Share

4. KEHILANGAN

last update Last Updated: 2024-04-18 21:00:57

Ohhh... jika saja waktu bisa kuputar kembali. Aku pasti tak akan membiarkan dia pergi kemarin. Aku pasti-

"Ini Non kamarnya," seru Pak Tino membuyarkan lamunanku.

Walaupun rasa takut mulai menguasai diriku dan membuatku ingin kabur saja, tapi aku menguatkan diriku dan membuka pintu kamar rumah sakit itu perlahan.

Sesampainya di dalam, aku langsung di peluk mama Alex yang tampaknya sedari tadi terus-terusan menangis.

"Syukurlah kamu datang, An. Dari tadi Alex nyariin kamu terus."

Perkataan mama Alex hanya sayup-sayup terdengar olehku. Perhatiaanku terfokus pada cowok yang sedang terbaring dengan perban di kepala dan tangan kirinya saat itu. Dia tampak sangat lemah dan kesakitan.

"Gi...mmana keadaan Alex, tante?"tanyaku sambil masih tak berkedip memandangi Alex.

Mama Alex terlihat makin sedih dan bolak balik menyeka air matanya dengan sapu tangan.

"Kata dokter sih kepalanya nggak terlalu parah lukanya. Dalam waktu kurang lebih dua minggu, pasti sembuh. Tapi tangannya..."

"Tangannya kenapa tante?" tanyaku cepat-cepat.

"Tangan kirinya cedera cukup parah sehingga kemungkinan besar selamanya nggak akan bisa berfungsi senormal dulu."

"Ha? Maksudnya nggak normal? Lumpuh maksud tante?" Mendengar pertanyaanku, tangis mama Alex semakin menjadi. Melihatnya seperti itu, ketakutanku semakin bertambah.

"Heiii... aku belum mati. Nggak usah pakai nangis segala lah kalian!"

Tangis mama Alex terhenti seketika saat mendengar suara Alex. Dengan langkah seribu aku langsung menghampiri ranjang temanku itu.

"Ngapain kamu datang? Aku cuma kecelakaan biasa doang, dan untuk menjawab pertanyaanmu yang tadi, tanganku nggak lumpuh. Masih bisa berfungsi kok. Memang sih nggak bisa seperti dulu lagi, tapi ya... nggak parah-parah banget kok," serunya enteng.

"Nggak bisa seperti dulu lagi? Maksudnya?"

"Ah masalah sepele kok. Kata dokter tanganku yang sebelah kiri nggak bisa di gerakkan seleluasa dulu lagi. Jika cuaca dingin kemungkinan besar akan terasa sedikit nyeri. Truss... nggak bisa di gunakan ngangkat yang berat-berat. Ehm... apa lagi yah? Oh ya... gitar. Dokter bilang kemungkinan besar aku nggak bisa bermain gitar lagi selamanya. Cuma itu doang."

"Cuma itu doang?! Ini bukan masalah sepele, lex! Kok kamu bisa setenang ini sih?!" hardikku keras.

"Trus gimana? Menangis? Ato berteriak? Aku kan bukan kamu Anna! Sudahlah, lebih baik kamu pulang saja. Nggak ada gunanya kamu di sini!" jawab Alex dingin sambil menghindari tatapanku.

Aku sadar aku nggak seharusnya berteriak pada pasien, tapi saat itu aku benar-benar emosi. Emosi mendengar fakta bahwa tangan Alex nggak bisa berfungsi normal lagi. Emosi melihat Alex yang bersikap menyepelekan masalah yang dihadapinya. Tapi yang membuatku emosi adalah fakta bahwa aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

"Sorry... aku memang nggak seharusnya memarahimu. Aku-"

Tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Air mata yang sedari tadi kutahan, tidak bisa kubendung lagi. Kubalikkan badanku menghadap jendela. Aku tidak mau Alex melihat air mataku dan jadi tambah marah.

"Sudahlah, lex. Anna begini kan karna dia peduli sama kamu. Sudahlah jangan marah-marah lagi, bukannya tadi kamu nyari-nyari Anna, sekarang uda datang kok malah di usir-usir?" bujuk mama Alex.

"Hah? Siapa yang nyariin dia? Uda deh, kepalaku sakit nih! Lebih baik kalian keluar dulu saja. Aku perlu istirahat!" semprot Alex sambil memegangi kepalanya.

"Oke...oke... nggak usah teriak-teriak. Ayo Anna kita keluar dulu," seru mama Alex menenangkan sambil memegang lenganku dan membawaku keluar.

Aku benar-benar syok melihat tingkahnya seperti itu. Tidak pernah sejarahnya Alex Tjandra mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu, apapun masalahnya. Namun, aku sadar masalah yang dihadapinya adalah masalah berat. Mungkin walaupun bersikap tenang-tenang saja, sebenarnya dia juga merasa terpukul menerima kenyataan pahit tersebut. Karena itulah, aku pun mencoba sabar untuk menghadapi perubahan sikapnya yang tiba-tiba tersebut.

Memang sih aku akui ada kalanya emosiku memuncak dan ingin sekali menjitak kepalanya. Namun sekali lagi aku berusaha menahan emosiku dan tetap setia mengunjunginya di rumah sakit sampai dia sembuh dan boleh pulang.

Walaupun begitu, sikap Alex bukannya malah membaik tapi justru tambah parah hari demi hari. Ada kalanya, dia marah-marah terus seharian penuh, ada kalanya juga seharian mengunci diri di kamar dan menolak bertemu dan berbicara dengan siapapun. Tapi... ada kalanya juga dia kelihatan sedikit baikan dan bisa diajak ngobrol. Saat itulah biasanya aku ajak dia bicara tentang perasaannya dan apa yang terjadi setelah dia meninggalkan rumah Erna hari itu.

"Lex, aku boleh tanya sesuatu yang pribadi nggak?" tanyaku suatu hari.

"Tanya aja! Bukannya dari tadi kamu sudah tanya banyak hal," jawabnya cuek

"Soal Erna. Kenapa kamu tidak pernah tanya tentang dia? Maksudku... Erna kan selama ini tidak pernah menjengukmu, tapi kenapa sedikit pun kau tidak bertanya alasannya padaku? Kau bahkan tidak terlihat penasaran." Alex memalingkan mukanya dan tetap diam.

"Dia... bukan hanya pindah rumah, Lex. Sehari setelah kecelakaanmu, aku... baru tau kalo dia juga sudah keluar dari sekolah. Sebenarnya aku sudah mau memberi tau kamu tapi setelah tau kamu kecelakaan, aku-"

"Aku sudah tau kok masalah itu. Aku sudah tau dia pergi sebelum kita mendatangi rumahnya waktu itu,"jawabnya pelan sambil masih menolak memandang ke arahku.

"Kamu tau? Kapan? Kamu kok nggak beritau aku?"

"Hari itu sekitar jam lima sore, Erna tiba-tiba menelpon aku ngajak ketemuan di café dekat rumahnya. Lucunya, saking senangnya aku sengaja mampir dulu membeli coklat kesukaannya. Benar-benar nggak kusangka, saat aku memberikan coklat itu, Erna menolaknya dan langsung bilang kalo dia datang untuk menyampaikan keputusannya yang ingin mengakhiri hubungan kami. Waktu dengar dia bilang tentang putus, aku pikir dia lagi ngerjain aku. Tapi ekspresi Erna saat itu sedikitpun tidak menyiratkan kalo dia bercanda. Dia malah melanjutkan menjelaskan kalau dia akan segera pergi jauh dalam waktu yang lama sehingga menurut dia akan lebih baik kalau kami putus. Dan setelah mengatakan itu semua, dia langsung pergi begitu saja, tanpa memberiku waktu untuk mencerna perkataannya dulu. Waktu aku sadar, aku berlari mengejarnya tapi dia sudah menghilang."

Tiba-tiba Alex menghentikan ceritanya sambil terus saja menatap ke luar jendela. Aku menunggu sampai beberapa menit tapi dia tetap diam. Akhirnya karna tidak sabaran aku bertanya lagi.

"Terus kenapa waktu kamu sampai ke rumahku, kamu nggak menceritakan semuanya?"

"Itu karna aku tidak menyangka dia akan pergi secepat itu. Aku pikir aku masih punya waktu meyakinkan dia untuk mengubah keputusannya. Aku hanya ... tidak percaya kalo hubungan kami bisa semudah itu berakhir. Tapi saat mengetahui dia sudah beberapa hari nggak masuk sekolah, perasaanku mulai nggak enak. Dan puncaknya saat kita mengunjungi rumahnya yang sudah kosong waktu itu. Saat itulah ketakutan tiba-tiba menyerbu hati dan pikiranku. Aku benar-benar panik. Yang memenuhi pikiranku saat itu adalah aku harus segera pergi dari tempat itu dan mencari Erna."

"Jadi itu alasannya mengapa kamu terlihat aneh dan tiba-tiba pergi saat itu." Alex mengangguk mengiyakan.

"Aku mulai mencari seperti orang gila. Mulai dari studio tempat kami sering latihan musik bareng, sampai ke beberapa tempat di mana kami pernah nge-date sebelumnya. Sayangnya... aku tetap tidak menemukan dia. Aku benar-benar merasa putus asa. Aku nggak tau harus mencari dia kemana lagi. Tak satupun saudara Erna yang aku kenal dan aku tau rumahnya. Karna frustasi aku mulai menekan gas motorku kuat-kuat dan menyetir bak orang kesurupan. Saat aku sadar motorku mulai tak terkendalikan, semuanya sudah terlambat. Yang aku ingat saat itu cuma benturan yang luar biasa keras dan saat aku sadar aku sudah terbaring di rumah sakit dengan kepala dan tangan sebelah kiriku di balut perban,"lanjut Alex datar.

Namun ekspresi Alex yang semula terlihat tenang tiba-tiba berubah menjadi ekpresi kesal. Dia menoleh ke arahku dan tiba-tiba marah.

"Sudah puas? Kamu sudah puas dengar ceritanya kan? Kalo sudah puas, lebih baik kamu pulang. Aku muak di tanyai melulu!"

Aku terkejut bukan main melihat perubahan emosinya yang tiba-tiba tersebut. Sebenarnya saat mendengar cerita Alex, aku benar-benar ingin menangis. Tapi aku tahan karna aku takut malah membuatnya jadi tambah sedih. Jadi, saat dia mengusirku aku benar-benar ingin menolaknya. Aku ingin tetap berada di sampingnya dan menangis bersamanya. Aku ingin dia berhenti menahan perasaannya dan membagi kesedihannya denganku. Namun saat aku menatapnya lagi, dia kembali terlihat dingin dan tak terjangkau.

Seperti ada bongkahan batu yang besar bersarang di dadaku saat melihatnya seperti itu. Namun aku tau jika aku memaksa tinggal, dia akan membenciku dan makin menutup rapat-rapat perasaannya. Maka, aku pun pergi dari kamarnya dengan berat hati.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • WANITA SIMPANAN MILIK SUAMIKU   34. AKU BISA PECAT KAMU!

    “Gimana hasilnya? Berhasilkah misi yang kuberikan?”tanya Erick pada saat aku baru saja sampai. Dia tampaknya sudah menungguku di dapur sedari tadi sambil mempersiapkan bahan-bahan apa saja yang akan dipakai hari ini. “Kayaknya sih enggak. Masih aja marah-marah terus kerjaannya. Malah tambah parah tingkat marah-marahnya sekarang.” Erick tersenyum mendengar jawabanku. “Justru bagus itu. Artinya dia bereaksi terhadap kamu dan malah lebih intens dari semula. Sudah siap kalau gitu untuk misi yang kedua.” “Misi kedua? Apa memangnya?”tanyaku penasaran. Bisa aja nih bocah nyiptain misi-misi seperti ini, pikirku. “Rayu dan campakkan!”jawabnya singkat tanpa penjelasan apapun.  “Ha? Apa maksudnya ‘rayu dan campakkan’?” “Ya sama seperti kata yang kau dengar itu maksudnya. Aku mau kau merayunya terus dan waktu dia mulai mengikuti rayuanmu dan terperangkap di dalamnya, kejutkan dia dengan penolakan. Buat dia semakin bingung, semakin pena

  • WANITA SIMPANAN MILIK SUAMIKU   33. ISTRIKU TERNYATA GALAK

    "Pak, kalau ada masalah itu bisa diselesaikan baik-baik. Jangan main tangan kayak gini dong! Saya juga bisa pak, kalau main pukul!" Kelihatan sekali tampang bapak itu ingin menantangku. Dia maju selangkah mendekatiku dan tangannya meraih bagian depan kemejaku dan mencengkramnya."Kamu lihat dulu anakku, baru kau bisa komentar kayak gitu! Lihat itu badan anakku bentol-bentol semua gara-gara alergi. Kan sudah aku wanti-wanti dari awal kalau makanannya jangan ada udangnya. Anakku nggak bisa konsumsi makanan apapun yang memakai udang di dalamnya. Tapi lihat ini, saus yang dibawa pelayanmu ini ada udangnya. Dan anak saya sudah terlanjur memakannya. Untung saja baru sedikit masuk ke mulutnya. Kalau sampai kami nggak curiga dan memeriksanya tadi, anak saya pasti sudah memakannya semua dan langsung mengalami shock. Kalian tau alergi yang parah bisa mengakibatkan kematian! Dan sedikit saja, nyawa anak saya hampir terancam. Itu gara-gara keteledoran kalian!"bentaknya sambil menunjuk

  • WANITA SIMPANAN MILIK SUAMIKU   32. TAMPARAN DI PIPI

    ALEX’S POINT OF VIEWTak pernah sebelumnya, aku membayangkan akan menikah dengan paksaan seperti ini. Jaman sudah modern dan seharusnya tak ada lagi jenis pernikahan yang seperti ini. Tapi ya… di sinilah aku, menjadi salah satu korban dari sebuah pernikahan konyol, yang direncanakan orang tuaku dengan si iblis rakus, Anna Karenina. Ditambah lagi, saat teman-teman kuliah datang dan menggodaku waktu berada di pelaminan. Mereka sama sekali tak tahu kalau aku menikah karena dijodohkan. Pikir mereka aku dan Anna menikah karena sama-sama cinta. Itulah yang membuatku geram. Masalahnya, sepanjang pesta, mereka memaksaku untuk berfoto bersama istriku dengan pose-pose mesra yang diarahkan oleh mereka. Aku disuruh meluk Anna lah, nyium pipi dan keningnya lah, dan semua pose-pose yang membuatku ingin menendang mereka semua. Aku tau mereka sengaja mengerjai aku. Masalahnya, mereka nggak tau perasaanku sebenarnya. Dikiranya aku suka apa meluk-meluk sama nyium Anna?!

  • WANITA SIMPANAN MILIK SUAMIKU   31. DIPERLAKUKAN BURUK OLEH SUAMI

    Alex mengekoriku dari belakang dan menarik tanganku seketika. Tubuhku langsung tersentak ke arahnya dan mendarat tepat di lengannya. “Apa-apaan sih, lex?! Lepas! Tanganku sakit,” teriakku sambil mencoba menarik tanganku kembali. “Aku nggak akan lepaskan tanganmu kalau kau masih belum menarik keputusanmu itu. Gila apa kamu, berani-beraninya ingin bekerja di restoranku! Mau cari gara-gara ya. Mentang-mentang kamu tau Erna juga bekerja di sana!” amuk Alex dengan kasar. Wajahnya terlalu dekat dan cengkramannya pada tanganku pun semakin kuat terasa. “Kenapa harus bertanya lagi. Bukannya kamu tau kalau aku menikahimu karna memang mau memisahkanmu dari Erna?! Jadi ya suka atau tidak, kau harus siap melihatku sebulan lagi berkeliaran di restoran yang kau agung-agungkan itu. Aku ingin lihat, apa teman kencanmu itu masih bisa bertingkah, kalau aku ada di sana?!” Kemarahan di mata Alex semakin menyala. Dia bahkan terlihat seperti akan memakanku hidup-hidup. Mata h

  • WANITA SIMPANAN MILIK SUAMIKU   30. SERUMAH DENGAN SUAMI GALAK

    Paginya aku dibangunkan oleh nada dering ponsel yang sejak tadi berbunyi terus. Ingin sekali aku tak menghiraukannya karna masih mengantuk. Tapi karna deringnya berbunyi terus menerus tanpa ampun dan memekakkan telingaku, terpaksa aku mengulurkan tanganku dan meraih ponsel yang berada di atas meja lampu, di samping ranjang. Mataku terbelalak saat melihat nama mertuaku di layar ponsel. Entah kenapa, aku merasa ada hal yang buruk terjadi saat menerima panggilan mertuaku kali ini. Segera aku menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.Nada suara mama mertuaku itu saat panggilan tersambung, terdengar seperti nada orang yang sedih dan khawatir. “Anna… kamu kenapa nggak terus terang sama mama? Kenapa nggak bilang kalau Alex nggak tinggal sama kamu di Bali? Ya ampun, An… kalau ada hal seperti ini, jangan disembunyikan dari papa mama. Jangan disimpan sendiri.”Aku tak menyangka mama mertuaku ini bisa mengetahui hal memalukan ini. Padahal aku sudah dengan h

  • WANITA SIMPANAN MILIK SUAMIKU   29. WANITA DALAM PELUKAN SUAMIKU

    Masih jam lima sore dan aku sudah kehabisan ide untuk melakukan apa saja di kamar sendirian. Kakiku sih sudah agak mendingan setelah dikompres dan diberi balsam. Tapi untuk keluar sendiri sore-sore begini untuk mengelilingi sekitar daerah sini, aku tak begitu berani. Takutnya nanti nyasar nggak bisa balik ke hotel gimana.  Mungkin lebih baik aku turun ke bawah, ke restoran hotel dan makan malam di sana. Sekalian biar ganti suasana. Bosan soalnya diam terus di dalam kamar. Siapa tahu nanti makanan yang disajikan jauh lebih enak dari yang aku pesan kemarin. Setelah mandi dan merapikan barangku, aku keluar dari kamarku dan langsung masuk ke dalam lift. Aku memeriksa penampilanku di depan cermin besar yang ada di dinding lift. Pintu lift terbuka saat sudah sampai di lantai yang kutuju. Dengan girang, aku melangkahkan kakiku keluar. Tapi, betapa kagetnya aku saat berpapasan dengan Alex dan Erna pas keluar dari lift. Pria yang sebenarnya adalah suamiku itu, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status