Dengan canggung aku menyuap sedikit demi sedikit nasi goreng yang sudah dia siapkan. Benar kata laki-laki itu, kalau setelah ini aku pasti butuh energi. Bukan untuk 'menghadapinya', tetapi untuk menghadapi kenyataan.
"Laras? Benar itu namamu?" Suaranya mengejutkanku hingga aku tersedak.
Hampir saja aku meraih gelas, Bara sudah terlebih dahulu mengulurkannya padaku.
"Te-terima kasih," ucapku disela-sela batuk yang tak kunjung berhenti.
"Iya, Pak, nama saya Laras," sahutku setelah lebih tenang.
"Pak? Sudah saya katakan, saya belum setua itu untuk kau panggil PAK!" tegasnya, matanya menyipit memandangku.
"Ma-maaf, mak-maksud saya, Bara."
Bara menggeser piringnya yang sudah kosong ke tengah meja. "Katakan, berapa yang kau butuhkan!"
Sejenak aku berpikir, jika diukur dengan uang tentu berapa pun itu tak akan bisa membeli harga diriku, namun apa boleh buat, aku sedang butuh biaya, nyawa anakku sedang di ujung tanduk.
"Seratus tiga puluh lima juta!" jawabku seadanya.
Bara menganggukkan kepalanya, sepertinya uang sebanyak itu bukanlah masalah baginya.
Laki-laki yang sepertinya bukan keturunan asli Indonesia itu merogoh kantong kemeja yang dia pakai dan mengeluarkan gawainya.
"Masuklah!" perintahnya singkat, pada lawan bicaranya.
Pikiran buruk mulai menggerayangi otakku, "Apa laki-laki ini akan menjualku pada orang lain? Apa dia seorang muncikari? Atau ...." Aku bergidik ngeri saat membayangkan kalau Bara adalah kelompok sindikat perdagangan manusia yang memperjual belikan organ tubuh bagian dalam. Tanganku mencengkeram erat tas lusuh yang kupakai. Tak bisa kubayangkan jika hidupku harus berakhir sekarang. Bagaimana nasib anak dan ibuku?
Saat aku sibuk menduga-duga, terdengar suara ketukan pintu. Aku menggeser dudukku ke ujung sofa. "Tuhan ... tolong selamatkan aku," batinku.
Aku memejamkan mata. Terdengar suara pintu terbuka dan detak sepatu yang beradu dengan lantai, sedangkan aku masih enggan membuka mata untuk melihat siapa yang baru saja masuk.
"Ini orangnya. Lakukan semaksimal mungkin!" titah Bara.
"Baik, Tuan," sahut seorang perempuan.
"Hei, kamu tidak tidur, kan?" Aku tersentak mendengar ucapan Bara yang sudah bisa kupastikan tertuju padaku. Aku membuka mata dan melihat ada dua orang wanita berpenampilan anggun sedang berdiri di samping Bara, mereka tersenyum padaku, namun membuatku semakin ketakutan. Apalagi melihat dua buah tas yang tergeletak di lantai. Itu pasti peralatan bedah mereka, gumamku dengan bulu kuduk merinding. Aku menggelengkan kepala, untuk mengusir rasa takut.
"Cepat lakukan tugas kalian!" perintah Bara.
"Ayo, Nona, ikut kami." Aku semakin takut saja ketika orang itu meraih lenganku. Memberontak tak mungkin, terpaksa aku mengikuti saja.
Satu orang menggandeng tanganku, dan satu orang lagi mengikuti kami dari belakang sambil menenteng dua buah tas yang tadi tergeletak di lantai.
"Mau mereka apakan aku?" Hati kecilku masih terus bertanya.
Aku membalikkan kepala untuk melihat Bara, ternyata dia sudah anteng duduk di sofa sambil memainkan gawainya.
"Apa sebenarnya rencana mereka?" gumamku dalam hati.
"Duduk dulu, Nona. Kenalkan nama saya Miranda, dan itu teman saya, namanya Tika." Wanita yang sedari tadi menggandengku memperkenalkan dirinya.
"Maaf, nama Nona siapa?" tanya perempuan bernama Miranda padaku.
"Aku? Oh, namaku Laras. Ya, Laras!" jawabku gugup.
"Rileks saja Nona, jangan tegang begitu," timpal Tika sambil meletakkan tas yang dia bawa ke lantai.
Aku duduk di kasur yang terasa sangat empuk, sebelumnya aku belum pernah merasakan kasur seempuk itu, maklum, aku hanya orang dari kalangan menengah ke bawah.
Tika membuka tas yang sedari tadi menjadi momok yang sangat menakutkan. Mataku tak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik kedua wanita itu. Dan juga, sudah memasang posisi siap untuk kabur jika mereka melakukan hal yang aneh-aneh.
Resleting yang menautkan tas itu sudah terbuka seutuhnya, dadaku semakin berdebar, tak sabar untuk segera mengetahui apa isi di dalamnya.
Huft ... akhirnya aku bisa bernapas lega, ternyata alat-alat berupa senjata tajam tidak ada di sana, melainkan beberapa macam alat kecantikan berupa make-up dan kawan-kawannya, yang aku sendiri tak paham. Tetapi setidaknya itu bukanlah satu hal yang menakutkan.
"Bisa kita mulai, Nona?" tanya Miranda padaku. Wanita yang kuperkirakan lebih tua beberapa tahun dariku itu mulai mengikat rambutku, mungkin agar mereka bisa leluasa memolesi wajahku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan sembari menekan debaran di dada yang belum stabil.
***
Entah sudah berapa lama dua orang wanita itu memolesi wajahku. Setelah itu, mereka juga mengeluarkan beberapa gaun dari dalam tas yang satunya lagi dan menyuruhku untuk mencoba satu per satu gaun tersebut di ruang ganti yang sudah disediakan.
Mataku tak berkedip melihat sekitar enam atau tujuh gaun indah yang tersaji di depan mata, aku yakin gaun-gaun itu pasti berharga fantastis. Namun, nyaliku tiba-tiba menciut, kekagumanku perlahan sirna mengingat kalau Bara melakukan ini agar aku terlihat cantik dan menarik di matanya. Sehingga ... ah, sudahlah, tak ada yang lebih penting daripada anakku. Aku harus mendapatkan uang agar nyawa Langit tertolong. Apa pun caranya!
Setelah memakai satu gaun, Miranda memintaku untuk menunjukkannya pada Bara, tetapi mereka tidak memberi kesempatan padaku untuk sekadar melihat cermin. Peraturan macam apa itu, Bara akan melihat penampilanku, sedangkan aku sendiri dilarang.
Tak lupa, Tika memakaikan sebuah sepatu hak di kakiku. Beruntung dulu, waktu SMA aku pernah ikut ekskul modeling di sekolah, hingga setidaknya aku punya pengalaman untuk memakai sepatu hak tinggi.
Aku sudah berdiri di hadapan Bara, namun sepertinya laki-laki itu tidak menyadari.
Aku berdehem, Bara mengalihkan pandangannya padaku yang sedari tadi fokus pada gawainya.
Sejenak dia tertegun, matanya tak berkedip memindaiku dari ujung kaki ke ujung kepala. Kemudian dia menggelengkan kepala. "Ganti!" titahnya.
Tika dan Miranda yang sedari tadi berdiri di dekat lemari memberi kode padaku agar mendekat pada mereka, lalu menyuruhku untuk mengganti gaun yang kedua.
Masih sama seperti yang pertama, Bara menyuruhku untuk menggantinya lagi, hingga pada gaun yang terakhir, laki-laki itu baru menganggukkan kepala. Sebuah mini dress berwarna hitam dengan belahan dada yang rendah dan transparan di bagian tangannya, panjangnya beberapa senti di atas lutut, juga ada belahan di bagian paha sebelah kiri.
Aku menyilangkan tanganku di dada, menutupi "gundukan' yang nyaris tersembul keluar.
"Ini baru cocok!" ucapnya.
Lega juga rasanya, karena aku sudah capek berkali-kali mengganti pakaian.
"Ayo, Nona, kita lihat penampilanmu. Selera Tuan Bara memang tidak bisa diragukan lagi." Miranda menggandengku menuju cermin besar di sudut ruangan, tepatnya di dekat jendela.
Aku tertegun, nyaris tak mengenali diriku sendiri. Pantulan diriku di cermin terlihat sangat asing.
"Kalian bereskan semua ini!”
“Kamu, ikut denganku!"
Bara berdiri, kemudian melangkah menuju pintu.
"Silakan ikuti Tuan Bara, Nona." Serempak Tika dan Miranda menyuruhku.
Meski tak tahu akan dibawa ke mana, lebih baik kuikuti saja. Tak lupa kusambar tas lusuh yang teronggok di sofa.
"Nona, tunggu!" Teriakan Miranda menghentikan langkahku, pun dengan Bara, laki-laki itu memalingkan wajahnya padaku bergantian dengan Miranda.
"Pakai tas yang ini saja, Nona." Setengah berlari Tika menyongsongku dengan menenteng sebuah tas berwarna merah terang. "Kombinasi hitam akan serasi dengan merah," jelas Tika. Aku hanya membiarkan saja, karena sama sekali tidak memahami itu. Selama ini, aku tak pernah memperhatikan kecocokan warna pakaianku, yang penting aku pakai pakaian, itu saja.
"Sempurna," ucap Tika saat aku memakai tas itu, tentunya sesudah memindahkan dompet dan gawaiku ke sana.
"Terima kasih." Bergegas aku mengejar Bara yang sudah berada di ambang pintu.
Susah payah aku mengimbangi langkah lebar Bara, laki-laki itu seperti tak punya perasaan, padahal aku sedang memakai high heels dan rok sempit yang membatasi langkahku.
Aku sedikit ngos-ngosan ketika kami sudah berada di parkiran.
"Masuk!" titah Bara setelah membukakan pintu sebuah Lamborghini berwarna oranye.
Mataku tak berkedip, sepertinya dia memang bukan orang sembarangan. Siapa sebenarnya dia? Dan sekarang ke mana dia akan membawaku? Aku pikir aku akan melaksanakan tugasku malam ini di sini--di hotel ini, lalu kembali ke rumah sakit dengan membawa uang untuk operasi Langit--anakku. Apa jangan-jangan dia akan mengantarku pada laki-laki hidung belang dan menjualku padanya?
"Kita mau ke mana?" tanyaku setelah bara juga masuk dan duduk di bangku kemudi, agar tidak penasaran lagi.
"Aku pikir ...."
"Kenapa? Kita tidak akan melakukannya di tempat ini. Jadi, bersabarlah!"
Lagi ... sepertinya aku salah bicara. Mendengar jawaban laki-laki itu membuat nyaliku kembali menciut. Aku terkesan seperti wanita yang tidak sabaran dan haus belaian saja.
Aku membuang pandanganku ke luar jendela, merutuki kebodohanku dalam memilih kata-kata.
Aku tertegun, mataku tak berkedip menatap Bara sembari mencerna ucapannya dan juga tentang apa yang dia lakukan padaku barusan."Besok pagi-pagi kita akan ke rumah sakit, aku sudah berjanji akan mengantar Langit pulang. Sekarang istirahatlah, hari sudah sangat larut." Baru kali ini Bara bicara lembut dan enak di dengar padaku. Tak ada ucapan keangkuhan dan nada keras.Bara meraih lenganku, membawaku kembali menuju ke tempat tidur. Aku yang seakan terhipnotis olehnya hanya menurut saja."Istirahatlah," ucapnya setelah mendudukkanku, kemudian dia mengambil bantal dan guling lalu beranjak menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di sana."Bara? Apa itu benar-benar dia? Atau aku sedang bermimpi?" batinku.Dari tempat tidur aku memperhatikan Bara yang sudah memejamkan matanya dengan tangan bersedekap di dada.Kucubit lenganku, memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Sakit ... sepertinya ini memang nyata.Kuirik jam kecil di atas nakas, ternyata sudah lewat tengah malam, pantas saja kalau
"Tetaplah di sini sampai kau merasa lebih baik!" ucap Bara sambil melangkah keluar dan menutup pintu.Aku yang tak mengerti hanya bisa menganggukkan kepala.Dingin air yang menggenang di dalam bathtub langsung menusuk ke setiap pori-poriku, menembus kulit, hingga menusuk ke tulang.Sensasi yang tadi kurasakan berangsur mereda. Namun, sedikit kewarasanku masih berpikir kenapa Bara malah merendamku dengan air dingin, padahal hari sudah mulai larut.Entah sudah berapa lama aku berendam, tubuhku mulai terasa menggigil, aku berusaha bangkit. Sayangnya gaun yang kukenakan membuatku kesulitan untuk keluar dari bathtub yang penuh air itu.Disaat bersamaan, pintu terbuka dari luar, di sana Bara berdiri dengan masih memakai pakaiannya yang tadi, hanya saja beberapa kancing di bagian atas kemejanya sudah terbuka, lengan bajunya juga sudah tersingsing hingga batas siku.Di ambang pintu Bara berdiri sambil menatapku yang masih berendam."Apa kamu sudah baikkan?" tanyanya."Aku kedinginan. Kenapa k
Aku menatap kotak kecil dalam genggamanku, bayangan benda berkilau itu melintas di benakku yang disusul dengan ucapan Bara. Apa dia benar memberikan ini untukku? Bukankah tadii dia bilang akan memberikannya pada wanita yang dia sukai. Aku menggeleng, Bara pasti salah bicara.Kubawa kembali kotak itu ke kamar Langit dan menyimpannya dalam tas, biar nanti malam saja kuberikan padanya, pikirku."Om Bara baik, ya, Ma," ucap Langit saat aku kembali duduk di sampingnya."Iya, Sayang," sahutku sambil membelai rambutnya."Seandainya papa Langit sebaik Om Bara ...."Langit tidak melanjutkan ucapannya, dia menarik napas dalam seakan melepaskan rasa sesak yang bersarang di sana. Sepertinya Langit merindukan sosok seorang ayah, dan itu sangat wajar, mengingat sudah sekian lama sosok itu menghilang dari kehidupannya.Ibu yang sedari tadi duduk di sofa mendekat dan membawa Langit ke dalam pelukannya."Langit sabar, ya, Sayang, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih indah untuk Langit," ucap wani
Meski aku tak tahu pasti ke mana arah pembicaraan Bara, namun entah kenapa rasanya ada makna yang begitu dalam di sana.Hening ... kami sama-sama diam entah beberapa saat, seakan tenggelam dengan pikiran masing-masing."Ayo, kita cari sarapan!" ucap Bara sambil berdiri."Di luar masih hujan." Pandanganku beralih ke kaca jendela.Bara mengikuti arah pandanganku, kemudian kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang dan merebahkan badannya di sana dengan kaki yang menjuntai ke lantai."Seandainya kemarin kamu bawa mobil, kita tak akan terjebak di sini," sesalku.Tak ada jawaban apa pun dari Bara, dia tampak memejamkan matanya. Bulu matanya yang lentik saling beradu, alisnya yang tebal memberikan pesona tersendiri saat dia terpejam. Tak sadar aku menatapnya dalam."Jangan menatapku terlalu lama, nanti kamu bisa jatuh cinta dan takkan mudah untuk melupakanku!"Aku tersentak, lagi ... Bara memergokiku seperti maling yang ketahuan.Meski kuakui Bara termasuk ke dalam kriteria laki-laki idaman,
Bergegas aku bangkit, tetapi Bara malah menarik tanganku hingga aku kembali terjerembap di dadanya."Jangan pura-pura shock, aku tahu kau pasti menikmatinya, bukan?"Aku kembali bangkit, tetapi tangan kekar Bara menahan tubuhku dengan kuat."Bicara apa kamu? Jangan ngelantur!" elakku dengan posisi kepala masih berada di dada bidang milik Bara. Aku bisa mendengar detak jantungnya secara langsung. Hangat tubuhnya terasa di pipiku."Singkirkan tanganmu! Aku mau ke kamar mandi!""Sebentar lagi. Salahmu sendiri, kamu yang membuat aturan kamu juga yang melanggarnya. Kamu yang memberi batas antara kita, kamu juga yang melewatinya."Aku mendengus kesal, merutuki kecerobohanku, memang aku kalau sudah tidur suka lupa dengan keadaan.Tak ada gunanya untuk memberontak, kubiarkan Bara menahan tubuhku. Detak jantung dengan deru napasku saling berpacu dalam dekapan tangan kokohnya.Setelah beberapa saat Bara mulai melonggarkan pelukannya, aku mengambil kesempatan untuk segera bangkit."Tunggu!" Lagi
Dengan mata terpejam aku menikmatinya, dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, semenjak aku bercerai dari Denis.Bara mengakhirinya saat napasku tersengal, dia melepaskannya. Namun, tatapan matanya masih tertuju lurus pada manikku.Aku memejamkan mataku dan membuang napas berat, tak seharusnya aku terjerat dalam permainan Bara. Karena aku tahu semua itu hanyalah kepura-puraan semata.Aku melangkah meninggalkan Bara di bibir pantai, duduk di bawah payung besar sambil menatap pada matahari yang hampir tenggelam seutuhnya.Ya, aku dan Bara seperti jingga senja yang disisakan matahari itu, indahnya hanya sebentar saja, sebelum malam datang dan merubahnya menjadi hitam pekat. Jadi, tak ada alasan untukku terbuai dengan keindahan sesaat itu. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu, sejenak bercerita, kemudian sama-sama kembali melangkah, berpisah untuk melanjutkan perjalanan masing-masing.Jingga senja mulai berubah mendung kelabu, langit yang semula cerah berangsur ditutupi