Share

Bab 4

WANITA PANGGILAN 4

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Berusaha keras merayu ketika pasangan merajuk karena kesalahan memang sangat diharuskan untuk memperbaiki hubungan. Namun, ada kalanya usaha itu harus terhenti apabila pasangan telah memilih menutup pintu hatinya karena rasa luka yang mungkin terlanjur perih. Menerima keputusan berakhirnya status dan hubungan mungkin itu lebih baik bagi keduanya. Daripada memaksa berjalan di atas jalan berduri, yang berujung saling menyakiti.

Memilih menerima keputusan Lian adalah sanksi jiwa untuk kesalahannya. Keya menatap cincin itu dengan perasaan gelisah. Separuh hatinya menginginkan itu, tetapi separuh lainnya ragu memulai kembali hubungan yang menyakiti dua manusia, yakni Lian dan Yesha.

Selama ini, ia tidak pernah tahu kabar Yesha sejak kejadian itu. Semua komunikasi putus tanpa kabar sama sekali. Entah mengapa, mengingatnya kembali membuat rasa bersalah kian menggunung.

Pria yang masih berlutut itu tahu betul arti kegelisahan dari raut wajah wanita di depannya. Ia pasti masih memikirkan Yesha, apalagi sekarang ada hati Lian yang mungkin lebih terluka. 

Marvin juga tidak tahu jika garis Tuhan membuat kisah asmara mereka menjadi rumit begini. Namun, hati kecilnya kali ini memiliki kesungguhan untuk meminang Keya dalam satu ikatan pernikahan. Bukan hanya tentang keseriusan, tetapi juga tentang pembuktian bahwa dirinya mampu menjaga seorang Keya Olivia.

"Key ... jawab dong? Tanganku pegel!" ujar Marvin yang membuat senyum Keya mulai merekah.

"A--aku nggak tahu harus jawab apa. Apa tidak apa-apa jika kita menikah? Bagaimana dengan Yesha dan Lian? Mereka pasti akan lebih membenc*ku karena membenarkan semuanya," jawab Keya dengan menahan air matanya. Ia tidak mau gelisah sepanjang malam karena terjerat rasa bersalah. Apalagi seorang Lian pernah menghiasi sisi lain hatinya.

Marvin berdiri, meletakkan telunjuknya di bibir Keya yang terlihat bergetar. "Sssttt ... kamu nggak perlu merasa bersalah. Soal Yesha dan Lian, kita akan menanggung dosa itu sama-sama. Bahkan kalau perlu, aku yang akan menanggungnya."

Pria yang pernah memuja Yesha melebihi apa pun itu mungkin sebentar lagi benar-benar akan menjadi miliknya. Kepergiannya yang sempat membuat jarak perpisahan, kini kembali datang membawa janji suci secara nyata. 

Bukankah seharusnya bersyukur, karena masih ada cinta yang mendekat di saat baru kehilangan cinta lainnya. Meskipun bagi Lian ini akan menguatkan keinginannya untuk berpisah.

"Jadi gimana, Key? Kamu mau hidup bersamaku, kan?" Marvin kembali memastikan untuk ketiga kalinya.

Keya mengangguk. Menerima pinangan ini adalah jalan pembuktian pada Yesha kalau kelak hubungan yang dirajut secara tidak etis bisa berakhir manis.

"Makasih, Sayang ... aku tahu rasa itu memang masih ada," ucap Marvin yang langsung membawa tubuh Keya ke dalam pelukan. 

Kedua tangan Keya memeluk pinggang pria yang tengah merasa berbunga. Lalu, Marvin segera menarik diri untuk melingkarkan cincin di jari manis Keya. Sejak Lian memergoki dirinya bersama Marvin, cincin pertunangan itu segera diminta olehnya. Keya melihat Lian membuang cincin itu di tumpukan samp*h saat mengejarnya. Bahkan cincin miliknya pun ikut serta.

Membayangkan ingatan kejadian itu membuat dada kembali nyeri. Namun, Keya tak mau lagi memaksa hal yang tidak diinginkan Lian. Mungkin lain waktu, dirinya akan meminta maaf pada Tante Elsa untuk semua kesalahannya.

Senyum Keya terukir ketika Marvin mencium mesra punggung tangannya yang telah terhias cincin emas. Sorot matanya terlihat begitu penuh cinta.

"Makasih, Key. Aku janji akan menjadi lelaki baik untukmu," ucapnya seraya mengecup pucuk kepala Keya.

Wanita yang baru saja menggeser patah hatinya dengan begitu mudah hanya bisa terpejam menerima perlakuan Marvin. 

"Ya sudah. Aku langsung pulang. Aku hanya ingin mengatakan ini padamu. Mumpung Lian melepasmu. Kamu istirahat gih ... pasti lelah habis menemui Lian." Marvin mengelus lembut pipi halus Keya, lalu pergi meninggalkannya dengan senyum manis.

Keluar dari rumah wanitanya, pikiran Marvin terus berkelana mencari alasan yang tepat agar emosi Lian nantinya tidak meledak karena   mengambil wanita yang memang bagian dari dirinya di masa dulu.

Membiarkan Lian sementara mungkin akan lebih baik bagi hubungan keduanya. Ia akan menemuinya esok hari. Persabahatan yang tersisa mungkin masih bisa diselamatkan setengah.

Marvin sebenarnya tinggal tidak jauh dari rumah Lian. Hanya selisih beberapa rumah saja. Entah berawal dari mana Lian bisa menjalin hubungan dengan Keya–mantan kekasih yang menggeser Yesha di hatinya. Semua itu terlalu ruwet apabila harus dijabarkan satu per satu.

"Maafkan aku, Lian ... aku hanya ingin mengambil apa yang memang menjadi milikku," lirihnya sembari menatap fokus pada jalanan yang diterangi cahaya lampu pinggir kota.

Bersahabat sejak sekolah membuat keduanya bisa memahami bagaimana karakter masing-masing. Di mana Lian marah, maka Marvin akan membiarkannya hingga keadaan membaik dengan sendirinya, begitu juga sebaliknya. 

Akan tetapi, untuk masalah hati dan wanita mereka memiliki perbedaan kontras yang tidak dapat dimengerti satu sama lain. Takdir membawa mereka menyulam garis hidup yang begitu rumit. 

Marvin menatap rumah dua lantai di perumahan melati di barat kota. Melewatinya saja kepalanya langsung teringat Lian. Memang sedalam itu persahabatan mereka. Namun, semua itu berubah ketika Lian memergoki dirinya meneguk madu cinta. Bahkan hingga detik ini, Lian tidak pernah tahu kalau Keya pernah menjadi kekasihnya.

Semua sudah terlanjur, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Namun, sebisa mungkin ia ingin meminta maaf pada Lian. Jika kesempatan mempertemukan dengan Yesha, Marvin juga akan memohon maaf untuk semua sikapnya.

"Aku harap kamu baik-baik saja di mana pun ragamu, Yes ... maaf ...," lirih Marvin ketika sampai di depan rumahnya. 

Setelah memasukkan motor ke garasi, Marvin langsung membersihkan diri. Ia memilih merebahkan diri karena raganya terasa begitu lelah. Kedua mata itu terpejam dalam sekejap. Memasuki alam mimpi penuh bahagia bersama Keya. Meksipun ada hati yang terluka.

~~

Pagi hari, sebelum matahari terbit dari arah timur, Lian sudah terjaga dari tidurnya. Kepalanya sedikit terasa pusing, mungkin terlalu banyak pikiran yang membebani. Matanya melirik jam pada layar ponsel, ternyata baru jam empat pagi. 

Lian memijit dahinya sejenak untuk mengurangi rasa sakit. Bertemu dengan Mayasha dan Keya di satu waktu seakan membentur dinding mentalnya. Dua wanita yang sama mudahnya memberi raganya pada pria tapi dengan cara berbeda. 

Akan tetapi, aura Mayasha berhasil menjerat rasa kagumnya. Karena ia tidak sembarangan mengizinkan pria menyentuhnya tanpa informasi yang jelas.

Membayangkan wanita secantik Mayasha terjerumus dalam kepalsuan semakin membuat kepalanya berdenyut. 

"Kenapa kepala ini terus memikirkan dia? Tidak mungkin hanya c*uman sekali bisa membekas sedalam ini. Padahal dia bukan siapa-siapa," gumam Lian masih dengan memegangi kepalanya yang kian berat.

Ponsel yang bergetar di nakas mengalihkan perhatian Lian. Tangan kirinya berusaha mengambil dan membacanya. Satu pesan dari Gavin–teman selain Marvin yang bisa jadi panutan menghiasi layar ponsel.

Gavin

[Gimana kemarin? Bisa membuat lebih baik nggak?]

Lian berdecak mendapat pesan sepagi ini dari orang yang menyarankan pertemuan itu. Entah karena penasaran atau peduli, Lian tidak masalah. Nyatanya Gavin tidak pernah menikam dirinya dari belakang. 

Melupakan rasa sakit di kepala, Lian mulai membalas pesan itu sebagai tanda sopan santun telah mempertemukan dengan wanita seunik Mayasha. Bagi Lian, seburuk dan seh*na apa pun raga, asal masih memiliki hati, ia akan merespon dan tidak menghakimi. Karena jalan hidup setiap orang itu sudah menjadi urusan pribadi dengan Tuhan.

Lian

[Lumayan lah. Makasih sudah diberikan jalan untuk melupakan hal yang ingin kubuang.]

Gavin

[Sama-sama. Aku ikut senang kamu bisa happy lagi. Aku nggak bermaksud buat ngejerumusin, tapi memang katanya tidak harus soal naf-su untuk bertemu dengannya. Menjadi teman bicara juga kadang mau. Sekali lagi, singkirkan sejenak hal yang membuatmu tidak nyaman.]

Senyum Lian kembali merekah mendapati kepedulian dari Gavin. Karena memang ia hanya perlu didengarkan, bukan diceramahi. 

Lian beranjak ke kamar mandi setelah meletakkan ponsel di tempat tidur. Merasakan sensasi air di pagi seperti ini mungkin bisa membekukan hatinya untuk Keya. Setiap air yang mengguyur tubuhnya, ingatan kemesraan bersama Keya ikut mengalir ke tempat semestinya. Bahkan ingatan saat bersama Mayasha juga terekam jelas. Membuat hatinya menempatkan di sudut ruang spesial.

Setelah tubuh terasa segar, ia pun mulai bersiap lari pagi keliling kompleks perumahan. Dengan celana panjang dan kaos, Lian mengambil sepatu di sisi lemari. Namun, getaran ponsel membuatnya berhenti sejenak saat mengikat tali sepatu.

Mata Lian menyipit melihat nama Marvin di urutan pertama pesan. Nyalinya lumayan besar mau menghubungi lebih dulu. Memang hal inilah yang membuat Lian respek padanya. 

Marvin

[Aku ingin bicara. Aku tunggu di depan rumahmu sambil lari pagi bareng.]

"Bicara apa lagi? Semua sudah jelas," gumam Lian sambil melempar ponselnya ke tempat tidur. Kemudian bergegas keluar dan bersiap lari pagi untuk membuat raga dan akalnya tetap sehat.

Benar saja, Marvin berdiri di depan rumah dengan menggunakan baju olah raga. Meski hati merasa canggung dan marah, tetapi Lian ingin menghadapinya.

"Mau ngomong apa?" tanya Lian langsung. 

"Kita lari dulu, sambil ngeluarin keringat," jawab Marvin yang langsung mengambil posisi berlari.

Lian menatapnya sejenak, lalu ikut berlari di sebelahnya. Setelah nafas mulai ngos-ngosan, Marvin berhenti dan berbalik menatap Lian–sahabatnya.

"Sebelumnya aku minta maaf. Aku mau bilang terima kasih karena kamu melepas Keya. Dan aku sudah melamarnya semalam. Mungkin tiga Minggu acara pernikahannya," terang Marvin.

Lian merasa sangat bo-doh mau menemui Marvin. Bukannya mendengar penyesalan malah mendengar pengakuan lamaran. Kedua tangannya mengepal kuat menahan emosi. Entah terbuat dari apa hatinya, bisa-bisanya menyiram air cuka di atas luka yang masih basah.

"Luka kemarin saja masih nyeri, ini malah ditambah. Apa begini caramu menyesal dan meminta maaf pada teman yang kau lukai, Vin?"

--------***---------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status