Share

Bab 7

WANITA PANGGILAN 7

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Rasa tidak rela melihat mantan kekasih tersenyum bahagia terkadang bisa menyelimuti hati apabila terlalu cepat terjadi. Karena menimbulkan banyak asumsi tentang hubungan sebelumnya. Meskipun pada akhirnya kesalahan terbesar tetap jatuh pada pasangan yang menyakitinya. Padahal masing-masing hati telah sepakat menerima keputusan.

Keya membuang jauh perasaan itu dengan meraba cincin pemberian dari Marvin yang melingkar di jari manisnya. Rasa nyeri itu pun perlahan memudar bersamaan suara ketukan pintu yang dibuat olehnya.

Menyadari seseorang masuk ke ruangannya, Lian meletakkan kembali ponselnya di meja. Sikapnya benar-benar seperti orang asing saat melihat Keya berdiri di depannya.

"Ini laporan semuanya, Mas." Keya meletakkan map di hadapan Lian.

"Terima kasih. Kamu boleh keluar," jawab Lian acuh. 

Mendengar langkah Keya yang mulai menghilang, Lian meneliti semua laporan satu per satu. Pengunjung yang datang ke swalayan mengalami kenaikan dan penurunan di setiap harinya. Mungkin ia harus memikirkan strategi baru untuk menaikkan jumlah pengunjung. 

Setelah berkutat dengan kertas selama satu jam, Lian menyandarkan bahunya di kursi. Tangannya memijit lembut dahinya yang sedikit berdenyut. Memejamkan mata sejenak sembari berpikir cara untuk meningkatkan pelayanan swalayannya. 

Selama ini, Lian sering memancing pengunjung dengan mengadakan promo diskon. Bahkan kenyamanan dan kebersihan selalu diterapkan dengan ketat. Namun, semua itu belum menghasilkan sesuai keinginan. 

Bayangan Mayasha yang hadir sekelebat dalam angan, membuat satu ide muncul di kepala. Bertemu dengannya satu kali tapi meninggalkan kesan yang begitu berarti, mungkin dirinya harus mencoba membuat pengunjung terkesan meski baru sekali berkunjung. 

Lian memikirkan sikap Mayasha saat menyambutnya pertama kali. Memakai gaun yang cantik, merias diri, bahkan aroma wangi tubuhnya membekas kuat dalam ingatan. Belum lagi caranya yang selalu memberi dan menerima. Jika semuanya diterapkan mungkin ada sedikit dampak bagi swalayan. 

Sebagai swalayan yang menyediakan kebutuhan pengunjung baik sandang dan pangan, pasti membutuhkan simbiosis yang mutualisme. Saling menguntungkan satu sama lain dengan cara saling memberi dan menerima dengan hati. Sepertinya 'Swalayan Melati, Melayani Dengan Hati' bisa menjadi slogan tambahan. 

Selain itu, Lian berpikir ingin menghias keadaan swalayan menjadi lebih menarik. Mungkin perlu membuat spot cantik seperti taman kecil di area istrirahat yang membuat pengunjung bisa berselfie ria. Hiasan lampu kelap-kelip mungkin juga akan mempercantik suasana malam hari.

Senyum Lian merekah bisa mendapat ide dengan membayangkan Mayasha. Ia mendadak ingat kalau siang ini Mayasha akan pergi shoping ke swalayan. Lian ingin memastikan tujuan Mayasha ke swalayan mana.

Tangannya langsung mengambil ponsel di meja, lalu mencari kontak dengan nama Mayasha. Kedua ibu jari gesit merangkai kata layaknya pesan biasa seorang pria.

Lian

[Hai, May ... tadi pagi saya kebetulan nguping obrolan kamu. Kalau boleh tahu mau shoping di mana?]

Pesan terkirim. Lian menunggu balasan dengan hati gelisah. Jemari tangan mengetuk meja hingga menghasilkan bunyi. Namun, pesan tak kunjung berbalas. 

Ketika ponsel berdering, Lian dengan sigap membukanya. Siapa tahu dari Mayasha, tetapi ternyata dari Gavin. Pundak seketika menurun, raga bahkan ikut melemah. Ternyata menunggu pesan dari seseorang yang belum tahu artinya bisa membuat resah.

Gavin

[Li, entar malem aku mau pengen nyoba calling Mayasha. Pengen minta solusi tentang wanita menurut versinya dia. Dia pasti paham tentang banyak wanita.]

Lian mengernyitkan dahinya membaca pesan dari teman nongkrongnya. Mereka memang biasa bertemu sambil cerita di depan toko yang buka 24 jam. Selain gratis, mereka lebih mudah membeli minuman kaleng bersoda. Demi menghindari pandangan orang, Lian sengaja bersantai di toko lain.

"Jadi, tamunya Mayasha entar malam si Gavin?" batinnya dalam hati. Entah kenapa kepalanya mendadak muncul satu ide.

Lian

[Masalah gitu aja pakai calling dia. Aku kasih tahu satu hal, wanita itu jangan sampai dibiarkan bebas berteman sama siapa saja. Semisal itu pun haknya, kamu harus tetap memantau dia. Jika dia punya hati baik, pasti akan selalu bercerita tentang harinya. Satu lagi, wanita itu selain membutuhkan kasih sayang, wanita juga butuh biaya untuk bersenang-senang dengan waktunya. Asal sesuai aturan yang telah disepakati.]

Setelah pesan terkirim, Lian langsung menulis pesan kembali.

Lian

[Nanti malam kamu nikmati aja waktu bersama Khanisa. Ajak dinner romantis kek, beliin hadiah atau apa ... nanti biar aku aja yang gantiin ketemu Mayasha. Jadi nggak perlu dicancel.]

Tak peduli apa yang sekarang Gavin pikirkan tentangnya, yang jelas nanti malam ia ingin bertemu Mayasha. Lian memasukkan ponsel ke saku celananya. Matanya melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Ternyata sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. 

"Mungkin keliling sebentar untuk mengecek keadaan," gumam Lian lalu bangkit dari tempat duduknya. 

Setelah keluar dari ruangan, Lian menatap sejenak ruangan Keya. Dari balik kaca, ia terlihat sedang fokus menatap layar komputer. Mungkin tengah menyusun laporan untuk hari ini. 

Lian mengembuskan napasnya perlahan. Hatinya tidak mengira kalau Keya memilih menduakan hatinya dengan sahabatnya sendiri. Seandainya tahu sejak awal mereka punya hubungan, tentu Lian tidak akan merayunya. Marvin memang pandai menyembunyikan identitas kekasihnya selama ini. Jadi, wajar jika Lian menggoda wanita yang pernah mengisi kehidupan Marvin. Akan tetapi, hal itu justru menjadi awal dari kesakitan dirinya. 

Keya yang merasa tengah diperhatikan tiba-tiba mendongak. Namun, Lian dengan cepat berpaling dan mengambil langkah seribu.  Menyusuri anak tangga satu per satu hingga sampai berada di lantai satu. Mengamati pengunjung dari sisi depan tangga, membuat senyum Lian merekah. 

Ternyata antusias warga masih lumayan untuk berbelanja di swalayan. Mereka rata-rata sepasang ibu dan anak. Senyum terlihat nyata di bibir mereka. Lian jadi berpikir, mungkin swalayan bisa ditambah area santai lebih banyak agar para keluarga itu bisa menikmati berbelanja dan tamasya dalam satu waktu. Melihat kebahagiaan mereka membuat Lian merasa ikut bahagia. 

~~

Di area parkir swalayan, Mayasha dan Elena sibuk memeriksa isi tas, takut dompet ketinggalan di rumah. Ponsel yang sejak tadi pagi dalam pengisian masih dalam kondisi mati. Ia lupa menghidupkannya. Ketika dua wanita itu bertemu, urusan ponsel bukan lagi yang utama.

"Udah belum? Semua lengkap, kan?" tanya Elena sambil merapikan rambutnya dengan jari. 

"Lengkap sih ... tapi bentar, mau liat ponsel dulu," jawab Mayasha yang langsung menekan tombol 'on' hingga logo merek ponsel menghiasi layar.

Ketika menu ponsel terpampang di layar, ada tanda satu pesan masuk. Melihat nama yang tertulis, dada Mayasha berdebar seketika.

"Lian kirim pesan? Dari jam sembilan?" Dahinya mengerut membaca pesan yang sudah terkirim sejak lama. Dengan cepat, tangannya membalas pesan yang sudah basi.

Mayasha

[Jadi. Ini sudah di swalayan Melati.]

Meski tidak tahu apa maksudnya, Mayasha tetap membalas pesannya. Kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas.

Elena menunggu dengan sabar. Satu pesan juga menghampiri ponselnya. Ternyata dari tamu yang ingin memanggil temannya.

Gavin

[Sebelumnya maaf, El ... nanti malam saya tidak bisa hadir. Tapi digantikan oleh teman saya. Kayaknya dia lebih perlu daripada saya. Sekali lagi, saya minta maaf.]

Helaan napas wanita di sebelahnya membuat Mayasha merasa heran. Seperti tengah terjadi sesuatu.

"Apa terjadi sesuatu, El?" tanya Mayasha sembari melangkah perlahan menuju area swalayan.

"Ini ... tamu buat kamu nanti malam mau digantikan temannya. Gimana? Kamu oke, nggak?" tanya Elena meminta persetujuan.

"Oke deh ... demi bertahan hidup. Ya udah, yuk, masuk," ajak Mayasha sambil menggandeng lengan sahabatnya.

Mereka berjalan berdampingan layaknya kakak adik. Orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh. Dua wanita yang rambutnya tergerai bebas dengan warna pirang membuat siapa saja yang melihatnya akan terkesan.

Keduanya berjalan menyusuri lantai satu untuk membeli berbagai persediaan kebutuhan di rumah. Sepuluh minuman kaleng bersoda diborong Mayasha tanpa malu. Sementara Elena memilih cemilan.

Ketika dua wanita itu memilih makanan, Lian justru tengah deg-degan mendapatkan pesan dari wanita yang telah mencu-ri hatinya. Akhirnya setelah beberapa jam menunggu, Lian mendapat pesan balasan yang menambah debaran dada. Senyumnya bahkan terukir jelas di kedua sudut bibir.

"Jadi dia ada di sini? Kenapa jadi deg-degan sih," ucap Lian sembari memegangi dadanya sendiri. 

Sikapnya yang aneh menarik perhatian beberapa karyawan yang bertugas di bagian penitipan barang. Mereka tersenyum sambil berbisik dengan teman-temannya. 

"Bos ganteng lagi seneng kayaknya sama Mbak Keya. Kan, bentar lagi mau nikah," bisik gadis yang memakai kerudung terikat ke belakang.

"Haish! Kamu salah. Tadi pagi, ada kabar yang lebih heboh lagi. Mbak Keya berangkat kerja nggak bareng Bos ganteng, tapi sama pria lain," bisik wanita yang kerudungnya menjuntai sedada tak mau kalah.

"Ish! Kamu sok tahu! Mereka itu pasangan serasi, nggak mungkin udahan," bisiknya tidak terima. Karena memang terlihat adem melihat hubungan mereka.

Lian yang merasa tengah menjadi buah bibir karyawannya langsung menoleh. Membuat mereka kembali bekerja. Sebelum keliling lantai satu dan mencari keberadaan Mayasha, Lian menghampiri karyawannya.

"Ehem! Kalian jangan buat gosip di area kerja ya? Satu lagi, jangan pernah lagi bicarakan tentang hubungan saya dengan Keya," jelas Lian lalu pergi begitu saja, membuat karyawannya saling pandang dengan asumsi mereka masing-masing. 

Bagi seorang Lian Erza membawa urusan pribadi ke tempat kerja bukan gayanya. Sebisa mungkin ia akan selalu menekankan keduanya. Lian tidak peduli lagi orang-orang berkata apa tentang dirinya, asal tidak pernah menyebar gosip tentang asmaranya.

Ketika Lian menerebos kerumunan pengunjung, Keya yang baru saja turun dari lantai dua mulai penasaran. Tidak biasanya Lian keliling pada jam seperti ini. Keya berjalan cepat mengejar pria yang selalu memakai pakaian santai saat bekerja. Matanya terus tertuju ke mana langkah Lian berhenti.

Jantung Keya mendadak berhenti melihat wanita yang sedang disapa mantan tunangannya–Lian. Tubuhnya seakan terpaku di tempat ketika wanita itu menoleh menatap sekeliling. Kedua tangannya bergetar menahan rasa terkejut. Peluh dingin tiba-tiba membanjiri tubuhnya.

"Ye--ye--yesha ...."

--------***-------

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status