Share

Bab 5

WANITA PANGGILAN 5

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Dalam persahabatan tidak selamanya tentang berbagi bahagia. Kadang air mata juga ikut mewarnai keindahan arti sahabat. Akan tetapi, jika masalah tentang cinta dan wanita menghampiri, bisa dipastikan persahabatan itu tidak akan semurni sebelumnya. Bahkan ancaman renggang dipastikan ada.

Hati yang terkhianati memaksa akal untuk terus berpikir negatif tentang nilai kepercayaan yang telah rusak. Apalagi melihat tragedi itu dengan mata kepala sendiri, rasa sakit yang ada akan selalu membekas dalam dada.

Lian masih mencoba mencerna maksud ucapan pria yang mengaku sahabatnya. Bagaimana mungkin bibirnya bisa mengatakan itu dengan leluasa. Apa tidak ada rasa bersalah  dalam dirinya? Atau Marvin sengaja memamerkan hubungannya dengan Keya. Entahlah.

Baginya jika hubungan sudah berakhir, maka tidak perlu lagi tahu tentangnya. Untuk apa memikirkan orang yang tidak pernah memikirkan kita sama sekali.

"Terus hubungannya sama aku apa? Aku tidak peduli, kamu mau menikah dengan siapa. Keya sudah bukan siapa-siapa lagi bagiku," jawab Lian dengan sorot mata menantang. Ia ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.

Marvin tidak mengira ekspresi Lian bisa setenang sekarang. Padahal biasanya selalu beradu mulut hingga akhirnya saling baku hantam. 

"Bagus lah kalau kamu berpikir seperti itu. Aku hanya ingin memberi tahu, biar tidak terlalu menyakitimu," jelas Marvin sembari melirik tangan Lian yang mengepal. Bibir Marvin tertarik, ia tahu kalau Lian tengah menahan amarah.

"Ah, iya, satu lagi. Selama ini aku tidak pernah cerita, kalau Keya dulu adalah kekasihku. Kami berpisah karena sering terlibat pertengkaran kecil. Hingga aku tahu dia menjalin hubungan denganmu, aku sengaja datang waktu itu untuk memintanya kembali. Dan ternyata itu terbukti karena Keya ikut tenggelam bersama racun cinta yang kutuang bersama sentuhan. Maaf, karena aku mengambil sesuatu yang memang milikku," imbuh Marvin dengan wajah tanpa dosa. 

Rasanya sungguh menyakitkan mendengar penuturan Marvin. Hati yang sedari tadi mencoba kuat akhirnya lemah juga. Tanpa basa-basi, Lian langsung memberikan satu pukulan pada bibir yang telah berani mempermainkan hatinya.

Bug!

Marvin terhuyung, lalu memegangi bibirnya. Darah merah melekat di bibir pria yang telah membuatnya terluka dua kali. Napas Lian masih memburu karena menahan amarah yang  sejak tadi ditahan.

"Dia bilang mau mengambil apa yang memang miliknya? Maksudnya Keya adalah miliknya? Bulshit! Ternyata hubunganku selama ini penuh tabir kepalsuan," gumam Lian dalam hati. 

Beruntung kemarin tidak terpengaruh oleh air mata Keya saat meminta kembali. Ternyata itu hanya omong kosong. Lian menatap kembali Marvin yang masih kesakitan menahan nyeri. Namun, itu tidak sebanding dengan hatinya. Lian baru menyadari kalau selama ini kisah yang dirajut bersama Keya berdiri di atas kepingan kenangan mereka.

"Kamu ambil saja Keya. Aku tidak butuh wanita yang tidak bisa setia pada satu pasangan. Kamu pasti tahu sendiri bagaimana aku melebihi siapa pun. Kabari saja kalau mau menikah. Aku pasti datang memberi doa restu untuk keresahan harimu." Lian kembali berlari menjauh seperti dirinya berusaha meninggalkan kenangan tentang luka yang membuat hatinya berdarah.

Pandangan Lian terus ke depan, berlari cepat dan tidak menoleh ke belakang. Sementara Marvin melihat punggung itu mulai menjauh dengan perasaan bersalah dan bahagia.

"Benc*lah aku sepuasmu, Li. Kamu pantas melakukannya," lirihnya sambil berbalik menuju ke rumah. Niat untuk lari pagi hilang seketika, yang terpenting ia telah menyampaikan maksudnya. 

Tujuan kepulangan Marvin kembali ke kota yang sama dengan Keya memang untuk membuatnya kembali ke pelukan, tetapi selain itu ia juga berkeinginan memulai usaha kecil-kecilan. Hal itu masih dalam tahap pemikiran. Karena fokusnya masih tentang Keya. 

Mengingat Keya, ia jadi ingin bertemu dengannya. Mengantarnya berangkat kerja mungkin akan menjadi rutinitas sehari-hari. Namun, sebelumnya Marvin mengirimkan pesan terlebih dulu agar kedatangannya tidak sia-sia.

Marvin

[Key, aku anter berangkat kerja ya?]

Semenit berlalu, akhirnya pesan balasan menghiasi layar ponsel.

Keya

[Oke. Aku tunggu.]

Setelah mendapat persetujuan, Marvin memutuskan untuk mandi dan bersiap menjemput sang kekasih. 

~

Berlari keliling kompleks dua kali membuat Lian merasa kehausan. Keringat yang bercucuran di seluruh tubuh membuat kulitnya seakan berkilau. Bahkan napasnya terdengar ngos-ngosan. Tangannya gesit membuka lemari pendingin dan mengambil botol air minum.

Setelah menuangnya dalam gelas, Lian meminumnya dengan sekali tegukan. Tenggorokan rasanya menjadi segar. Lian berpikir kalau lari pagi hari ini sangat melelahkan. Mungkin karena pikirannya yang ikut berlarian memahami cobaan hidup.

"Baiklah, mulai detik ini, aku tidak lagi memikirkan Keya. Hidup bebas tanpa batas mungkin lebih bagus buatku," ucapnya sambil memasukkan botol air minum ke lemari pendingin.

Sang ibu yang memerhatikan dari belakang menjadi ingin tahu apa yang menyebabkan anaknya ingin hidup bebas. Tidak mungkin hanya karena seorang Keya, pasti ada hal lain.

"Maksud kamu apa, Li? Kamu tidak mau menikah begitu?" tanya sang ibu yang tiba-tiba berjalan mendekat.

"Bu--bukan begitu, Bu ... aku akan menikah, tapi bukan dengan Keya. Semua sudah berakhir, jadi Ibu jangan lagi berharap."

"Apa tidak ada kesempatan kedua buat Keya? Hanya dia wanita yang mau bertahan menghadapi sikapmu. Pikirkan lagi, Li." Sang ibu masih berharap hubungan itu masih berlanjut.

Lian tertawa mendengar pertanyaan yang jelas tak masuk akal untuknya. Kesempatan kedua? Itu tidak ada dalam sejarah kesetiaan.

"Keputusanku sudah bulat, Bu. Kalau Ibu mau tahu alasannya, tanya saja sama Keya. Aku mau mandi terus berangkat." Lian meninggalkan sang ibu begitu saja. Membahas Keya dua kali di pagi hari membuat selera sarapan menghilang.

Melihat anaknya begitu kekeh memilih berpisah, pasti ada alasan kuat yang membuat hatinya mengeras. Menjadikan Keya mantu idaman mungkin hanya sebatas angan. Sebagai ibu yang baik, ia tidak bisa memaksa Lian menjalani hubungan yang sudah tidak diinginkan. Itu sama saja menawarkan racun yang akan mematikan secara perlahan. 

Jalan satu-satunya untuk bisa menerima adalah mendengar alasan langsung dari Keya. Mungkin ia harus menemuinya untuk berbicara empat mata.

"Aku akan cari tahu sendiri nanti," ucapnya dalam hati lalu menyiapkan sarapan pagi. Namun, sepertinya selera makan sudah menurun karena berbagai pikiran buruk.

Hati ibu mana yang tidak ikut merasakan kecewa jika anak lelakinya berada dalam fase rendah. Ia bergegas ke kamar mengambil ponsel. Sedetik kemudian panggilan telepon tersambung, nama Keya tertera begitu jelas.

"Halo, Tante ...," sapa Keya di seberang telepon.

"Ha--halo, Key ... nanti makan siang bareng ya? Kita ketemu di warung fried chicken depan swalayan, bisa, kan?" 

"Bisa, Tante."

"Ya, sudah. Sampai nanti."

Panggilan berakhir setelah tempat ditentukan. Apabila sudah mendapat alasan yang jelas, maka ia tidak akan memaksa Lian untuk menikah. Ia akan membiarkan Lian menemukan cintanya sendiri yang sesuai hatinya. 

"Bu ... Lian berangkat. Nanti mau sekalian sarapan di sana saja." 

Mendengar suara Lian berpamitan, sang ibu langsung mendekat dan mengantarnya hingga ke depan rumah.

"Kamu hati-hati. Sarapannya jangan lupa. Nanti Ibu mau ketemu sama Keya buat tanya alasannya," ujarnya sambil melihat Lian memakai helm.

"Iya, Bu. Lian berangkat." 

Lian memeluk sang ibu sejenak, lalu melajukan motor merek Hon-da yang harganya hampir sama dengan motor ninja hatori.

Lambaian tangan sang ibu menyertai langkah baru yang Lian ambil dalam beberapa hari ini. Keluar dari area perumahan melati, Lian melaju dengan hati-hati. Karena keadaan jalan biasanya selalu ramai jika pagi hari.

Setelah memberi pukulan pada Marvin, hati Lian sedikit melega. Pemandangan jembatan warna-warni seakan memberi semangat tersendiri. Hidup itu memang banyak varian warna dan rasa. Kadang merah, kadang biru, kadang putih dan kadang hitam.

Melihat banyak pedagang kaki lima mangkal di area kota, membuat Lian ingin menepi sejenak untuk mengganjal isi perutnya. Ia hanya mengisinya dengan air putih setelah lari pagi. 

Matanya melirik kanan kiri mencari tempat yang ia cari. Biasanya kalau jam segini ada bubur ayam yang katanya enak. Setelah berjalan sedikit ke arah Utara, akhirnya makanan yang diinginkan ketemu. Lian langsung memesan satu porsi lalu mencari tempat duduk. 

Dari belakang, terdengar jelas obrolan para pembeli. Mereka tetap bercerita meski berada di tempat umum. Namun, satu suara persis di belakangnya mengingatkan pada seseorang yang pernah ditemuinya sekali. Lian sedikit mundur dan menajamkan pendengaran.

"Tamu yang kemarin beneran nggak pakai hati, kan, May?" 

"Dikit aja kok ... aku nggak tahu kenapa bisa begini. Padahal selama ini aku sudah susah payah bangkit."

"Maka dari itu ... nggak usah pakai hati meskipun dikit. Aku nggak bisa bayangin kejadian dulu. Aku tahu kamu wanita baik, hanya keegoisan yang membuatmu begini."

Lian mengernyitkan dahinya mendengar obrolan dua wanita di belakangnya. Semua itu begitu membingungkan untuknya. Namun, ada sedikit bunga kuncup mendengar ada sedikit hati saat pertama kali bertemu memanggilnya.  

"Jadi kemarin ada sedikit hati? Pantas saja ci-umannya berasa," batin Lian kemudian fokus mendengar lagi obrolan mereka.

"El, nanti malam apa ada tamu?"

"Ada satu. Tapi cuma butuh temen curhat. Dia punya anak istri. Kalau nekat, kamu bisa nolak."

"Oke. Nanti siang, kita ke swalayan gimana? Udah lama nggak shoping."

"Boleh."

Obrolan mereka berhenti, suara gerak langkah juga terdengar. Mungkin mereka akan meninggalkan tempat ini. Lian melirik wanita berambut ikal tersebut dari belakang. Aroma tubuhnya masih sama seperti malam itu, begitu menenangkan.

"Bubur ayam dua sama teh manis berapa, Bang?" tanya wanita itu pada penjual. Namun, sebelum membuka isi dompet, Lian lebih dulu menghentikannya.

"Punya mereka biar saya yang bayar, Bang. Nanti total aja." 

Seketika wanita yang tak lain adalah Mayasha menoleh ke arah pria yang membayar makanannya. Ada raut terkejut di wajahnya. Akan tetapi, hatinya tidak bisa berbohong kalau merasa senang bertemu kembali dengan Lian di tempat lain. Bahkan wajahnya terlihat begitu tampan di pagi hari. 

"Li--lian?!"

"Hai, May ... senang bertemu lagi di tempat yang berbeda." Lian mengukir senyum di kedua sudut bibirnya. 

Mayasha terpaku mendapati senyum itu begitu manis, bahkan terlihat sangat manis. Bayangan  ketika bibir manis menyentuhnya malam itu membuat Mayasha terlena.

"Sadar, Yesha ... jika bermain dengan cinta lagi, maka hatimu akan hancur untuk kedua kali. Hatimu belum sekuat itu."

---------***--------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status