Share

Bertemu Pria Brengsek

Sebuah tangan membekap mulutku, dan menarik tubuh mungilku ke arah rimbunnya semak belukar yang ada di kebun belakang rumah Simbah.

Suasana tengah hari yang sepi karena sebagain besar orang kampung kembali beraktivitas di kebun atau sawah serta simbahku yang tidur siang didalam rumah membuat tidak ada yang melihatku diperlakukan seperti itu.

"Kamu tidak bisa lari dariku anak manis, jika hanya pergi ke rumah ini aku masih bisa mendatangi dirimu," ucapnya sambil menyeringai.

Lelaki yang menikahi ibuku itu, dengan beringas menggagahi diriku di antara rimbunnya semak-semak. Ternyata meskipun kabur dan tinggal bersama simbahku, dia tidak menyerah untuk bisa menikmati tubuhku. Apa mungkin tujuannya menikah dengan ibuku hanya untuk melakukan ini padaku.

Aku hanya bisa menahan sakit dan meneteskan air mata menerima perbuatannya.

Dering telepon mengagetkan diriku, menariku dari lamunan. Setelah mengakhiri kontrak dengan Alex, kenangan-kenangan masa laluku yang kelam dulu sering kali datang jika aku sedang sendirian.

Kuraih smartphone milikku yang tergeletak diatas meja tidak jauh dari tempat tidurku. Benda pipih itu terus berdering sejak tadi. Siapa yang menelepon pagi-pagi begini.

Sebuah panggilan dari nomer telpon yang tidak bernama masuk kedalam ponselku. Ponsel ini juga pemberian Alex di minggu pertama aku menjalin hubungan dengannya. Dia tidak suka melihat ponsel butut milikku, yang kala itu sangat susah dihubungi karena sinyalnya suka hilang-hilang.

Tentu saja, handphoneku kala itu hanyalah android keluaran tahun jebot yang aku beli dengan harga murah. Sekedar untuk bisa berkomunikasi dengan Nayla, itupun sudah retak sana sini.

Sampai sekarang setelah berpisah dengannya aku masih menggunakan smartphone pemberian Alex, karena masih bagus dan aku merasa tidak perlu juga menggantinya.

"Ini dengan Riri ya," sebuah suara yang begitu aku kenal menyapa indera pendengaranku.

"Iya bulek, benar. Apa kabar?" sahutku balik bertanya.

Beliau adalah adiknya ibu, mereka berdua hanya dua bersaudara. Selain ibu, tidak ada yang tahu pasti kenapa aku pergi jauh ke ibukota ini. Yang mereka tahu, aku kesini untuk mengadu nasib. Tentu saja, hal yang terjadi padaku adalah aib yang harus di tutup rapat-rapat.

"Bulek baik, tapi ibumu sakit Nduk. Sejak kepergianmu, ibumu di ceraikan oleh bapak tirimu. Sepertinya ibumu merasa kesepian Nduk, kenapa sih kamu kok tidak pulang-pulang. Sudah dua tahun kamu pergi dan tidak pernah pulang, padahal cuma di Jakarta kok seperti kerja di luar negeri saja toh Nduk," ucap bulek panjang lebar.

Aku memang tidak pernah pulang sama sekali, hanya uangku yang aku kirimkan ke ibu. Bagaimana aku harus pulang dan bertemu dengan lelaki durjana yang sudah mengambil kehormatanku itu. Bahkan aku tidak tahu jika ternyata lelaki itu sudah meninggalkan ibuku.

"Ibu sakit apa bulek?" tanyaku dengan nada cemas.

"Pulanglah dulu Nduk, ibu kamu ini sakit parah. Bisa sembuh jika di operasi, kita tidak akan punya uang sebanyak itu. Setidaknya jika tidak bisa disembuhkan, kamu ada disisinya saat-saat ibumu menghabiskan sisa waktunya."

Tanganku bergetar mendengar perkataan bulek, apa ibu separah itu. Apa beliau sekarat saat ini. Operasi yang membutuhkan banyak uang? Aku memiliki uang banyak saat ini. Lebih baik aku kehilangan uang itu daripada kehilangan ibuku. Aku harus pulang dan mengobatinya. Urusan kuliah, akan aku cari lagi nanti uang untuk membayarnya. Jika aku memiliki ibu, maka semua akan baik-baik saja.

"Baik bulek, Riri akan segera pulang. Tolong jaga ibu untukku ya."

Bulek adalah satu-satunya orang yang bisa dipercayai untuk menjaga ibu. Mereka berdua adalah dua bersaudara yang saling menyayangi.

****

Aku mengatakan pada Nayla jika diriku akan pulang kampung terlebih dahulu. Mungkin agak lama, namun aku berharap cukup satu minggu saja. Bagaimanapun caranya ibu harus di operasi, meskipun aku belum tahu apa penyakit yang dideritanya.

Aku mengajukan cuti di mall tempatku bekerja, aku tidak ingin kehilangan pekerjaan itu. Begitu semua urusan selesai, aku segera memesan tiket bus untuk pulang ke kampung. Tempat yang tidak pernah aku kunjungi selama dua tahun terakhir ini.

Udara pagi yang segar menyapaku begitu aku menjejakkan kaki di kampungku kembali. Aku memilih untuk berjalan kaki menuju rumahku meskipun cukup jauh dari tempat aku turun bus, di pinggir jalan besar tadi.

Sebenarnya ada ojek yang mangkal di tempat itu namun aku memilih untuk berjalan kaki menikmati suasana pagi yang sejuk di desaku. Lagipula aku tidak membawa barang bawaan yang banyak hingga membuatku kesusahan untuk berjalan.

Yang aku bawa hanyalah sebuah tas ransel berisi baju ganti dan oleh-oleh yang yang aku masukkan kedalam sebuah kardus. Aku tidak ingin terlihat mencolok setelah dua tahun tidak pernah pulang ke kampung halaman. Aku hanyalah lulusan Sekolah Menengah Atas tidak mungkin memiliki pekerjaan yang langsung bisa merubah kehidupanku begitu saja.

"Pulang juga kamu akhirnya," sebuah sapaan mengagetkanku, suara itu sangat aku kenal dan kubenci.

Seketika aku berhenti dan menoleh ke arah datangnya suara, melihat wajahnya membuat mengingatkanku di mana masa-masa aku dilecehkan olehnya.

"Setelah pulang dari kota kamu tampak makin mulus dan berkilau," ucapnya terdengar menjijikkan di telingaku.

"Akhirnya kamu pulang juga saat tahu ibumu sekarat. Kupikir kamu tidak akan peduli pada wanita yang sudah melahirkanmu itu," ucapnya lagi.

"Aku juga berpikir tidak akan bertemu lagi dengan pria br*ngsek seperti dirimu. Aku sangat senang kamu berpisah dengan ibuku," sahutku tanpa rasa takut.

"Kamu masih terlalu muda untuk berbuat seberani ini. Meskipun kamu tinggal di kota bukan berarti kamu jadi lebih kuat dan bisa melawanku bukan. Sepertinya aku bisa memakai dirimu terlebih dahulu seperti dulu sebelum kamu sampai dirumah. Toh suasana masih sangat sepi, belum ada orang yang lewat disekitar sini," ujarnya dengan tatapan mesum dan buas itu.

Tatapan yang dulu selama beberapa waktu mengintimidasi diriku. Membuatku merelakan tubuhku untuk dijamah olehnya setiap dia menginginkan dan ada kesempatan. Hingga suatu hari tanpa sengaja ibu melihatku menangis di kamarku setelah pria bej*t untuk mengg*uli diriku .

Saat itu aku hampir lulus sekolah, ibu mencecarku dengan pertanyaan namun tidak aku jawab. Aku masih takut ancamannya, jika aku mengatakan pada ibu maka nyawa kami sebagai taruhannya.

Setelah ibu memaksaku untuk mengatakan apa yang terjadi padaku saat itu, akhirnya aku mengatakan semuanya dan mengatakan ancaman pria yang menjadi ayah sambungku itu.

Aku mengatakan pada ibu untuk tidak melakukan apapun pada suaminya itu dan menyuruhnya untuk pura-pura tidak tahu saja. Tapi hati ibu mana yang tega anaknya dijadikan pelampiasan nafsu oleh lelaki yang harusnya menjaganya.

Akhirnya setelah itu ibu mengungsikan diriku ke rumah simbah dan setelah lulus SMA aku pun ijin untuk pergi ke kota. Aku beralasan ingin jauh dari lelaki itu sekaligus mengadu nasib. Karena meskipun aku di rumah simbah, lelaki itu masih memiliki kesempatan untuk melakukannya jika aku tetap di kampung ini.

Dengan bekal uang yang di dapat dari menjual barang-barang berharga miliknya, ibu melepaskan kepergianku untuk menghindari pria itu. Sejak saat itu hingga sekarang, aku tidak pulang. Hanya kabar dan uang yang aku kirimkan pada ibu.

"Apa kamu bisa melakukan hal itu di tempat ini?" ucapku tidak percaya.

Aku menatap sekeliling kami, hanya ada kebun-kebun singkong milik penduduk kampung.

"Tentu saja bisa, apalagi sudah dua tahun kita berpisah. Aku merindukan tubuhmu itu. Apa kamu tidak ingat, bahkan aku pernah menyeretmu ke kebun belakang rumah nenekmu untuk melakukan hal itu," ucapnya dengan senyum menjijikkan.

Lelaki tidak perlu 0tak itu perlahan mendekat ke arahku. Dia benar-benar pria yang nekat.

🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status