"Van, kamu sudah pulang?." tanya Rara yang terbangun karena merasa ingin buang air kecil.
Dilihatnya laki-laki itu sedang duduk ditepian sofa, tepat disampingnya."Iyah, aku baru aja datang. Kamu udah makan?." tanya Revan lembut sambil merapikan anak rambut Rara yang jatuh dipipinya. Rara tersipu, wanita itu masih belum terbiasa dengan sikap suaminya yang manis. "Aku tadi makan kue yang kita beli. Kamu udah makan?." ganti Rara bertanya. Revan menggeleng."Aku juga belum." jawab Revan."Gimana kalo kita makan diluar aja, ada tempat asik didekat sini buat pacaran." ajak Revan."Hmmm...boleh juga." kata Rara setuju. Rara kemudian berganti pakaian sementara Revan menyegarkan dirinya dengan mandi.Revan membawa Rara ke sebuah cafe yang sedang kekinian di kota Bandung. Cafe itu terletak ditempat yang strategis membuatnya mudah dijangkau.Cafe itu buka dari siang hingga tengah malam, dan semakin ramai dengan pengunjung dimalam hari.Saat Revan dan Rara datang, sudah banyak antrian disana, namun karena pemilik Cafe itu adalah teman Revan, maka dia selalu mendapatkan tempat khusus. "Kok, kita gak pakai ngantri, Van?." tanya Rara sambil duduk dikursi yang ditarik Revan untuknya. "Cafe ini punya temanku." jawab Revan sambil sambil duduk dikursinya sendiri. Tak lama, pelayan pun datang dan segera memberinya menu. Pelayan itu cukup mengenal Revan, karena dia beberapa kali mengajak teman kencannya makan di cafe itu. "Menu yang biasa, pak Revan?." tanya pelayan itu membuat Revan sedikit terbatuk. Revan segera memberi kode pada pelayan itu untuk diam. "Sayang, kamu mau makan apa?." tanya Revan pada Rara yang ada didepannya. Rara membuka-buka menu cafe itu, makanan yang ditawarkan sepertinya enak dan cukup variatif. "Aku mau sup buntut aja, Van. Pingin yang anget-anget." kata Rara. Revan mengangguk. "Sup buntut 2, jus jeruk dua." kata Revan pada pelayan yang sudah mengenalnya itu. "Baik, Pak." kata pelayan sambil mencatat, dia kemudian pamit. "Cafenya bagus, Van. Apa perusahaan kamu yang bangun?." tanya Rara, dia tahu perusahaan Revan bergerak di bidang konstruksi dan pertambangan. "Iya, setahun tahun lalu." kata Revan sambil memegang tangan Rara. Rara mengernyitkan keningnya. Itu artinya Revan pernah ke Bandung. "Berarti kamu pernah ke Bandung dong? Kok gak kasih kabar kita?." tanya Rara penuh selidik. Revan tersenyum sambil memainkan jemari Rara. "Sebenarnya ini proyek kecil, staffku yang mengerjakan, tapi karena lokasinya di Bandung, aku ikut mengerjakan." cerita Revan. "Karena aku pingin ketemu kamu...tapi..." Rara terdiam, menunggu kalimat Revan yang menggantung. "Tapi apa?." tanya Rara ingin tahu. Wajahnya yang penasaran membuat Revan gemas. "Tapi kamu ternyata sudah bertunangan." jawab Revan lugas. "Memangnya kenapa kalau aku bertunangan?." tanya Rara polos. Revan menatap Rara tak berkedip, ternyata Rara benar-benar tak merasa kalau Revan menyukainya sejak dulu. "Kan kita bersahabat, Van. Bagus dong, harusnya kamu datang kasih selamat." cicit Rara tanpa perasaan. Untung saja sekarang Revan sudah menikahinya, dan memilikinya seutuhnya, kalau tidak mungkin Revan sudah gantung diri mendengar kepolosan Rara. "Kamu bikin aku patah hati waktu itu, Ra!." jawab Revan gemas. "Kok bisa?." tanya Rara spontan. "Kan kita pisah sejak SD, Van. Gimana aku bikin kamu patah hati?." protes Rara. Revan tertawa. "Ya, karena aku sejak kecil sudah jatuh cinta sama kamu." jawab Revan santai. "Kamu gak sadar aja, Ra. Dari kecil itu aku sudah sayang sama kamu." katanya lagi. Rara mengerjap-ngerjapkan matanya, bagaimana bisa anak sd merasakan jatuh cinta. "Kita kan masih sd, Van. Emang kamu gak ngerasa kalau itu cinta monyet." kata Rara heran. "Ya, masalahnya aku bukan monyet, Ra." jawab Revan becanda. Rara mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban asal Revan. "Makanya kalau kamu dengar cerita kakek dan papaku kemarin, tentang aku yang selalu berkata akan menikahi kamu ketika kita sudah besar nanti, itu beneran, Ra." kata Revan serius. "Dari dulu memang itu cita-citaku." lanjut Revan. Hati Rara tiba-tiba menghangat, mendengar Revan memendam cintanya selama itu. "Kamu sendiri, waktu aku tinggal pergi, nangis gak, Ra?." tanya Revan ingin tahu. Rara tampak berpikir. Dia mengingat kembali masa kecilnya, lalu tersenyum. "Nangis, Van...hehehee..." kata Rara malu. "Beneran?." tanya Revan senang. "Iya, soalnya Bastian ama Fina ajak aku lari ngejar mobil kamu sampai keluar kompleks, terus aku jatuh, kakiku berdarah, jadi aku nangis." kata Rara sambil meringis. Revan menatap Rara tak percaya, baru saja dia terbang melayang, sekarang sudah jatuh lagi. "Kirain nangisin aku, Ra." kata Revan pura-pura kesal. "Eh, tapi aku juga sedih loh, Van." kata Rara tak terima. "Biasa kamu jemput aku ke sekolah naik sepeda, kamu boncengin aku, tiba-tiba jadi sendiri." kenang Rara sedikit sedih.Rara masih ingat dia merasakan sekali perbedaan setelah Revan pindah. Bastian selalu membonceng Fina, sedangkan Rara naik sepeda sendiri sejak Revan tak ada. Rara jadi berpikir, apa karena itu dia jadi dekat dengan Nathan, karena merasa kehilangan sosok Revan. Waktu itu mereka masuk Smp, Rara kembali sekelas dengan Fina, sedangkan Bastian dikelas yang berbeda, dan Nathan satu kelas dengan Bastian. Bastian dan Nathan berteman dekat karena itu. Seiring berjalannya waktu, karena Bastian berteman dengan Nathan, maka Nathan pun jadi sering berkumpul dengan Rara dan Fina. Nathan seolah menjadi pengganti Revan dikelompok mereka, bahkan sampai sma pun mereka tetap berteman. Revan tersenyum mendapati jawaban Rara. Mendengar hal sesederhana itu saja, Revan sudah bahagia. Makanan mereka akhirnya datang, Revan dan Rara segera melahapnya karena sudah sangat lapar. "Gimana, enak, Ra?." tanya Revan ketika melihat Rara menghabiskan seporsi sup buntut dengan lahap. Rara mengangguk sambil meminum jus jeruk kesukaannya. Revan ternyata masih ingat minuman favoritnya, sehingga tadi langsung memesannya tanpa bertanya. "Kamu sekarang makan apa aja bisa ya, Ra. Dulu waktu kecil pemilih sekali." goda Revan. Rara tertawa. Revan suka sekali melihatnya. Wajah cantiknya semakin bersinar jika sedang tertawa. "Tunggu sampai kamu melihatku makan sate ayam, kamu akan kaget." kata Rara sambil cekikikan, Rara tak sadar sudah lama sekali dia tidak selepas hari ini. Dan itu semua karena Revan yang kini bersamanya. "Oh ya, memangnya kenapa?." tanya Revan penasaran. "Revann..." Belum sempat Rara menjawab pertanyaan Revan, seorang wanita cantik dengan pakaian minim bahan datang ke meja mereka. Wanita itu tiba-tiba masuk dan mencium pipi Revan membuat mata Rara membola."Sepertinya wanita ini putus asa, Bastian. Hingga dia memerlukan pertolonganmu untuk menghamilinya!.""Dan dia melakukannya agar bisa menekanku untuk bertanggung jawab padanya!." Revan melihat Bastian yang tengah menatap tajam pada Marsya. Rahang laki-laki itu mengeras karena marah pada wanita didepannya."Apa itu benar, Sya!. Kamu memperalatku?." tanya Bastian, sedangkan Marsya menggeleng lemah."Katakan, Sya!. Apa benar Bastian adalah ayah bayimu?." tantang Revan."Bukankah kamu tidak ingin hamil dan melahirkan tanpa seorang suami?.""Aku tidak mungkin bertanggung jawab, karena aku tidak menghamilimu!.""Jadi, sekarang Bastian adalah satu-satunya kesempatanmu, Sya!.""Ayah kandung anakmu ada didepanmu, apa kamu tidak mau menyuruhnya bertanggung jawab?." Sindir Revan.Marsya terdiam, air matanya masih mengalir membasahi pipinya. Dia tidak menyangka kalau jebakannya pada Revan tidak berhasil. Dia tidak pernah tahu kalau laki-laki itu memutus jalur spe*manya."Bas...aku..." Marsya tida
"Lepas, Van!. Sakitt!." Marsya menarik tangan Revan yang tengah mencengkram rahangnya.Revan melepaskan wajah Marsya dengan kasar membuat wanita itu terhuyung dan nyaris terjatuh."Revan!. Kau bisa mencelakai anak kita!." protes Marsya dengan suara yang sedikit keras. Dia berani membentak Revan karena percaya diri kalau anak yang tengah dikandungnya adalah milik Revan."Anakku?. Benarkah?." ejek Revan sambil memindai Marsya dari atas sampai bawah."Marsya...Marsya...aku tidak percaya ternyata aku membesarkan ular selama ini!." kata Revan sambil mengambil minuman dari meja bar dan meneguknya.Marsya yang mendengar ejekan Revan hanya mengernyitkan keningnya."Kupikir selama ini kamu adalah wanita yang polos, Sya!. Dan aku sangat merasa bersalah karenanya!.""Bersalah karena sudah meniduri wanita polos dan lugu sepertimu..." Revan duduk di meja bar sambil menggoyang gelasnya, matanya memperhatikan Marsya yang masih berdiri ditempatnya."Ternyata aku salah, kamu ternyata adalah seorang pe
Rara akhirnya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan catatan dia harus beristirahat total di rumah.Sepulang dari rumah sakit, Revan segera membawa Rara ke rumah baru mereka yang terletak di kawasan perumahan elit tengah kota."Van, aku bisa jalan sendiri!." protes Rara ketika Revan menggendongnya saat turun dari mobil."Dokter bilang kamu gak boleh banyak bergerak dulu, sayang!.""Itu artinya kamu harus digendong!." kata Revan lembut.Rara mencebikkan bibirnya, mau tak mau dia mengalungkan tangannya ke leher suaminya."Bawa barang-barang kami ke atas ya, bik!." kata Revan pada wanita paruh baya yang merupakan asisten rumah tangga."Baik, den!." jawabnya.Revan lalu membawa Rara ke lantai atas, ke kamar mereka. Rara memperhatikan sekeliling rumah itu, namun tidak semuanya bisa dia lihat."Sekarang istirahat dulu ya, besok aku akan membawamu melihat-lihat rumah kita!." kata Revan lembut ketika memperhatikan Rara mengedarkan pandangannya.Rara hanya terdiam, dia tidak menjawab u
"Aku mendengar kamu tidak jadi menikah. Dan itu kabar baik buatku."Rara melihat mata Revan yang menatapnya lebih dalam, seolah sedang menyelami perasaan Rara."Aku tergila-gila padamu, Ra!. Perasaanku tidak pernah bisa hilang sejak kita masih kecil!.""Jadi, ketika kamu putus dengan tunanganmu, aku berusaha mencari cara untuk mendekatimu!.""Aku mulai meninggalkan semua kehidupan malamku, termasuk Marsya.""Aku berhenti ke club, aku berhenti mencari wanita-wanita diluar sana, dan aku berhenti menemui Marsya.""Kami hanya bertemu di kantor!."Rara berusaha merangkai penjelasan Revan. Itu artinya sudah cukup lama Revan dan Marsya tidak bertemu."Kapan terakhir kali kamu menemui Marsya secara pribadi?. Apakah di apartemennya?." tanya Rara karna mengingat jas Revan yang tertinggal disana.Suami Rara itu terlihat menghembuskan nafas panjang."Sebulan sebelum aku bertemu denganmu, itu terakhir kali aku menemuinya di apartemennya." jawab Revan."Tapi kami hanya bicara, kami tidak melakukan
"Marsya mengaku dia hamil anak Revan,." kata Revan membuat kedua orang tuanya terkejut."Revan yakin, Marsya menyuruh ibunya untuk meneror Rara. Wanita itu sengaja mendatangi Rara dan mengatakan kehamilan anaknya!." kata Revan terlihat marah."Revan, tunggu...apa maksud kamu?. Sekretaris kamu hamil, apa itu anakmu?." tanya papanya tak percaya."Enggak pa, itu bukan anak Revan!." sanggah Revan cepat."Kamu yakin?." tanya papanya lagi. Tentu saja dia ikut merasa cemas.Mama Revan tampak sedih dan meneteskan air mata. Dia bisa membayangkan bagaimana perasaan Rara."Revan yakin, Pa. Revan bahkan menantang Marsya untuk tes DNa, tapi dia tidak mau.""Dia ingin Revan menikahi dia, setelah dia melahirkan baru dia bersedia tes DNa...""Tapi, Revan yakin kalau itu hanya akal-akalan Marsya saja, Pa!.""Dia mau menjebak Revan." kata Revan panjang lebar.Papa Revan membetulkan letak kacamatanya. Dengan bijaksana dia bertanya pada Revan."Jika dia anak kamu, bagaimana?.""Kamu berani bertindak, kam
Revan memarkir mobilnya dengan sembarangan ketika sudah sampai didepan rumah sakit, dia bahkan meninggalkan mobilnya masih lengkap dengan kuncinya. Dia langsung turun dan segera berlari kedalam rumah sakit, meninggalkan mobilnya dengan pintu yang terbuka."Dimana pasien atas nama Kinara Larasati?." tanya Revan dengan terburu-buru, nafasnya memburu karena dia berlari sejak tadi."Nyonya Kinara ada di ruang observasi ibu hamil, disebelah sana!." petugas front office memberikan arah pada Revan. Revan segera berlari, jantungnya berdegup sangat kencang, ada ketakutan menyergapnya.Seseorang menelpon Revan ketika dia sedang meeting, mengabarkan bahwa Rara terjatuh di supermarket dan sedang dibawa oleh ambulance ke rumah sakit. Revan seketika menghentikan rapatnya dan menuju ke rumah sakit.Ruang Observasi Ibu Hamil. Revan membaca papan petunjuk didepan pintu, Revan segera masuk dan melihat seorang perawat."Pasien atas nama Kinara Larasati, apakah istri saya ada disini?." tanyanya dengan ce