Pagi ini suasana kamar mewah Azka nampak begitu tenang, si tampan menggeliat saat tubuhnya mulai terbangun dari alam mimpi."Engh!" Geraman halus keluar begitu saja saat perlahan matanya terbuka, namun dia merasa ada yang aneh ketika dia mengucek matanya.Tanganya merasa begitu ringan padahal dia ingat betul, semalam dia memeluk kekasihnya dengan posesif. Perlahan matanya pun terbuka, ranjang sebelahnya ternyata sudah kosong."Kemana dia?" Gumamnya yang kemudian membuka selimut dan turun dari ranjang.Azka pun melirik jam yang sudah menujukan pukul 10 lebih, dia juga langsung mengecek ponselnya yang ternyata ada puluhan panggilan tak terjawab dari Tio, sang sekertaris."Dia tidak meninggalkan pesan sama sekali," ucap Azka yang melihat aplikasi pesan singkat yang ternyata tidak ada satu pun pesan singkat yang di kirim oleh Ayana.Di pun langsung menekan layar benda pipih itu untuk menghubungi nomor sang kekasih. Tapi ponsel Ayana tidak bisa dihubungi membuat Azka mengerutkan keningnya.
"Halo, selamat pagi?" Sapa seorang wanita bernama Cielo."Halo, Saya Ayana yang melamar kerja kemarin."Ayana bicara bahasa spanyol sebisanya, dan itu terdengar lucu di telinga Cielo. Cielo pun tersenyum dengan begitu ramah, sampai akhirnya Cielo berbicara bahasa Indonesia yang membuat Ayana sangat terkejut."Oh, kamu orang Indonesia, kan? Silahkan masuk, kita bicara di dalam.""Eh? Anda bisa bahasa Indonesia?" Tanya Ayana yang sangat terkejut dan tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Tentu saja, aku dulu pernah tinggal di Indonesia sebagai mahasiswa.""Ah, pantas saja.""Tenang saja, disini juga banyak orang Indonesia yang sering datang. Kamu akan mendapatkan banyak teman nantinya.""Aku harap begitu."Ayana masih malu-malu dengan keramahan yang diberikan oleh Cielo. Dia hanya mengikuti wanita berumur 35 tahun itu menuju ke dalam sebuah cafe yang masih tutup."Sengaja aku memintamu datang lebih awal agar aku bisa memberitahumu aturan kerja di sini." Ungkap Cielo yang hanya
Setelah bertemu kembali dengan Ayana, Mahen semakin sering datang ke Cafe Cielo. Dia datang hanya untuk melihat Ayana, yang ternyata pandai beradaptasi. Sebenarnya Mahen masih merasa ada yang mengganjal, soal tangisan Ayana hari itu."Kenapa kamu terus menatapnya, apa dia gadis yang sering kamu ceritakan padaku?" Cielo bertanya sambil menyeruput kopi miliknya.Dia sejak tadi memperhatikan Mahen yang terus mantap Ayana yang sedang bekerja. Sampai akhirnya Cielo menghampiri Mahen untuk menemaninya sarapan."Dunia ternyata sangat sempit, ya, Cielo. Aku sekarang merasa sangat bodoh, seharusnya aku tidak jadi pengecut dan melarikan diri saat itu.""Kalian masih muda kala itu, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Aku dengar, dia datang kemari untuk pengobatan Neneknya. Dia juga belum menikah, kalian mungkin di pertemukan kembali agar kalian bisa bersama setelah kalian dewasa." Mahen melirik Cielo lalu tersenyum, "Apa aku boleh mengejar cintanya lagi?""Lakukan sesukamu! Bukankah sela
"Dengar... aku tidak akan bertanya jika kamu tidak ingin bercerita lebih dulu. Tapi satu hal yang bisa kamu ingat, aku akan selalu ada di sampingmu. Jadi ceritakan apapun yang ingin kamu bagikan denganku, aku siap menjadi pendengar yang baik untukmu."Kedua bola mata Ayana kembali berkaca-kaca, setiap ucapan Mahen sangat menyentuh hatinya. Dengan cepat, Ayana memeluk Mahen."Aku bingung, Mahen. Haruskah aku memberitahu Ayah dari bayi ini? Apa yang harus aku lakukan?"Mahen terdiam untuk sesaat, membiarkan Ayana meluapkan emosinya dengan menangis. Dengan sabar, Mahen menepuk-nepuk punggung Ayana dengan lembut. Berharap itu bisa membantu menenangkan hati Ayana yang kebingungan.Tapi jika boleh Mahen jujur, dia ingin tahu siapa yang telah berani menodai gadis sebaik Ayana. Kenapa Ayana sampai merelakan tubuh dan harga dirinya demi seorang pria?Itu sangat bukan Ayana yang Mahen kenal, dia pikir, Ayana tidak akan terjebak dalam hubungan seperti itu."Apa aku boleh berpendapat?" Tanya Mah
"Bagaimana? Apa sampai saat ini kamu tidak bisa mengetahui dia dimana?"Tio menunduk pasrah saat Azka bertanya dengan tatapan yang begitu tajam. Dia langsung memijat pelipisnya, hari demi hari rasanya semakin buruk karena kabar Ayana sama sekali tidak terdengar."Maafkan saya, Tuan.""Ini sudah hampir 4 bulan, sebenarnya apa yang kamu kerjakan? Kerjamu sangat tidak becus!"Azka langsung saja pergi dari ruangan kerjanya. Kepalanya sedikit terasa berat dan dia pun berjalan menuju kantin, kebetulan sekali, Sang Genral manager itu melihat seorang gadis yang sedang makan dengan lahap di sudut kantin.Dengan kakinya yang gelisah, dia datang menghampiri Olivia, sahabat Ayana. Dia tidak punya pilihan lain, dia harus bertanya langsung pada Olivia."Boleh saya duduk disini?" Tanya Azka yang membuat Olivia langsung tersedak dengan makanannya."Uhuk!""Ah, maaf, membuatmu terkejut."Olivia benar-benar akan mengeluarkan kedua bola matanya karena melihat siapa yang datang ke tempatnya."Ah, tidak!
"Oh, Astaga!" Pekik Ayana karena terkejut."Sssttt!"Pria bertubuh tegap itu langsung saja menempelkan telunjuknya di atas bibir tipis milik Ayana. Ayana hanya memutar kedua bola matanya dengan malas saat dia tahu siapa yang sudah menarik tangannya dan menyudutkan tubuh mungilnya di dinding."Kamu ini! Bagaimana jika ada yang melihat kita?" Protes Ayana karena kelakuan sang kekasih yang baru saja mengecup pipinya kilas."Aku tidak keberatan jika ada yang melihat, maka aku akan bilang jika kamu adalah milikku. Akh!"Ayana akhirnya memukul pundak atasannya itu dengan kencang. Ucapan Azka, kekasihnya itu memang kadang tidak pernah di pikirkan lebih dulu. Ayana sangat tidak ingin jika hubungannya dengan general managernya itu di ketahui oleh orang lain, terutama orang-orang kantor.Jika di tanya kenapa Ayana tidak ingin go publik tentang hubungan asmaranya, maka Ayana akan menjawab jika dia belum siap jika orang-orang tahu jika dia menjali
"Ey! Kenapa kamu sangat terkejut? Kamu benar-benar belum mengetahui berita hari ini, ya?"Olivia terlihat menggoda Ayana dengan cara mencolek dagu sahabatnya. Namun hati Ayana sangat tidak tenang ketika Olivia berbicara dengan serius dari mana dia mendapatkan informasi itu."Aku dengar pernikahan mereka akan di adakan besar-besaran, seluruh karyawan akan di undang. Kira-kira kita harus memakai pakaian yang seperti apa? Apa kita harus membeli gaun baru saja?"Olivia benar-benar bercerita dengan sangat semangat tanpa melihat ekspresi Ayana yang masih sangat terkejut. Ayana tidak tahu harus memberikan respon seperti apa ketika mendengar nama kekasihnya akan menikah.Satu yang Ayana pikirkan sekarang ini, dia harus meminta klarifikasi dari Azka langsung. Dia tidak ingin lebih dulu percaya dengan berita yang sudah beredar, karena Ayana sangat percaya dengan sang kekasih.Bahkan tadi pagi saja, Azka tidak bicara apapun tentang pernikahan ataupun terkait
"Dia tidak datang," gumam Ayana dengan menatap arah perusahaan tempat dia bekerja. Ayana melirik jam tangan pemberian Azka minggu lalu, kini jarum jam tangannya sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Ayana menunggu kekasihnya hingga empat jam, Ayana ingin menangis saja! "Huftt, kenapa ponselku harus mati? Apa Azka memberi kabar jika dia tidak akan datang?" Ayana akhirnya pergi dari tempat itu untuk mencari kendaraan yang bisa membawanya pulang. Sang Nenek pasti sangat khawatir karena Ayana belum pulang sampai larut malam, sepertinya Ayana harus mengganti ponselnya karena benda itu sudah sering mati mendadak. KLEK Ayana membuka pintu rumahnya dengan perlahan, Ayana mengira jika sang Nenek sudah tidur karena sudah malam. Namun Ayana salah, karena sang Nenek ternyata sedang menunggunya pulang di ruang tengah. "Kamu lembur lagi, Nak?" "Eh! Ah, iya, Nek. Nenek kenapa belum tidur?" Ayana awalnya terdengar sangat terkejut denga
"Bagaimana? Apa sampai saat ini kamu tidak bisa mengetahui dia dimana?"Tio menunduk pasrah saat Azka bertanya dengan tatapan yang begitu tajam. Dia langsung memijat pelipisnya, hari demi hari rasanya semakin buruk karena kabar Ayana sama sekali tidak terdengar."Maafkan saya, Tuan.""Ini sudah hampir 4 bulan, sebenarnya apa yang kamu kerjakan? Kerjamu sangat tidak becus!"Azka langsung saja pergi dari ruangan kerjanya. Kepalanya sedikit terasa berat dan dia pun berjalan menuju kantin, kebetulan sekali, Sang Genral manager itu melihat seorang gadis yang sedang makan dengan lahap di sudut kantin.Dengan kakinya yang gelisah, dia datang menghampiri Olivia, sahabat Ayana. Dia tidak punya pilihan lain, dia harus bertanya langsung pada Olivia."Boleh saya duduk disini?" Tanya Azka yang membuat Olivia langsung tersedak dengan makanannya."Uhuk!""Ah, maaf, membuatmu terkejut."Olivia benar-benar akan mengeluarkan kedua bola matanya karena melihat siapa yang datang ke tempatnya."Ah, tidak!
"Dengar... aku tidak akan bertanya jika kamu tidak ingin bercerita lebih dulu. Tapi satu hal yang bisa kamu ingat, aku akan selalu ada di sampingmu. Jadi ceritakan apapun yang ingin kamu bagikan denganku, aku siap menjadi pendengar yang baik untukmu."Kedua bola mata Ayana kembali berkaca-kaca, setiap ucapan Mahen sangat menyentuh hatinya. Dengan cepat, Ayana memeluk Mahen."Aku bingung, Mahen. Haruskah aku memberitahu Ayah dari bayi ini? Apa yang harus aku lakukan?"Mahen terdiam untuk sesaat, membiarkan Ayana meluapkan emosinya dengan menangis. Dengan sabar, Mahen menepuk-nepuk punggung Ayana dengan lembut. Berharap itu bisa membantu menenangkan hati Ayana yang kebingungan.Tapi jika boleh Mahen jujur, dia ingin tahu siapa yang telah berani menodai gadis sebaik Ayana. Kenapa Ayana sampai merelakan tubuh dan harga dirinya demi seorang pria?Itu sangat bukan Ayana yang Mahen kenal, dia pikir, Ayana tidak akan terjebak dalam hubungan seperti itu."Apa aku boleh berpendapat?" Tanya Mah
Setelah bertemu kembali dengan Ayana, Mahen semakin sering datang ke Cafe Cielo. Dia datang hanya untuk melihat Ayana, yang ternyata pandai beradaptasi. Sebenarnya Mahen masih merasa ada yang mengganjal, soal tangisan Ayana hari itu."Kenapa kamu terus menatapnya, apa dia gadis yang sering kamu ceritakan padaku?" Cielo bertanya sambil menyeruput kopi miliknya.Dia sejak tadi memperhatikan Mahen yang terus mantap Ayana yang sedang bekerja. Sampai akhirnya Cielo menghampiri Mahen untuk menemaninya sarapan."Dunia ternyata sangat sempit, ya, Cielo. Aku sekarang merasa sangat bodoh, seharusnya aku tidak jadi pengecut dan melarikan diri saat itu.""Kalian masih muda kala itu, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Aku dengar, dia datang kemari untuk pengobatan Neneknya. Dia juga belum menikah, kalian mungkin di pertemukan kembali agar kalian bisa bersama setelah kalian dewasa." Mahen melirik Cielo lalu tersenyum, "Apa aku boleh mengejar cintanya lagi?""Lakukan sesukamu! Bukankah sela
"Halo, selamat pagi?" Sapa seorang wanita bernama Cielo."Halo, Saya Ayana yang melamar kerja kemarin."Ayana bicara bahasa spanyol sebisanya, dan itu terdengar lucu di telinga Cielo. Cielo pun tersenyum dengan begitu ramah, sampai akhirnya Cielo berbicara bahasa Indonesia yang membuat Ayana sangat terkejut."Oh, kamu orang Indonesia, kan? Silahkan masuk, kita bicara di dalam.""Eh? Anda bisa bahasa Indonesia?" Tanya Ayana yang sangat terkejut dan tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya."Tentu saja, aku dulu pernah tinggal di Indonesia sebagai mahasiswa.""Ah, pantas saja.""Tenang saja, disini juga banyak orang Indonesia yang sering datang. Kamu akan mendapatkan banyak teman nantinya.""Aku harap begitu."Ayana masih malu-malu dengan keramahan yang diberikan oleh Cielo. Dia hanya mengikuti wanita berumur 35 tahun itu menuju ke dalam sebuah cafe yang masih tutup."Sengaja aku memintamu datang lebih awal agar aku bisa memberitahumu aturan kerja di sini." Ungkap Cielo yang hanya
Pagi ini suasana kamar mewah Azka nampak begitu tenang, si tampan menggeliat saat tubuhnya mulai terbangun dari alam mimpi."Engh!" Geraman halus keluar begitu saja saat perlahan matanya terbuka, namun dia merasa ada yang aneh ketika dia mengucek matanya.Tanganya merasa begitu ringan padahal dia ingat betul, semalam dia memeluk kekasihnya dengan posesif. Perlahan matanya pun terbuka, ranjang sebelahnya ternyata sudah kosong."Kemana dia?" Gumamnya yang kemudian membuka selimut dan turun dari ranjang.Azka pun melirik jam yang sudah menujukan pukul 10 lebih, dia juga langsung mengecek ponselnya yang ternyata ada puluhan panggilan tak terjawab dari Tio, sang sekertaris."Dia tidak meninggalkan pesan sama sekali," ucap Azka yang melihat aplikasi pesan singkat yang ternyata tidak ada satu pun pesan singkat yang di kirim oleh Ayana.Di pun langsung menekan layar benda pipih itu untuk menghubungi nomor sang kekasih. Tapi ponsel Ayana tidak bisa dihubungi membuat Azka mengerutkan keningnya.
"Kamu datang terlalu cepat, aku belum selesai masak." Ujar Ayana yang tahu jika yang memeluknya saat ini adalah Azka."Aku sudah tidak sabar untuk pulang setelah membaca pesan darimu, terimakasih karena tidak mengikuti perintah dari Ibuku."Ayana seketika terdiam, dia tidak tahu harus menjawabnya dengan apa. Jika saja Azka tahu, jika ini adalah malam terakhir mereka, apa yang akan di lakukan oleh pria yang kini memeluknya dengan posesif itu?"Pergilah mandi lebih dulu, kamu bau. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat." Ujar Ayana yang membuat Azka langsung mencium tubuhnya."Apa aku bau?" Tanyanya keheranan. Dia merasa masih wangi, karena parfum mahalnya tidak hilang dengan cepat."Ya, kamu bau. Sana pergi mandi!!" Usir Ayana yang kini memutar tubuh Azka dan mendorongnya untuk menjauh. Azka terkekeh saat mendengar Ayana tertawa dan kembali fokus pada daging yang sedang dia panggang.Setelah selang beberapa menit, Azka benar-benar pergi mandi. Dia membersihkan tubuhnya dengan cepat ag
"Kamu dari mana?"Langkah Aura terhenti saat Azka melihatnya baru pulang pukul satu malam. Padahal sejak kemarin, Azka menunggu istrinya itu pulang. "Syuting." Jawab Aura singkat. Baru saja Aura akan berjalan menuju kamarnya tapi Azka kembali membuka mulutnya."Ikut aku, aku ingin bicara. Bukannya kamu juga ingin bicara soal Ayana, kan?"Mendengar sebuah nama yang ia benci, Aura menatap kesal Azka yang lebih dulu masuk ke ruang kerjanya. Meskipun lelah, tapi apa yang dikatakan oleh Azka ada benarnya juga, dia juga ingin mendengar apa yang akan di kataka Azka tentang perselingkuhannya dengan Ayana.Azka menaruh kopinya di meja kerjanya, dia melirik Aura yang baru saja masuk ke ruangannya. Terlihat jelas tatapan Aura tidak seperti biasanya, ada kemarahan yang sangat ketara disana."Apa yang ingin kamu katakan?" Tanya Aura dengan tenang."Bukankah itu pertanyaan yang harusnya aku tanyakan padamu?" Jawab Azka yang kini duduk di kursi kerjanya.Aura langsung mengerutkan keningnya, Azka
KLEKSuara pintu di buka membuat Ayana menoleh seketika. Pandangannya membola saat tahu siapa yang datang. Dengan cepat Ayana berdiri dari duduknya untuk menghampiri Azka."Azka, sudah kubilang untuk tidak usah datang." Bisik Ayana karena dia takut membangunkan sang Nenekk."Kita perlu bicara.""Akh!"Ayana memekik pelan saat Azka menariknya keluar dari ruangan rawat Neneknya. Ayana yang tidak mau terjadi keributan hanya bisa diam dan menurut saja saat Azka membawanya ke rooptop rumah sakit."Apa maksudnya dengan jangan menemuimu lagi, hah?"Azka memulai pembicaraan dengan sedikit emosional, walaupun dia terlihat menahan semua amarahnya. Ayana menutup matanya untuk beberapa saat, sampai akhirnya dia menghela nafas beratnya."Kamu ingin kita berakhir? Jelaskan pesan ini dengan jelas karena aku tidak mengerti." Ujar Azka yang melempar ponselnya ke tubuh Ayana, tidak terlalu keras, sehingga Ayana bisa menangkap benda itu dengan aman.Ayana memang langsung mematikan panggilan Azka beberap
"Kamu yang bernama Ayana?"Ayana terdiam untuk sesaat sampai akhirnya dia mengangguk kepalanya dan akhirnya tersadar jika wanita yang ada di depannya itu nampak tidak asing di matanya."Kamu tidak mengenalku?" Tanya wanita paruh baya di depannya."Anda?" Ayana menggantungkan kalimatnya karena dia tidak tahu, dia ingat wajahnya tapi tidak dengan nama dan kapan mereka bertemu.Langkah kaki wanita itu terdengar jelas, suasana diantara mereka membuat Ayana bingung. Karena wanita paruh baya itu menatap Ayana dengan begitu tajamnya."Sepertinya kamu memang tidak mengenalku, perkenalkan, saya Ibu Azka. Anne Wijaya.""Astaga! Nyonya Anne?" Ayana nampak begitu terkejut saat Ibu Anne memperkenalkan namanya. Tapi respon Ibu Anne masih tetap datar dan terkesan meremehkan Ayana yang mencoba mengulurkan tangannya."Kita sepertinya harus bicara," ujar Ibu Anne yang meninggalkan Ayana lebih dulu.Perasaan Ayana bercampur aduk, antara bingung dan penasaran. Kenapa Nyonya besar itu datang mencarinya s