Aku tetap bersikap santai meskipun bahaya selalu mengintai, jika aku gegabah dalam melangkah bisa jadi boomerang dalam hidupku sendiri. Bang Heru sudah mengabariku untuk bertemu di Vila besok malam. Akan ada orang suruhannya yang menjemputku. Sebelum aku berangkat, aku harus memberi pelajaran dulu kepada Adelia yang sudah mengobrak abrik rumahku.
Saat sampai rumah, Mama masih ada sedang menikmati teh di depan televisi. Aku bersikap biasa saja, seolah tak tahu apa yang sudah terjadi di rumah ini. Mama pun masih bersikap manis, dan menyapaku seperti biasa. "Mana maduku?" Tanyaku seraya ikut duduk di samping Mama."Gundik suamimu itu malas-malasan aja kerjaannya," Wow, hebat sekali. Padahal sebelum aku pulang, kulihat dari rekaman mereka sedang asyik tertawa dan menonton bersama. Sungguh aku tak sadar jika selama ini di rawat oleh perempuan bermuka dua seperti beliau. Hilang sudah rasa hormatku mengingat penSetelah perjalanan yang memakan waktu hampir enam jam, akhirnya kami sampai di rumah minimalis bertingkat dua dengan halaman yang cukup luas. Suasanya cukup asri dan segar karena ditumbuhi macam-macam bunga dan pohon buah.Kuangkat tangan kiriku melihat jam, waktu sudah menunjukkan jam sembilan pagi. Saat masuk kedalam rumah aku disambut Papa dan bang Heru yang sudah terlihat segar sepertinya mereka baru selesai mandi."Bagaimana, nyenyak tidurnya di jalan?" tanya bang Heru seraya mengusap rambutku.Aku menggeleng. "Gak bisa tidur," jawabku."Istirahatlah, nanti setelah makan siang kita bicara di ruangan Papa," ucap Papa seraya beranjak dari duduknya."Bang, kok gak ke vila yang biasanya?" Tanyaku.Bang Heru tersenyum. "Hilman dan antek-anteknya sudah berjaga disana, dan kita memilih jalan aman bersembunyi disini. Rumah ini peninggalan almarhum Kakek dari Mama, sudah abang renovasi
Aku terkejut saat sadar kalau ponsel lamaku menyala, pantas saja ada pesan masuk dari Bang Azlan. Sepertinya ponsel lamaku dengan yang baru tertukar dikamar tadi, ada banyak pesan masuk dari Bang Azlan juga Bang Hilman. Mereka mempertanyakan keberadaanku."Bang, kalau location, Nay matikan gak bakal terlacak kan?" Tanyaku pada Bang Heru.Bang Heru mengernyit bingung. "Kurang paham, nanti abang tanyakan teman abang ya, untuk sementara matikan saja ponselmu dulu," jelas Bang Heru.Aku kembali mematikan ponselku. Semoga saja keberadaan kami tak terlacak, aku membuka laptop untuk mengecek pekerjaanku, ada beberapa laporan dari sekretarisku bahwa Bang Azlan berusaha masuk keruanganku untungnya dapat dicegah oleh satpam, hari ini juga dia tak masuk kerja.Aku kembali mengecek kamera CCTV di rumah, untungnya tekhnologi sudah sangat canggih. Walaupun jauh, aku bisa memantau apapun yang mereka lakukan. Kulihat Tante Ira masih ada di rum
Seminggu sudah aku berada ditempat persembunyian, tak ada tanda-tanda mencurigakan dari Bang Heru dan Papa. Sudah jelas, pengkhianat dalam keluarga ini adalah, Bang Hilman dan Tante Ira. Bodohnya aku mencurigai Papa dan Abangku sendiri."Bang, sampai kapan kita disini?" Tanyaku.Jujur saja, aku mulai jenuh berada disini. Aku tak bisa mengakses sosial mediaku seperti biasa, aku tak bisa jalan-jalan. Aku bagai burung dalam sangkar, tak tahu kapan akan dilepaskan untuk terbang bebas."Besok kita pulang," jawabnya tanpa menatapku.Aku mendesah lega, jadi penasaran bagaimana keadaan rumahku setelah kutinggal seminggu. Apa mereka masih betah disana? Atau sudah pergi, karena tak mendapatkan apa yang mereka mau.Bang Heru menatapku. "Sertifikat rumah, gak kamu tinggal 'kan?" Tanyanya.Aku menggeleng. "Ada kubawa," jawabku.Bang Heru menunjukkan pesan dari temannya, rumahku
Jantungku berdebar ketika mobil sudah berhenti didepan rumahku sendiri, ada perasaan tak nyaman menelusup dihati. Rumah terlihat sepi, padahal setengah jam sebelum kami sampai, mereka masih ada di rumah. Sekarang kemana mereka? Kamera CCTV mendadak rusak, hanya menampilkan layar hitam, sepertinya ada yang tak beres. Mereka sudah mengetahui bahwa aku memakai kamera tersembunyi.Apa sekarang mereka sedang menyusun rencana untuk menjebakku?"Kita tunggu polisi dulu, baru turun," ucap bang Heru.Aku bergeming, menatap rumahku dari jendela mobil. Halamannya begitu kumuh tak terawat, padahal baru seminggu aku pergi. Rumahku sudah seperti tak berpenghuni, mereka manusia-manusia jorok!Lima menit kemudian ada mobil honda jazz berhenti dibelakang mobil kami, sepertinya itu polisi yang melakukan penyamaran, mereka keluar dari mobil tanpa seragam. Hanya memakai kaos biasa."Mereka akan menyamar jadi pembeli rumahmu,
Aku terpaku menatap perempuan dihadapanku. Dia, Anita, sahabat kecilku dulu. Aku menyeringai menatapnya, dulu memang kami bersahabat tapi sekarang dia adalah pengkhianat. Kuhempaskan tangannya dengan kasar, matanya berembun ekspresinya berubah ketakutan seraya menutupi perut buncitnya dengan blazer."Anak siapa itu?" tanyaku datar.Anita bergeming, dia melangkah mundur berusaha menjauhiku. "Kamu tak akan bisa lari," ketusku.Anita menunduk. "Ma-af," lirihnya.Aku berdecih. "Apa maafmu, bisa merubah keadaan?" Sinisku."Anak siapa itu?!" Aku mengulang pertanyaan yang sama."A-anak, Azlan," jawabnya gugup dengan bahu bergetar.Tapi aku tak langsung percaya, apalagi aku sempat melihatnya bergumul dengan bang Hilman melalui CCTV."Bukan anaknya Hilman?" tanyaku sinis.Anita terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin dia tak menyangka jika
Perutku terasa diisi kupu-kupu, membuat perutku geli membayangkan perut ini membuncit seiring membesarnya janin di perutku. Tak sabar rasanya, kurebahkan tubuhku diranjang. Tak sabar menanti pagi untuk periksa kesehatan sekaligus kehamilanku. Ternyata benar janji Allah yang tertulis di Al Qur'an dalam surah Al Insyirah ayat 5 sampai 6.Dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan, dibalik setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Kehamilan ini, membawa kebahagiaan untukku, meskipun rumahtanggaku tak lagi utuh. Aku berharap dia menjadi penerang dalam hidupku, dan penenang dalam jiwaku.Allah memberiku banyak ujian dalam rumah tanggaku, tapi Allah juga memberikan kejutan.Kulirik ponselku yang bergetar di nakas, ada panggilan dari polisi bernama Ageng. Untuk apa dia menelfonku tengah malam begini?Kuraih ponselku seraya menggeser icon hijau, mengangkat panggilan."Halo, selamat malam! Maaf mengganggu is
(Spesial PoV Azlan)Aku terbangun dengan kepala terasa berat, dan bagian bawah perutku terasa sangat sakit. Aroma obat menyeruak menusuk indera penciumanku, kuperhatikan sekelilingku aku bukan lagi didalam penjara, tapi disebuah ruangan serba putih. Ditanganku sudah menempel jarum infus.Aku mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya, saat digelandang keluar rumah dalam keadaan tubuh masih melekat dengan Tante Ira, membuatku teramat malu dan hina dihadapan Nayra. Tatapan sinis dari para tetangga membuatku semakin malu, penyesalan menyeruak didalam dada.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit untuk melepaskan 'barangku' dari milik Tante Ira, aku terus memikirkan bagaimana caranya untuk merayu Nayra agar mau kembali padaku. Tak kugubris, jeritan Tante Ira yang mengerang kesakitan karena organ intimku terlalu lama berada didalam miliknya.Kepalaku berdenyut nyeri, ditambah rengekan tante Ira membuat kepalaku terasa
POV NayraPapa dan bang Heru pamit keluar sebentar ada yang diurus, hanya ada dua bodyguard yang berjaga didepan pintu apartemenku. Kurebahkan tubuhku di sofa, fikiranku berkelana memikirkan bagaimana menjebloskan Tante Ira dan Hilman. Benar kata Papa mereka begitu licik dan licin sekali, susah untuk ditangkap. Begitu banyak tempat mereka bersembunyi, bahkan mereka begitu pintar mencari kesempatan saat para petugas sipir lengah.Aku memijit kepalaku, lalu tangan kananku mengelus perutku yang terasa kram. Mungkin karena aku terlalu banyak fikiran, hingga berdampak pada kandunganku. Kupejamkan mata, beristirahat sejenak melupakan masalah yang datang silih berganti. Aku jadi ingat ucapan teman SMP dulu."Selagi nafas masih berhembus, kehidupan terus berjalan, masalah itu pasti akan ada. Tergantung bagaimana kita menghadapinya," ucap Puji waktu itu.Bagaimana kabarnya dia sekarang, ya? Apakah cita-citanya menjadi hakim