 

"Hah, ingin sekali rasanya aku langsung mengajukan gugatan tapi apa iya kalau hanya bukti dia tidak menafkahiku maka akan langsung dikabulkan sama hakim? Huft, entahlah aku pusing. Biar nanti aku konsultasikan lagi sama Laras."

***

"Kinan! Andra! Buka pintunya!"

Aku yang baru saja rebahan sembari menonton televisi seketika terkejut mendengar suara teriakan dari arah luar sana. Rumah ini memang ada pintu gerbangbya dan selalu aku kunci karena takut jika ada orang iseng yang masuk dan berniat jahat. Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati bukan?

Kutajamkan kembali pendengaranku saat suara itu kembali terdengar. 

"Ibu? Mau apa dia ke sini?" 

Aku pun beranjak dari tempatku dan bergegas membukakan pintu karena aku yakin pasti jika dibiarkan maka suara Ibu akan semakin keras dan bisa-bisa semua tetangga pada datang karena terjadi kericuhan di sini. 

"Ada apa sih, Bu? Teriak-teriak kayak di hutan aja?! Bisa gak sih datang ke rumah orang itu yang sopan?!" 

"Suka-suka Ibulah! Ini kan rumah anak Ibu!" 

"Rumah siapa? Ini kan rumah kontrakan dan lagi aku yang bayar."

"Halah sama saja kamu kan istrinya Andra jadi ya apa yang kamu lunya ya milik dia juga."

"Terserah Ibu aja lah mau ngomong apa. Ada apa kesini?"

"Mana sini uangnya." Ibu mengekoriku masuk ke dalam rumah karena pintu gerbang sudah aku buka. 

Aku menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. 

"Uang? Uang apa ni?" 

"Uang bulanan Ibu lah. Kamu kan bulan ini belum kasih Ibu uang bulanan."

"Kok minta sama aku? Minta sama anakmu lah. Kan dia yang punya tanggung jawab."

"Ya kamu kan istrinya. Wajar kalau aku minta sama kamu sebagai menantu dn sudah seharusnya kamu berbakti."

"Idih, ogah. Noh minta sama anakmu yang masih sibuk ngorok daritadi. Kalah sama ayam yang sejak subuh udah patok-patok cari makan."

"Jangan sembarangan kamu ya bandingin anakku sama ayam! Dasar menantu durhaka!" 

"Lalu Ibu apa! Mertua zalim? Jadi Ibu mau minta uang kan?" Ibu mengangguk dengan penuh keyakinan sedangkan aku sudah menyunggingkan senyum meski samar. Seketika ide jahilku kumat dan akan aku lakukan kali ini meski sedikit ekstrim. 

"Baik, tunggu di sini ya lalu nanti ikut aku."

"Mau apa sih?" 

"Liatin aja dulu gak usah banyak tanya."

Aku bergegas menuju ke belakang dan masuk ke dalam kamar mandi. Ibu mengernyitkan dahi saat melihatku membawa ember dengan air separuh di dalamnya. 

"Kamu mau apa sih?" 

"Udah deh liatin aja! Ribet bener sih toge kisut!" 

"Kurang ajar kamu ngatain aku toge kisut!"

"Ya kan memang Ibu sudah kisut. Tuh kulitnya udah pada keriput begitu ya sadar diri aja lah."

Ibu terus menyerocos tanpa jeda sudah kayak kereta kelebihan bahan bakar. Aku kembali meninggalkan Ibu menuju kamar yang digunakan mas Andra untuk tidur. Di rumah ini memang ada dua kamar dan masing-masing kamar sudah ada isinya lengkap kasur dengan lemari yang tentu saja sudah dipersiapkan oleh Laras. 

"Apa yang mau kamu lakukan!" 

"Kita hitung saja ya, Bu, satu, dua, tiga!"

Byur ….

"Banjir bandang! Tolong aku tenggelam, tolong!" 

Pletak! 

Aku mengayunkan ember yang sudah kosong ke kepala mas Andra. 

"Bangun hei koreng nangka! Itu si toge kisut udah nyerocos aja dari tadi minta duit!"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rindhie
Bagus ceritanya, tp sayang Kinan membalas dg bahasa yg kasar dan tdk sopan pd mertua .. Hrs nya membalas dg cara cantik & elegan
goodnovel comment avatar
Esteria Manjorang
mantapdeh seru banget
goodnovel comment avatar
Dapur Nenk Lia
sumpah dah seru dan kocak ini novel critanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status