"Bagaimana, Ras? Dokter menyarankan anakmu untuk operasi." Dengan berurai air mata Ibu menyongsongku ke pintu rumah sakit, wajah tuanya sembab karena air mata yang tak kunjung berhenti.
Namaku Laras, seorang ibu muda berusia dua puluh sembilan tahun, dengan satu orang anak laki-laki berusia tujuh tahun.
Ya, sudah beberapa bulan terakhir ini aku, Ibu dan Langit--anak semata wayangku tinggal di sini, di sebuah rumah sakit, karena Langit divonis menderita jantung bocor. Aku tak mengerti, kenapa di usianya yang baru tujuh tahun, menderita penyakit menakutkan seperti itu.
Badanku terasa lemas, tulang belulang rasanya tak berdaya, beberapa hari yang lalu dokter juga sudah bicara denganku mengenai biaya untuk operasi Langit, jumlahnya sangat fantastis. Apalagi bagiku yang hanya seorang pelayan kafe.
Lantas ke mana ayahnya Langit? Entahlah, aku pun tak tahu di mana keberadaannya sekarang. Aku sudah tak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi dengannya setelah dia menalakku empat tahun yang lalu, demi gundik selingkuhannya, dan semenjak saat itu akulah yang mengurus Langit, mencukupi segala kebutuhannya meski harus banting tulang.
Kudekati Langit yang terbaring di ranjang di ruangan serba putih ini, aroma obat-obatan sangat menyengat menusuk penciumanku, selang infus menancap di pergelangannya, beberapa kabel juga melekat di dadanya, entah alat apa itu aku tak tahu.
Wajah anakku sangat pucat, matanya terpejam, dan tubuhnya yang kian hari semakin kurus.
"Sayang ... kamu harus kuat, ya. Mama janji akan berusaha sekuat tenaga agar kamu bisa di-operasi, mama janji." Kubelai rambutnya yang sudah lebih panjang dari biasanya.
Ibu mendekat dan memegang bahuku sambil terus terisak.
"Ras ... bagaimana?"
"Ibu tenang saja, pasti akan kuusahakan." Apalagi yang bisa kulakukan selain menenangkan hati Ibu, meskipun sejujurnya aku juga belum tahu jalan keluarnya, ke mana akan kucari uang sebanyak itu?
***
Sudah hampir semua kontak yang tersimpan di gawai kuhubungi, tetapi mereka hanya minta maaf dan membantuku dengan doa. Aku maklum, karena hampir semua teman-temanku berasal dari kalangan yang sama denganku, kerja hari ini untuk makan besok pagi.
Tinggal beberapa kontak lagi yang belum kuhubungi, aku sudah pesimis, dengan ragu kupencet tombol hijau pada kontak bernama Zara.
"Assalamualaikum, Ras? Bagaimana keadaan Langit?" Zara adalah salah satu sahabatku di kafe, namun kami jarang bertemu karena berbeda shift.
Aku terisak, jawaban apa yang harus kuberikan? Karena mulutku tak sanggup mengatakan kalau Langit sedang tidak baik-baik saja.
"Apa dia harus dioperasi segera?"
"Iya," jawabku disela-sela isakan.
"Lalu, kamu belum mendapatkan biayanya?" tebak Zara.
"Cepatlah ke kafe, aku ada usul, semoga bisa membantu."
Langsung saja kuputuskan panggilannya, menyambar tas kecil yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang Langit.
"Sayang ... mama pamit sebentar, ya. Doakan agar mama bisa mendapatkan jalan keluarnya. Mama sayang kamu, apa pun akan mama lakukan agar kamu sembuh." Tak lupa kukecupi keningnya.
"Kamu mau ke mana, Ras?" tanya Ibu yang sedari tadi mengaji di samping Langit.
"Laras mau keluar sebentar, Bu, doakan Laras." Kupeluk erat tubuh wanita yang selalu berada di sampingku itu. Hanya beliaulah satu-satunya orang yang selalu mendampingiku, karena memang aku tak punya siapa-siapa lagi. Ibu adalah anak tunggal, sedangkan ayah sudah meninggal sejak aku masih remaja, dan sejak saat itu pula keluarganya tak mau tahu lagi tentang kami.
"Hati-hati, Nak. Ingat kami yang menunggumu di sini." Selalu itu pesan Ibu ketika aku akan pergi, mengingatkan kalau mereka selalu menanti kepulanganku.
Kupacu motor butut yang kubeli beberapa tahun yang lalu, sebagai sarana untukku pergi bekerja. Meskipun motor ini kujual, uangnya tak akan cukup untuk biaya operasi Langit.
Di kelamnya malam, di bawah cahaya bulan dan bintang, kususuri jalanan dengan penuh pengharapan.
Kuusap air mata yang tak henti-hentinya menetes.
"Aku harus kuat! Aku pasti kuat!" Kutekankan kata-kata itu dalam hati.
Setelah tiba di kafe, kuparkirkan motorku, setengah berlari aku masuk, mataku fokus mencari keberadaan Zara.
"Ras ...." Dari salah satu meja yang terletak di sudut kafe, Zara memanggilku. Kebetulan kafe tidak terlalu ramai, jadi Zara tidak terlalu sibuk.
"Bagaimana? Apa kamu bisa membantuku?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Aku tidak bisa membantumu, tapi aku punya jalan untuk membantumu. Namun, aku tak yakin kau akan mau."
"Katakan!"
Panjang lebar Zara bercerita padaku, dan intinya dia menyuruhku untuk menjual tubuh pada seseorang.
Nurani menolak, tetapi mengingat keadaan Langit yang butuh pertolongan cepat, akhirnya aku menyetujuinya. Tak ada yang lebih berarti dari pada Langit, meskipun itu harga diriku sendiri. Tak ada pilihan lain, ke mana aku harus mencari biaya sebanyak itu dengan cepat kalau tidak mengikuti saran Zara.
***
Keesokan harinya setelah selesai bekerja, aku mendatangi alamat yang sudah diberikan Zara padaku. "Aku sudah membicarakan soal ini pada orang itu," ucap Zara padaku ketika memberikan alamat yang harus kudatangi.
Hotel ... dadaku berdebar melihat tulisan besar yang terpampang pada sebuah gedung bertingkat.
Setelah turun dari motor, kurapikan rambut dan pakaian yang kukenakan. Dengan dada berdebar, aku mulai melangkahkan kaki ke tempat yang belum pernah kumasuki seumur hidupku.
Gawai dalam tasku bergetar, ketika kulihat ternyata sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
"Kamar nomor 304!" Terdengar suara bariton dari seberang sana, dan aku yakin itu pasti orangnya. Orang yang diceritakan Zara padaku, orang yang akan memberiku bantuan untuk biaya pengobatan Langit.
Sekilas aku mengangguk pada resepsionis yang berada di balik meja kerjanya.
Menaiki lift dan menyusuri lorong, kini aku sudah berdiri di depan kamar dengan nomor 304. Jantungku berdegup semakin kencang.
"Ya Allah, maafkan aku," lirihku.
Sebelum aku mengetuk pintu, pintunya sudah terbuka dari dalam, dan di hadapanku berdiri seorang laki-laki berpenampilan perlente. Tubuhnya tinggi tegap menjulang, berkulit putih, hidungnya bangir dan memiliki bola mata berwarna coklat, alisnya yang tebal menambah kesan tegas garis wajahnya. Ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang ada dalam pikiranku. Karena ketika Zara menceritakan, yang ada dalam pikiranku adalah seorang laki-laki tua, bertubuh pendek dan perutnya yang buncit.
"Masuk!" titahnya sembari memberiku jalan.
Dengan langkah ragu aku memasuki ruangan mewah itu. Sebuah ranjang ukuran besar terhampar di sana, satu set sofa berwarna coklat tua, televisi berukuran besar juga ada di sana. Entah apalagi setelah itu, karena aku lebih memilih untuk menundukkan pandangan.
"Kamu Laras?" tanyanya sambil mengenyakkan tubuh di kursi, tepat di hadapanku.
"I-iya, Pak," sahutku terbata.
"Pak?" Nada suaranya tampak keberatan mendengar panggilan yang kusematkan padanya.
"Ma-maaf."
"Panggil aku Bara!"
"Ba-baik." Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi gagap.
"Jangan tegang. Santai saja. Makanlah dulu! Sepertinya kamu butuh tenaga," ucapnya sambil menyodorkan seporsi nasi goreng padaku, sepertinya sudah sengaja dia siapkan sebelum aku datang.
"Maaf, saya tidak lapar!" tolakku.
Sial! Dasar perut tidak bisa diajak kompromi. Rutukku.
Laki-laki bernama Bara itu tertawa sinis,. "Sudah, jangan terlalu buru-buru. Makanlah!" Dia mengulangi perintahnya untuk yang kedua kali.
"Kau butuh energi!" Tubuhku terasa mengecil mendengar ucapannya. Karena sebelumnya aku belum pernah dihadapkan dengan keadaan seperti ini.
Dengan canggung aku menyuap sedikit demi sedikit nasi goreng yang sudah dia siapkan. Benar kata laki-laki itu, kalau setelah ini aku pasti butuh energi. Bukan untuk 'menghadapinya', tetapi untuk menghadapi kenyataan."Laras? Benar itu namamu?" Suaranya mengejutkanku hingga aku tersedak.Hampir saja aku meraih gelas, Bara sudah terlebih dahulu mengulurkannya padaku."Te-terima kasih," ucapku disela-sela batuk yang tak kunjung berhenti."Iya, Pak, nama saya Laras," sahutku setelah lebih tenang."Pak? Sudah saya katakan, saya belum setua itu untuk kau panggil PAK!" tegasnya, matanya menyipit memandangku."Ma-maaf, mak-maksud saya, Bara."Bara menggeser piringnya yang sudah kosong ke tengah meja. "Katakan, berapa yang kau butuhkan!"Sejenak aku berpikir, jika diukur dengan uang tentu berapa pun itu tak akan bisa membeli h
Mobil melaju membelah jalanan pusat kota yang kebetulan tidak terlalu ramai.MobilHening ... hanya musik klasik yang mengiringi perjalanan kami."Ke mana laki-laki ini akan membawaku?" gumamku. Memang aku sudah tidak sabaran, tapi bukan seperti apa yang ada dalam pikiran Bara. Yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya segera mendapatkan uang, supaya Langit bisa segera diberi tindakan.Setelah hampir setengah jam perjalanan, Bara menepikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah berpagar tinggi. Setelah membunyikan klakson, pagar terbuka, tampak seorang laki-laki berseragam safari mendorongnya, agar mobil Bara bisa masuk.Mataku tak berkedip melihat hal menakjubkan yang berada di balik pagar tinggi itu. Sebuah bangunan dua tingkat yang berdiri kokoh dan sangat mewah sekali, sebelum sampai ke rumah tersebut, kami melewati sebuah taman dengan lampu kelap-kelip yang menghiasinya. Aku yakin jika melihatnya di siang hari pasti akan lebih indah.
Sedetik, dua detik, tiga detik ... dan entah sudah berapa detik benda kenyal itu menempel di bibirku. Napasku terasa sesak dibuatnya.Bara menarik dirinya dan mengusap lembut bibirku. Sedangkan aku masih belum berani membuka mata. Malu sekali rasanya. Aku yakin sekarang wajahku sudah memerah, seketika tubuhku juga terasa hangat."Cukup? Apa kamu melihat bukti yang lain?" tantang Bara.Perlahan aku membuka mata. Aku melihat ekspresi Sesil yang entahlah. Matanya melotot dan mulutnya ternganga. Mungkin dia tak kalah shock-nya denganku.Aku berusaha bersikap santai, menutupi kegugupan dan rasa tak menentu."Ayo, Sayang, kita ke depan." Bara kembali merangkulku. Kami meninggalkan Sesil yang masih mematung di tempatnya berdiri. Tak lama kemudian Fahri menyusul Sesil ke belakang. Seperti dua orang yang sedang bermusuhan, baik Bara maupun Fahri tak saling bertegur sapa saat berpapasan.&n
Mengesampingkan rasa maluku pada Bara, ada suatu kebahagiaan yang menyeruak di hati, mengingat sebentar lagi anakku--Langit akan segera dioperasi. Semoga Tuhan memberikan kesembuhan pada putra semata wayangku itu.Senyuman tak pernah henti membingkai wajahku selama perjalanan kembali menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk segera membagi kebahagiaan ini dengan Ibu, juga Langit.Bulan sabit di langit tampak tersenyum, seakan turut merasakan kebahagiaanku, pun dengan hamparan bintang yang berlomba mengedipkan sinarnya seperti sedang menggodaku. Seumur hidup, belum pernah aku merasakan kebahagiaan yang teramat seperti ini.Kutepikan motor sejenak ketika melewati penjual pecel lele, memesan dua porsi untuk kumakan bersama Ibu dan Langit. Selembar uang seratus ribuan yang sengaja kusisihkan akhirnya kubelanjakan juga.Langit pasti senang sekali jika aku datang dengan membawakan makanan favoritnya.
Bergegas kudorong tubuhnya. Entah dapat kekuatan dari mana, sehingga dengan sekali dorong tubuh Bara terpental dan kembali terjungkal di lantai."Aduh ...." Bara mengerang.Tika dan Miranda segera membantu Bara berdiri."Ma-maaf, saya tak sengaja," ucapku sembari menunduk, tak kuat menantang tatapannya yang tajam.Bara mengibaskan tangannya di udara, "Segera bersiap! Kalian berdua bantu dia!" perintahnya sambil memutar langkah. Tangannya mengelus-elus bokongnya yang kesakitan."Ada apa?" Miranda mendekat padaku dan berbisik."Hah? Entahlah," sahutku, karena aku bingung bagaimana menjelaskannya.Serentak Tika dan Miranda menggelengkan kepala dan tersenyum. Entahlah, entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Ya sudah ... ayo, segera bersiap!" Tika berjalan ke lemari dan membantuku memilih baju, sedangkan Miranda mempersiapkan peralatan make-up. "Bara siapa?" Iseng kutanya pada Tika yang sedang memegang satu gaun di masing-masing tangannya."Nona belum kenal siapa dia?" Wanita berkulit
Bara keluar dari mobil, kemudian berputar dan membukakan pintu untukku, tangannya terulur bak seorang pangeran menyambut permaisurinya.Aku tak bergeming."Come on," ucapnya.Dengan ragu kusambut uluran tangannya. Bara menggenggamnya dan sedikit meremasnya."Sepertinya kamu kedinginan," ucap Bara. Dia semakin mendempetkan tubuhnya padaku saat kami berjalan masuk ke dalam kafe.Ya, aku memang kedinginan, karena darahku rasanya seakan berhenti mengalir."Rileks, jangan tegang begitu," bisiknya di ubun-ubunku.Di tengah-tengah kafe aku melihat ada sekumpulan orang, salah satu dari mereka melambaikan tangannya ke arah kami seakan memberi isyarat."Santai, jangan lupa tersenyum dan ingat jangan banyak bicara. Tetaplah berada di sampingku dan jangan pernah lepaskan genggamanku, karena apa yang kau lihat nanti bukanlah kejadian yang sebenarnya. Bisa saja mereka tersenyum di depanmu, tetapi mencibir di belakang, bisa saja mereka baik di depanmu, namun punya rencana lain di belakangmu. Paham?
"Ayo kembali ke depan!" Bara melangkah keluar dan meninggalkanku yang masih mematung di dalam toilet. Pertemuanku dengan Denis membuat perasaanku sedikit terganggu, tetapi ucapan Bara yang seakan menganggap kalau aku adalah seorang wanita sewaan lebih terasa menyakitkan, hatiku rasanya seperti di remas-remas.Mungkin karena aku yang masih mematung, Bara kembali masuk ke dalam toilet, dia menggenggam tanganku dan membimbingku keluar."Tenang, jangan sampai orang-orang menyadari kegugupanmu. Santai," ucap Bara mengingatkan.Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, untuk kembali menetralkan perasaanku."Udah?" tanya Bara, yang hanya kujawab dengan anggukan. ***"Ayo, Sayang, duduk!" Bara menggeser kursiku agar lebih dekat dengannya.Di bawah meja dia kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, sesekali dia usap-usap seperti hendak memberi ketenangan padaku. Ah, seandainya dia melakukan ini
Saat otakku masih mencerna apa yang terjadi, mobil Bara sudah melaju."Ternyata dia benar-benar ingin ke sini," batinku setelah mobil mewah tersebut berhenti di sebuah bangunan putih tiga tingkat, tempat di mana Langit dirawat."Ayo, turun!" ucap Bara sembari membuka sabuk pengamannya."Tunggu!" Aku mencekal tangan Bara ketika dia hendak meraih parsel buah dan kantong yang dia letakkan di kursi belakang.Bara menatap pada tanganku yang mencekal tangannya."Maaf, aku tidak bermaksud lancang." Bergegas kulepaskan peganganku pada tangannya."Tidak apa-apa, sepertinya kau sudah punya kemajuan, yaitu menyentuhku, it's not bad, aku suka itu.""Bukan seperti itu, tetapi aku mohon ... kalau kau mau bertemu dengan anakku, tolong jangan bicarakan kebenaran antara kita pada ibuku nanti. Aku mohon. Aku tidak ingin beliau tahu kalau ... kalau anaknya sekarang adalah seorang wanita bayaran." Aku tertunduk, entah kenapa saat mengingat hal itu hatiku merasa tersentil, meskipun sejauh ini perlakuan Ba