Share

Bab 6

WANITA PANGGILAN 6

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Pertemuan yang tidak disengaja seakan menjadi pertanda akan adanya ikatan istimewa. Entah itu ikatan hati atau hanya sekedar persinggahan sementara. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada pertemuan tanpa meninggalkan kesan. Sekali pun bertemu dalam keadaan gi-la.

Mayasha masih menatap pria yang tengah duduk sembari melihatnya. Bertemu dengannya di sini rasanya seperti mimpi. Sebisa mungkin kesadaran akan statusnya harus menjadi benteng terkuat agar cinta tidak berani menyelusup masuk. 

Bayangan kehancuran hidup beberapa tahun silam tidak ingin terulang lagi. Raganya sudah lelah bermain dengan cinta. Hatinya bahkan layu dan membeku. Namun, si-alnya seorang Lian mampu memberi secawan air hingga gersangnya hati menjadi keterbasahan.

"Hai juga ... senang bertemu denganmu lagi. Terima kasih sudah bayarin makannya. Saya permisi." Mayasha membungkuk sejenak sebagai tanda terima kasih, lalu menarik tangan Elena agar bergegas pergi meninggalkan warung.

Sementara Lian melihat punggung wanita itu dengan senyum yang entah. Rasanya setiap melihat Mayasha hati merasa lega, bisa melupakan segala problema.

"Satu kali kita bertemu lagi, aku akan menjadikan kamu sebagai wanita yang selalu kupanggil. Begitu juga sebaliknya, aku akan membuat diriku menjadi tamu satu-satunya yang memanggilmu," lirih Lian sembari memandang bubur ayam yang aromanya menggoda. Bertemu dengan Mayasha di pagi hari ternyata mampu mengubah emosinya menjadi lebih baik.

Elena yang mulai mengerti suasana hanya pasrah saat pergelangan tangannya ditarik pak-sa. Meski sedikit sakit, ia hanya diam hingga sampai di parkiran motor. Melihat gelagat Mayasha yang aneh, Elena bisa tahu kalau hatinya mulai terjatuh pada pria di sana.

"Udah belum, May, jalannya? Aku nggak akan hilang selama masih di sini, kamu nggak perlu nuntun aku begini. Aku udah gede," celetuk Elena sambil melihat Mayasha mengatur napasnya. 

Wanita yang masih syok itu melirik tangannya sendiri. Menyadari ucapan Elena, Mayasha melepas pegangannya dengan cepat.

"Sorry, El. Aku tadi ...." Mayasha tidak tahu harus mengatakan apa untuk pertemuannya pagi ini dengan Lian. Kepalanya mendadak kosong.

"Aku tadi apa? Aku tadi gugup ketemu sama Lian, begitu?" ujar Elena yang membuat wajah sahabatnya menghangat.

"Pipi kamu udah kaya tomat tau nggak? Merona," goda Elena lagi.

"Haish! Udah sih! Lebih baik kita pulang, kamu ke rumahku, kan? Biar nanti sekalian shoping," tanyanya sengaja mengalihkan pembicaraan.

Elena mengangguk, lalu keduanya menaiki motor yang sama persis dengan di sebelahnya, hanya beda warna saja. Mayasha melirik sekilas plat yang terpasang di belakang motor, nama Lian tertulis di bawah deretan empat angka.

"Ternyata bukan pria sembarangan. Pantas aja bajunya juga rapi," batin Mayasha lalu kembali fokus ke jalanan. 

Pikiran Mayasha terus berputar mengenang kejadian malam itu dan hari ini. Berada di tempat yang sama di pagi hari, membuat kepalanya berpikir kalau tempat tinggal Lian bisa saja tidak jauh dari rumahnya. Di kota ini, perumahan yang terkenal elit memang ada beberapa. Mayasha sendiri memilih dengan kualitas nomor dua, yang penting bisa melindungi dirinya dari hujan dan angin. 

Selain itu, tujuan Mayasha mengganti nama dan penampilan juga untuk menghindari Kai dan Keya. Dua manusia yang memiliki peran awal kelamnya dunia seorang Yesha Sasmaya. Ia bahkan menyembunyikan nomor ponsel pribadinya dari banyak orang. Media soisal pun sengaja tidak begitu aktif. Melalui Elena lah tamunya bertemu dengannya. Pria pertama yang meminta nomor ponselnya baru Lian seorang.

Mayasha menyadari, keterpurukan dirinya hingga memilih jalan ini karena lemahnya iman dalam dada. Selama ini berjuang kuat menghadapi rasa sakit, tetapi selalu berujung lebih sakit. Karena luka yang ditorehkan mereka memang begitu dalam. 

Membayangkan masa silam membuat perjalanan menjadi cepat sampai di rumah. Elena terus memperhatikan gerak Mayasha yang lebih pendiam sejak bertemu dengan Lian. Ada rasa khawatir jika harus melihatnya kesakitan seperti dulu, tetapi menyuruhnya berhenti memikirkan Lian itu bukan haknya. 

Mayasha bebas menentukan pilihan hidupnya. Bahkan jika nanti suatu saat, jasa ini harus berhenti, Elena tidak keberatan. Karena dalam diam, ia selalu mendoakan untuk semua kebaikannya.

"May ...." Elena memanggil sembari menepuk lembut punggung wanita yang masih melepaskan pengait helm.

"Hmm ... kenapa, El?" jawabnya setelah helm berhasil bebas dari kepalanya.

"Apa kamu jatuh cinta sama Lian?" 

Elena menatap lekat kedua mata Mayasha. Matanya menyiratkan antara iya dan tidak. Hatinya pasti ragu, pengalaman lalu mungkin meninggalkan trauma bekas luka.

"Em ... aku nggak tahu, El. Nggak usah dibahas ya? Nanti kalau memang benar aku jatuh cinta, pasti kamu orang pertama yang tahu." Mayasha masuk ke rumah, diikuti Elena yang lumayan mengerti kegelisahan hati wanita di depannya.

Mereka berdua menikmati waktu bersama dengan banyak cerita dan tawa, hingga nanti waktunya shoping tiba. Sesekali mereka juga berbagi kisah hidup yang ingin mereka buang lewat cerita.

~

Sementara di tempat lain, Marvin benar-benar memenuhi janjinya untuk menjemput Keya. Berdiri di depan pintu menunggu wanitanya yang tengah berlari mengejar waktu. Bekerja sebagai bawahan Lian di swalayan, membuat Keya harus berangkat tepat waktu. 

Keya selama ini dipercaya Lian sebagai asistennya. Membantu sebagian pekerjaan Lian agar menjadi lebih mudah dan cepat. Bahkan hubungan asmara keduanya bisa terkontrol rapi di tempat kerja. Para pegawai swalayan kerap menjuluki mereka pasangan serasi. Namun, itu dulu, sekarang tidak lagi. 

Sekarang di depannya sudah berdiri pria yang selalu mempunyai tempat di relung hatinya. Bahkan ketika bersama Lian, bayangan tentang Marvin kadang muncul sekilas. Orang itu sekarang tengah menunggunya di luar pintu. Dirinya memang pen-jah-at cinta karena telah menduakan Lian. Keya mengakui itu sejak dulu berani bermain api dengan Marvin.

"Kenapa bengong? Mikirin Lian lagi?" tanya Marvin yang langsung membuat Keya terhenyak. 

"Enggak, kok. Ya udah, berangkat yuk? Takut Lian udah berangkat, nggak enak," ajak Keya guna menghindari tatapan pria di depannya.

Marvin tahu, dalam hati Keya pasti ada banyak rasa ketika bekerja dengan Lian, apalagi semalam ia sudah berterus terang tentang hubungannya. Pasti keadaan akan berbeda.

"Tunggu, Key!" Marvin menahan tangan Keya yang hendak memakai helm, lalu membawanya dalam pelukan sebagai obat penenang.

Keya bisa menghirup aroma wangi tubuh pria yang memeluknya dengan jelas. Aroma tubuh yang hampir sama dengan Lian, hanya lebih kentara. Berada di pelukan Marvin, membuat pikiran Keya sedikit lebih tenang.

"Aku nggak apa-apa, Vin ...," sela Keya sambari mendorong tubuh Marvin agar menyudahi pelukannya.

Tatapan keduanya beradu, seakan memberi tahu kalau semua masih dalam keadaan baik. Tangan kekarnya mengusap lembut pipi yang telah beraroma wangi bedak. Ibu jarinya merayap menyentuh lembut bibir yang berwarna merah muda. Sedetik kemudian, kedua bibir itu bertemu di titik kehangatan. Marvin memang pandai menggetarkan soal hati. 

Lima detik berlalu, Marvin menjauhkan diri, lalu menatap wanitanya penuh cinta. "Karena sudah sarapan spesial, lebih baik berangkat sekarang," ajak Marvin sambil menautkan jemarinya hingga ke depan rumah. Cincin emas semalam terasa nyata dalam genggaman.

Keya melingkarkan kedua tangannya ketika Marvin membawanya keluar area perumahan dengan motor kesayangan. Membelah keramaian jalanan di pagi hari dengan hati yang entah. 

Pemandangan kegiatan di Alun-Alun kota seakan menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Ada yang tengah membeli sarapan, ada yang jalan santai, dan ada juga yang sekedar nongkrong bersama kawan.

Keya tidak menyadari ada seseorang yang melihat kemesraan mereka dari depan tenda bubur ayam. Ya, Lian menertawakan diri sendiri melihat mereka sudah berani terang-terangan memperlihatkan hubungan. Mungkin hal ini akan selalu menjadi pemandangan menyakitkan setiap hari. Sakit hati karena hal terbiasa mungkin akan menjadi kebal suatu saat nanti.

Bayangan indah Lian beberapa menit yang lalu bertemu Mayasha kini tertumpuk saat melihat kenyataan lewat di depan mata. Ia tidak menyangka kalau kisah asmaranya akan berakhir dramatis.

Bicara tentang Mayasha, Lian mengingat janjinya yang akan membayar bubur ayam mereka. Ia bergegas mendekat ke penjual untuk segera membayar agar bisa berangkat bekerja.

"Bang, semuanya berapa? Sama yang punya dua wanita tadi," tanya Lian sambil membuka dompetnya.

"Empat puluh ribu aja, Mas."

Lian langsung mengambil selembar warna biru dan memberikannya. "Kembalinya buat, Abang aja. Terima kasih."

"Wah, terima kasih, Mas. Semoga bisa cepat jadian hingga ke pelaminan," jawab Abang penjual dengan hati riang. Bagaimana tidak? Jika setiap pembeli selalu begini, bisa dipastikan cepat kaya.

Lian tersenyum mendengar penuturan pria yang sibuk mengiris daun bawang. Entah kenapa hatinya mengaminkan doa itu. 

"Amin, Bang." 

Mendapat doa dari orang yang tulus mungkin akan membantu pemulihan hatinya. Lian bergegas memacu motornya sedikit cepat agar  bisa sampai di swalayan tepat waktu.

Tidak butuh waktu lima menit, Lian sudah sampai di swalayan. Ia langsung menuju ke tempat parkir khusus. Dari jauh ia bisa melihat Keya dan Marvin saling mengucapkan selamat tinggal. 

"Dasar sudah tidak punya hati," gerutu Lian sambil turun dari motor. 

Gaya pakaian yang sedikit santai membuat karyawan lain tidak terlalu sungkan untuk menyapa atasannya. Karena bagi Lian, komunikasi dengan semua karyawan itu penting, tanpa harus membedakan pekerjaan mereka.

Lian tidak menyadari ada salah satu cleaning servis sedang memperhatikannya melihat dua pasangan di ujung sana. Banyak mereka yang tahu kalau atasannya menjalin hubungan dengan asisten cantik itu. Namun, pandangan pagi ini sudah tidak lagi sama. Sebagai karyawan biasa pastinya tidak ingin mencampuri urusan mereka.

"Pagi, Mas Lian ...," sapa pemuda yang kedua tangannya membawa sapu dan kain pel.

Lian terkejut, lalu menoleh pada pemuda di sampingnya.

"Pagi ... semangat bersih-bersih ya?" 

"Iya. Mas Lian juga semangat membersihkan hati."

Deg! 

Ucapan pemuda itu seakan menyapu pikirannya tentang hatinya pada Keya. Mungkin ia memang harus membersihkan segala rasa yang tersisa agar tidak merasa sakit berkepanjangan.

Lian menunggu Marvin keluar lebih dulu sebelum turun dari motor. Setelah menghilang, ia baru melangkah memasuki swalayan hingga menuju ruangannya.

Mereka berjalan bersisian. Hanya ada suara sepatu menemani langkah keduanya. Keadaan yang masih sepi membuat Keya berani menahan langkah Lian.

"Lian, tunggu!" panggil Keya, membuat Lian berhenti dan berbalik.

"Apa?" sahutnya singkat. Namun, matanya melirik jemari Keya yang berkilauan. "Mau bilang kalau kamu akan menikah dengan Marvin?" imbuh Lian yang membuat Keya mendongak.

"A--aku ...."

"Kamu nggak perlu ngomong apa-apa. Bukankah aku udah bilang, kalau kamu bebas mau ngapain aja sama Marvin. Mau nikah, kek ... mau pacaran, kek ... aku nggak peduli. Tapi aku akan bersikap profesional. Kamu tenang aja," ucap Lian lagi dan berlalu menuju ruangannya. 

Keya terdiam, ucapan Marvin membuatnya seperti orang asing. Namun, itu lebih baik. Ia memutuskan melangkah menuju ruangan di sebelah ruangan Lian.

Sebagai asisten Lian, Keya langsung berusaha menyusun semua laporan yang berhubungan dengan swlayan. Baik dari hasil penjualan, dan keadaan swalayan untuk mencari performa swalayan hingga mendapat kemajuan.

Keya menyusun semua lembaran kertas dalam satu map, lalu menyerahkan pada Lian. Ketika hendak memasuki ruangannya, Keya menatap wajah Lian yang tengah tersenyum sendiri menatap ponselnya. Dari balik kaca semua itu terlihat jelas seperti orang tengah jatuh cinta.

Ada rasa sedikit tidak rela melihat Lian tersenyum manis pada layar ponsel. Mungkinkah selama ini Lian tidak pernah menjatuhkan hati padanya? Keya tertawa lirih memikirkan semuanya, terlalu naif jika berharap demikian. Sementara dirinya tidak memperlakukan Lian dengan cara yang sama. 

"Apa secepat itu Lian menemukan pengganti? Kenapa melihatnya hati merasa nyeri?"

-------***-------

Berssmbung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status