Rasanya seperti mimpi, Rara menyetujui lamaran pernikahan mendadak dari Revan hanya karena kejadian satu malam itu. Saat ini, Rara melihat pantulan dirinya sendiri didalam cermin. Rara masih merasa tak percaya jika hari ini dia akan menikah.
"Ra, kamu siap?." tanya mamanya, dilihatnya putri semata wayangnya itu dengan mata yang berkaca-kaca.Rara mengangguk, lalu berbalik menghadap ke arah mamanya."Ma, maafin Rara ya." kata Rara dengan suara bergetar. Rara meminta maaf karena selama ini sudah membuat mamanya sedih. Dia merasa sudah membuat malu papa mamanya ketika pertunangannya dengan Nathan kandas begitu saja."Sayang, kamu gak perlu minta maaf. Papa mama ga pernah merasa bahwa itu adalah kesalahan kamu." kata mama Rara sambil memegang tangan putrinya. Dia sangat paham dengan apa yang Rara katakan."Mulai hari ini lepaskan semua tentang masa lalu kamu ya, tidak perlu mengingatnya lagi." kata mama Rara lembut."Sekarang sudah waktunya kamu menatap masa depan. Masa depanmu dengan Revan." lanjut mamanya sambil mengusap lengan Rara.Mata Rara berkaca-kaca mendengar ucapan mamanya. Mamanya benar, sekarang sudah waktunya dia mengubur semua kesedihan dan kekecewaannya di masa lalu. Sebentar lagi dia akan menikah dengan Revan, dan akan memulai lembaran baru dengan laki-laki itu. ***Rara sudah mengganti pakaiannya dan menghapus riasan yang ada diwajahnya, sedangkan Revan tengah mandi di kamar mandi yang ada di dalam kamar Rara. Ya, karena mereka sudah resmi menikah, tentu saja Revan sudah berhak berada di kamar istrinya.Revan keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya. Laki-laki itu tampak segar dan semakin tampan dengan rambut yang basah setelah keramas.Rara mengerjap-ngerjapkan matanya memandang Revan yang setengah telanjang. Meskipun tubuh mereka pernah saling menyatu, namun ini kali pertama Rara melihat tubuh atas Revan dengan jelas.Rara bisa melihat dada bidang Revan, perut six packnya yang terbentuk sempurna, dan otot-otot yang membentuk lengannya. Sepertinya laki-laki itu rajin berolah raga untuk menjaga bentuk tubuhnya.Revan tersenyum, dia senang karena Rara memperhatikan tubuhnya."Aku ganti baju disini ya, Ra." goda Revan pada Rara yang masih terus memandanginya.Rara terbatuk mendengar perkataan Revan. Rara tersadar bahwa dia ketahuan sedang memperhatikan laki-laki itu. Rara pura-pura tidak mendengar apa yang Revan katakan, namun wajahnya yang tersipu mengatakan semuanya."Hmmm...ya, boleh saja...terserah kamu Van...aku mau mandi dulu." kata Rara lalu segera masuk ke kamar mandi. Revan hanya tersenyum melihat Rara yang salah tingkah.Rara mandi tidak terlalu lama, setelah membersihkan tubuhnya dan mencuci muka dengan sabun khusus pembersih wajah, dia segera berganti pakaian dengan piyama tidurnya.Rara keluar dari kamar mandi, dan segera duduk dimeja riasnya. Rara mengoles krim malam pada wajahnya dan menyisir rambutnya agar tidak kusut esok hari. Rara juga memakai lotion pada tangan dan kakinya. Rara sangat detail melakukan ritual malamnya sebelum tidur, dia lupa bahwa Revan sekarang juga tidur dikamarnya dan tengah memperhatikannya sedari tadi.Rara baru tersadar jika ada Revan dikamarnya ketika dia berbalik. Revan sedang duduk di atas ranjang sambil tersenyum memperhatikannya. Tatapan matanya lekat mengunci bayangan Rara.Rara menjadi gugup, meskipun Revan sudah menjadi suaminya, tetap saja Rara masih malu jika terus menerus diperhatikan oleh laki-laki itu.Rara pura-pura bersikap tenang, dia kemudian duduk di sofa sambil mengutak-atik ponselnya. Rara terlihat sibuk, padahal dia hanya melihat-lihat galeri fotonya.Revan menunggu Rara dengan setia diatas ranjang, semenit, dua menit, hingga berlalu menjadi sepuluh menit. Revan mulai gemas karena Rara tidak juga beranjak dari tempatnya, wanita itu betah sekali duduk di sofa dan mengacuhkan Revan."Ra..." panggil Revan membuat Rara mengalihkan pandangannya dari ponsel ke laki-laki itu."Hmmmm..." jawab Rara lalu kembali menatap ponselnya.Rara pura-pura tidak perduli padahal hatinya sedang gelisah. Dia tidak tahu harus melakukan apa. 'Begini ya rasanya menikah tanpa cinta.' kata Rara dalam hati. 'Tapi kenapa hatiku berdebar-debar ya?.' tanyanya sendiri.'Dasar bodoh, tentu saja jantungku berdebar. Aku kan gak pernah sekamar sama laki-laki.' kata Rara lagi.Rara terus menatap ponselnya berpura-pura sibuk padahal pikirannya sedang berperang.Revan kemudian bangkit dan menghampiri Rara, membuat Rara mau tak mau melepaskan matanya dari ponsel yang sedang digenggamnya.Rara menatap Revan yang semakin dekatnya dengannya. Revan kemudian menarik tangan Rara dan membawanya ke ranjang. Rara tidak menolak, dia mengikuti Revan seperti anak itik dibelakang induknya."Sudah malam, Ra. Jangan main hp terus!” Revan menarik selimut.Rara akhirnya pasrah, dia berbaring tidur disebelah kiri sisi ranjang dan Revan disebelah kanannya.Setengah jam mereka berpura-pura memejamkan mata, namun nyatanya baik Rara maupun Revan tidak ada satupun yang bisa tidur."Ra..." panggil Revan lirih. Keheningan malam sangat terasa diantara mereka.Rara yang memang belum tidur membuka matanya ketika mendengar Revan memanggilnya. Revan berbaring miring sehingga bisa melihat wajah Rara yang cantik. "Kok kamu belum tidur, Ra?." pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Revan yang seketika itu juga dia sesali."Kamu sendiri juga belum tidur." balas Rara spontan.Revan tersenyum sambil menampakkan giginya mendengar jawaban Rara."Ra..." panggil Revan lagi, matanya memandang mata Rara lekat, ada sebuah harapan dalam mata lelaki itu."Hmmmm..." jawab Rara kemudian menatap mata Revan.Matanya seketika terkunci dalam manik mata lelaki itu. Rara merasa tidak mampu berpaling dari mata tajam Revan yang tengah memandangnya."Ra, kita sudah menikah kan?." tanya Revan lembut. Rara mengangguk.Revan menggeser tubuhnya sedikit mendekati Rara."Kita sudah resmi jadi suami istri kan?." tanyanya lagi membuat Rara kembali mengangguk sebagai jawaban.Revan tersenyum, dia menggeser lagi tubuhnya menjadi lebih dekat dengan Rara."Ra, boleh aku meminta hakku?." tanya Revan dengan suara serak. Tatapan matanya tampak berkabut. Wajahnya yang tadi tersenyum berubah menjadi memelas."Sepertinya wanita ini putus asa, Bastian. Hingga dia memerlukan pertolonganmu untuk menghamilinya!.""Dan dia melakukannya agar bisa menekanku untuk bertanggung jawab padanya!." Revan melihat Bastian yang tengah menatap tajam pada Marsya. Rahang laki-laki itu mengeras karena marah pada wanita didepannya."Apa itu benar, Sya!. Kamu memperalatku?." tanya Bastian, sedangkan Marsya menggeleng lemah."Katakan, Sya!. Apa benar Bastian adalah ayah bayimu?." tantang Revan."Bukankah kamu tidak ingin hamil dan melahirkan tanpa seorang suami?.""Aku tidak mungkin bertanggung jawab, karena aku tidak menghamilimu!.""Jadi, sekarang Bastian adalah satu-satunya kesempatanmu, Sya!.""Ayah kandung anakmu ada didepanmu, apa kamu tidak mau menyuruhnya bertanggung jawab?." Sindir Revan.Marsya terdiam, air matanya masih mengalir membasahi pipinya. Dia tidak menyangka kalau jebakannya pada Revan tidak berhasil. Dia tidak pernah tahu kalau laki-laki itu memutus jalur spe*manya."Bas...aku..." Marsya tida
"Lepas, Van!. Sakitt!." Marsya menarik tangan Revan yang tengah mencengkram rahangnya.Revan melepaskan wajah Marsya dengan kasar membuat wanita itu terhuyung dan nyaris terjatuh."Revan!. Kau bisa mencelakai anak kita!." protes Marsya dengan suara yang sedikit keras. Dia berani membentak Revan karena percaya diri kalau anak yang tengah dikandungnya adalah milik Revan."Anakku?. Benarkah?." ejek Revan sambil memindai Marsya dari atas sampai bawah."Marsya...Marsya...aku tidak percaya ternyata aku membesarkan ular selama ini!." kata Revan sambil mengambil minuman dari meja bar dan meneguknya.Marsya yang mendengar ejekan Revan hanya mengernyitkan keningnya."Kupikir selama ini kamu adalah wanita yang polos, Sya!. Dan aku sangat merasa bersalah karenanya!.""Bersalah karena sudah meniduri wanita polos dan lugu sepertimu..." Revan duduk di meja bar sambil menggoyang gelasnya, matanya memperhatikan Marsya yang masih berdiri ditempatnya."Ternyata aku salah, kamu ternyata adalah seorang pe
Rara akhirnya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan catatan dia harus beristirahat total di rumah.Sepulang dari rumah sakit, Revan segera membawa Rara ke rumah baru mereka yang terletak di kawasan perumahan elit tengah kota."Van, aku bisa jalan sendiri!." protes Rara ketika Revan menggendongnya saat turun dari mobil."Dokter bilang kamu gak boleh banyak bergerak dulu, sayang!.""Itu artinya kamu harus digendong!." kata Revan lembut.Rara mencebikkan bibirnya, mau tak mau dia mengalungkan tangannya ke leher suaminya."Bawa barang-barang kami ke atas ya, bik!." kata Revan pada wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga."Baik, den!." jawabnya.Revan lalu membawa Rara ke lantai atas, ke kamar mereka. Rara memperhatikan sekeliling rumah itu, namun tidak semuanya bisa dia lihat."Sekarang istirahat dulu ya, besok aku akan membawamu melihat-lihat rumah kita!." kata Revan lembut ketika memperhatikan Rara mengedarkan pandangannya.Rara hanya terdiam, dia tidak menjawab u
"Aku mendengar kamu tidak jadi menikah. Dan itu kabar baik buatku."Rara melihat mata Revan yang menatapnya lebih dalam, seolah sedang menyelami perasaan Rara."Aku tergila-gila padamu, Ra!. Perasaanku tidak pernah bisa hilang sejak kita masih kecil!.""Jadi, ketika kamu putus dengan tunanganmu, aku berusaha mencari cara untuk mendekatimu!.""Aku mulai meninggalkan semua kehidupan malamku, termasuk Marsya.""Aku berhenti ke club, aku berhenti mencari wanita-wanita diluar sana, dan aku berhenti menemui Marsya.""Kami hanya bertemu di kantor!."Rara berusaha merangkai penjelasan Revan. Itu artinya sudah cukup lama Revan dan Marsya tidak bertemu."Kapan terakhir kali kamu menemui Marsya secara pribadi?. Apakah di apartemennya?." tanya Rara karna mengingat jas Revan yang tertinggal disana.Suami Rara itu terlihat menghembuskan nafas panjang."Sebulan sebelum aku bertemu denganmu, itu terakhir kali aku menemuinya di apartemennya." jawab Revan."Tapi kami hanya bicara, kami tidak melakukan
"Marsya mengaku dia hamil anak Revan,." kata Revan membuat kedua orang tuanya terkejut."Revan yakin, Marsya menyuruh ibunya untuk meneror Rara. Wanita itu sengaja mendatangi Rara dan mengatakan kehamilan anaknya!." kata Revan terlihat marah."Revan, tunggu...apa maksud kamu?. Sekretaris kamu hamil, apa itu anakmu?." tanya papanya tak percaya."Enggak pa, itu bukan anak Revan!." sanggah Revan cepat."Kamu yakin?." tanya papanya lagi. Tentu saja dia ikut merasa cemas.Mama Revan tampak sedih dan meneteskan air mata. Dia bisa membayangkan bagaimana perasaan Rara."Revan yakin, Pa. Revan bahkan menantang Marsya untuk tes DNa, tapi dia tidak mau.""Dia ingin Revan menikahi dia, setelah dia melahirkan baru dia bersedia tes DNa...""Tapi, Revan yakin kalau itu hanya akal-akalan Marsya saja, Pa!.""Dia mau menjebak Revan." kata Revan panjang lebar.Papa Revan membetulkan letak kacamatanya. Dengan bijaksana dia bertanya pada Revan."Jika dia anak kamu, bagaimana?.""Kamu berani bertindak, kam
Revan memarkir mobilnya dengan sembarangan ketika sudah sampai didepan rumah sakit, dia bahkan meninggalkan mobilnya masih lengkap dengan kuncinya. Dia langsung turun dan segera berlari kedalam rumah sakit, meninggalkan mobilnya dengan pintu yang terbuka."Dimana pasien atas nama Kinara Larasati?." tanya Revan dengan terburu-buru, nafasnya memburu karena dia berlari sejak tadi."Nyonya Kinara ada di ruang observasi ibu hamil, disebelah sana!." petugas front office memberikan arah pada Revan. Revan segera berlari, jantungnya berdegup sangat kencang, ada ketakutan menyergapnya.Seseorang menelpon Revan ketika dia sedang meeting, mengabarkan bahwa Rara terjatuh di supermarket dan sedang dibawa oleh ambulance ke rumah sakit. Revan seketika menghentikan rapatnya dan menuju ke rumah sakit.Ruang Observasi Ibu Hamil. Revan membaca papan petunjuk didepan pintu, Revan segera masuk dan melihat seorang perawat."Pasien atas nama Kinara Larasati, apakah istri saya ada disini?." tanyanya dengan ce